Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - Hujan
"Kalau kamu nggak keberatan, boleh aku pergi sebentar?—"
"Atau kalau kamu takut kesepian, kamu bisa ikut denganku!" lanjut Sean.
Liliana tidak langsung menjawab, hatinya berkecamuk dan di satu sisi ingin berkata bahwa dia baik-baik saja, tapi di sisi lainnya dia takut, takut kehilangan waktu berharga bersamanya.
Hening sejenak hingga Liliana pun menjawabnya, "Aku tidak tahu."
Sean tersenyum lembut.
"Kamu nggak harus jawab sekarang, aku cuma nggak mau kamu sendirian kalau kamu nggak nyaman."
Liliana menatap mata Sean, di situ tak ada kebohongan, hanya ketulusan dan perhatian yang anehnya membuat dadanya sesak.
"Bolehkah aku ikut?" tanya Liliana dengan suara yang pelan dan hampir tak terdengar.
Sean mengangguk, senyumnya merekah dan menjawab, "Tentu, akan lebih menyenangkan kalau kamu ikut."
Liliana tak tahu kenapa, tapi senyum Sean barusan membuatnya sedikit lega, meski perasaan asing itu dan tentang wanita di balik telepon masih menggantung di hatinya dia memutuskan untuk ikut bersama Sean apapun yang akan terjadi nanti, dia akan menghadapinya.
Hujan masih menetes lembut saat taksi melaju membelah jalanan menuju pusat kota.
Liliana duduk di sebelah Sean, memandangi jendela yang dipenuhi butiran air.
Di kepalanya, pertanyaan tentang wanita yang menelepon Sean terus mengganggu.
Sesekali, Sean melirik ke arahnya dan tersenyum, seolah tak menyadari kecanggungan kecil di antara mereka.
"Sebelum ke tempat yang ditentukan, kita mampir dulu ke mall untuk membeli pakaian, ya?" tanya Sean.
"Untuk beli pakaian baru?" tanya Liliana dengan nada suaranya yang terdengar agak tajam.
"Biar kamu terlihat lebih menarik di depan wanita itu?" tanya Liliana lagi berlanjut dengan sedikit ekspresi cemberut.
Sean menoleh dengan alis terangkat, lalu terkekeh kecil.
"Hah? Bukan, bukan, aku ngajak kamu ke sana buat beli pakaian kamu."
Liliana menoleh cepat dan matanya membulat pelan.
"Aku?"
"Iya, pakaianmu sedikit kotor karena hujan dan ya, kita mau ketemu orang penting, aku nggak mau kamu merasa nggak nyaman."
Liliana tercekat, rasa hangat menyusup di dalam dadanya dan dia memandang Sean dengan cukup lama, mencoba memastikan dia tidak sedang bercanda. Tapi tatapan Sean penuh perhatian dan ketulusan.
Liliana berbisik dalam hatinya, "Kenapa kamu bisa sebaik ini padaku?"
...----------------...
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di pusat perbelanjaan dan cahaya dari lampu-lampu mall membuat Liliana menyipitkan mata. Dunia ini, dunia Sean terlihat begitu hidup, begitu berbeda dari tempat asalnya.
Begitu mereka memasuki area pakaian wanita, Sean langsung menariknya ke deretan gaun dan atasan cantik.
"Pilih yang kamu suka, serius! Aku mau kamu nyaman dan bersenang-senang hari ini." kata Sean sembari tersenyum.
Liliana menatapnya, masih tak percaya.
"Aku pikir kamu yang akan beli pakaian." kata Liliana.
"Pakaianku nggak kotor, kamu yang butuh ganti karena kotornya itu pakaian, aku cuma mau kamu merasa diperhatikan." ujar Sean menjawab pernyataan Liliana dengan tulus.
Kata-kata itu menggetarkan hati Liliana. Pipinya memerah perlahan, dia menunduk, mencoba menyembunyikan senyuman kecil yang mulai muncul.
"Apakah aku mulai jatuh cinta padamu, Sean?"
Liliana menelusuri rak pakaian dengan langkah pelan, jemarinya menyentuh kain-kain lembut dan desain-desain yang menurutnya unik. Meskipun dunianya dipenuhi kemewahan, pengalaman berbelanja bersama seseorang yang benar-benar memperhatikannya terasa baru dan sangat nyaman.
Sementara itu, Sean berdiri tak jauh darinya, sesekali mengangguk atau mengangkat alis saat Liliana mengangkat pakaian tertentu seolah bertanya "Yang ini bagus nggak ya ke dia?"
Sean menatap sebuah atasan simpel tapi elegan, "Yang itu cocok, tapi coba lihat yang biru tua itu. Warnanya pas banget sama mata kamu."
Liliana menoleh cepat dan bertanya, "Mata aku?" bingung Liliana bertanya-tanya.
Dia memegang atasan biru tua itu, sedikit terkejut karena Sean memperhatikan sedetail itu.
Sean hanya tersenyum, lalu meraih ponselnya yang bergetar pelan dan seketika, ekspresinya berubah pada saat membaca isi pesan tersebut, "Aku hampir sampai, tunggu di kafe seberang mall." – Editor
Dia menyeka keningnya pelan, lalu mendekati Liliana yang masih memandangi baju-baju itu.
"Lili, maaf banget kayaknya kita harus selesaiin belanjanya sekarang, dia udah hampir sampai."
Liliana menggigit bibirnya dan mengangguk pelan.
"Aku cuma ambil yang ini, boleh?" tanya Liliana.
"Boleh, kita bawa langsung ke kasir, ya? Aku bantu bawain deh."
Sean segera membayar pakaian pilihan Liliana. Setelah selesai, Liliana masuk ke ruang ganti dengan cepat dan tak lama kemudian keluar mengenakan pakaian barunya, meski terlihat sederhana, penampilannya membuat Sean terpana sejenak, tak perlu gaun mahal untuk menonjolkan kecantikannya.
Mereka pun segera berjalan keluar mall, hujan yang masih turun ringan menyambut mereka dan Liliana berada di sisi Sean, diam namun tersenyum kecil bercampur antara perasaan gugup dan penasaran akan siapa sebenarnya sosok wanita yang akan mereka temui.
Begitu pintu kafe terbuka, aroma kopi segar dan suasana hangat langsung menyambut Sean dan Liliana.
Di salah satu meja besar di pojok ruangan, tiga orang telah duduk menunggu, dua wanita dan satu pria. Salah satu dari wanita itu berdiri dan melambai saat melihat Sean datang itu editornya — Aoxue.
"Sean! Kamu tepat waktu juga, luar biasa." ujar Aoxue menyambut kedatangan penulis di bawah naungannya.
Sean membalas senyum itu dan mempercepat langkahnya, menarik kursi untuk Liliana terlebih dahulu sebelum ia sendiri duduk.
"Aku nggak sendirian, ini temanku." kata Sean yang langsung mengenalkan Liliana pada editornya itu.
Liliana tersenyum sopan dan mengangguk, meskipun ada sorot waspada di matanya ketika melihat gadis cantik lainnya yang merupakan suara yang sama persis seperti suara yang pernah ia dengar sebelumnya.
"Senang bertemu denganmu! Nah, perkenalkan, ini Pak Adrian, produser dari rumah produksi Jengkol Films, dan ini Ibu Karen, penulis skenario senior."
Pria bernama Adrian menjulurkan tangan, begitu juga dengan Karen yang menyambut dengan ramah dan setelah semua duduk dengan tenang, Aoxue langsung membuka percakapan utama.
"Jadi, Sean, mereka berdua ini sangat tertarik untuk mengadaptasi novelmu yang berjudul 'Dia yang Memberiku Semangat' jadi film."
Liliana sedikit membelalakkan matanya. Matanya langsung melirik Sean, yang terlihat tenang namun tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Kami merasa ceritanya punya potensi besar untuk menyentuh hati banyak orang karena narasi yang hangat, karakter yang kuat, dan tentu saja, momen-momen emosional yang sangat sinematik." ujar Adrian dengan penuh semangat.
"Dan kami harap kamu bisa bekerja sama langsung dalam pengembangan naskahnya.
Kalau bisa, bahkan ikut dalam proses kreatif saat produksi." lanjut Karen memperjelas.
Sean mencuri pandang ke arah Liliana, lalu kembali lagi menatap para tamu di depannya.
"Aku senang dan merasa terhormat. Tapi, ini mendadak juga dan aku belum benar-benar membayangkan ceritanya akan sampai sejauh ini." ujar Sean yang merasa terkejut.
"Aku tahu kamu ragu-ragu, tapi kamu harus percaya sama karya kamu sendiri. Terutama, karakter Liliana itu terasa sangat hidup." kata Aoxue tersenyum.
Mendengar namanya disebut, Liliana refleks menoleh. Namun, dia langsung menunduk, berusaha menahan ekspresi terkejutnya.
"Ya, Liliana dalam novelnya adalah sosok yang menarik dan punya misteri, kekuatan emosionalnya, dan rasa penasaran yang kuat di setiap akhir bab-nya, aku jarang membaca karakter perempuan sekuat itu." ucap Karen yang ikut memperjelas tokoh Liliana ini.
Liliana merasa tubuhnya sedikit gemetar, dan di dalam benaknya, dia bertanya-tanya, "Apa aku hanya fiksi? Tapi bukankah itu aku?"
Sementara itu, Sean hanya bisa diam beberapa detik, lalu menjawab, "Aku akan pertimbangkan ini dengan serius. Tapi satu hal, kalau ceritanya diangkat ke layar lebar, aku ingin tetap menjaga maknanya karena aku menulis cerita itu dari perasaan yang sangat personal."
"Itu yang kami cari, Sean! Emosi yang otentik." tegas Adrian dengan penuh keyakinan.
Pertemuan pun terus berlanjut dengan diskusi ringan. Liliana hanya diam dan sesekali tersenyum, tetapi di balik itu pikirannya berputar dengan cepat.