NovelToon NovelToon
Ingfah & Nara Si Indigo

Ingfah & Nara Si Indigo

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Mata Batin
Popularitas:70
Nilai: 5
Nama Author: Princss Halu

SINOPSIS
​Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
​Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
​Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pelindung di Kota Asing

Di kejauhan, di luar gerbang stasiun, Nara melihat puncak-puncak kuil yang bersinar keemasan tertimpa sinar matahari sore.

Di sanalah Kuil Emas berada, tempat Biksu Agung Dutar menunggu mereka. Namun, untuk sampai ke sana, mereka masih harus melewati lorong-lorong kota yang asing dan penuh mata-mata yang mungkin masih mengintai.

Langkah kaki mereka membawa mereka ke gerbang keluar stasiun yang padat. Di tengah kerumunan, berdiri seorang pria berpakaian rapi yang tampak sangat mencolok namun tenang.

Matanya tajam, memindai setiap orang yang keluar dari peron.

Biksu Ram tidak berhenti untuk berbicara. Ia hanya memberikan isyarat halus—sebuah gerakan tangan ke arah dada, tatapan mata yang dalam, dan anggukan pelan. Pria berpakaian rapi itu membalas dengan anggukan yang hampir tak kentara, namun penuh rasa hormat. Ia segera bergerak, membukakan pintu sebuah kendaraan yang sudah menunggu di pinggir jalan.

Nara tertegun melihat betapa rapinya koordinasi ini. Ia baru menyadari betapa besarnya pengaruh sang Ayah di masa lalu.

Patan, pria yang selama ini Nara kenal sebagai ayah yang sederhana di Ayutthaya, ternyata adalah sosok yang sangat dihormati. Sebelum pindah demi melindungi anak-anaknya, Patan adalah suami dari Khon Khaw, sang Putri Penjaga Hutan Suci di Ban Khun Phum.

Mereka memiliki ribuan pengikut setia para penjaga alam dan rahasia mustika yang tetap setia meski Patan telah pergi jauh.

Pria berpakaian rapi itu mendekat saat mereka sudah berada di tempat yang lebih sepi. Ia membungkuk rendah di depan Nara dan Ingfah.

"Nama saya Arun, Nona Muda," bisiknya dengan nada sangat hormat.

"Saya adalah salah satu ajudan ayahmu di masa lalu. Kami telah menunggu kabar dari bukit sejak lama. Jangan takut, di kota ini, kami adalah mata dan telinga kalian."

Arun segera membantu mereka masuk ke dalam kendaraan. Di dalam, tersedia air minum segar dan kain bersih. Ingfah tampak sedikit lebih tenang setelah melihat wajah Arun yang tulus, meski ia masih tetap memeluk mustika itu dengan protektif.

***

Menuju Gerbang Kuil Emas

Kendaraan mulai melaju membelah jalanan Chiang Mai yang berliku menuju perbukitan tempat Kuil Emas berada.

"Kenapa Ayah tidak pernah bercerita tentang kalian?" tanya Nara pelan sambil menatap Arun.

Arun tersenyum sedih.

"Tuan Patan hanya ingin kalian tumbuh sebagai anak-anak biasa, tanpa beban sejarah yang berat. Namun, takdir darah Khon Khaw tidak bisa dihapus. Sekarang, tugas kami adalah memastikan kalian sampai ke tangan Biksu Agung Dutar dengan selamat."

Saat kendaraan mulai menanjak ke arah kuil, suasana kota yang bising perlahan berganti dengan keheningan hutan pinus yang damai.

Di puncak sana, atap Kuil Emas mulai terlihat berkilauan, menyambut kepulangan sang mustika.

Kendaraan berhenti tepat di kaki tangga batu panjang yang menuju ke gerbang utama Kuil Emas. Ratusan anak tangga yang terbuat dari batu alam itu tampak berkilau karena embun sore, membelah hutan pinus yang tenang.

Arun membukakan pintu dan mengawal Nara serta Ingfah keluar. Saat mereka menengadah ke atas, sosok yang mereka cari sudah ada di sana.

Di puncak tangga, berdiri seorang pria tua dengan jubah safron yang paling cerah. Wajahnya dipenuhi kerutan usia, namun matanya memancarkan kedamaian yang melampaui dunia fana.

Itulah Biksu Agung Dutar. Ia tidak menunggu di dalam, melainkan turun beberapa anak tangga untuk menyambut kedua putri Patan.

"Selamat datang, anak-anak dari Ban Khun Phum," suara Biksu Dutar bergetar rendah namun memenuhi udara dengan ketenangan.

"Tanah utara telah merasakan kehadiran kalian sejak kalian menginjakkan kaki di stasiun."

Sebelum memasuki area suci, Biksu Dutar meminta mereka berhenti di depan sebuah kolam air suci yang dialiri langsung dari mata air gunung.

"Nara, letakkan tongkatmu sejenak. Ingfah, bawalah mustika itu ke depan," perintah Biksu Dutar.

Ingfah, dengan tangan gemetar, mengeluarkan bungkusan mustika yang dibalut kain mantra pemberian Biksu Som. Saat bungkusan itu dibuka, cahaya mustika yang tadinya redup mendadak bersinar terang, seolah-olah ia merasa "pulang" ke tempat yang seharusnya.

Biksu Dutar memercikkan air suci ke kening kedua gadis itu.

"Air ini akan menghapus jejak kesedihan dan darah yang kalian bawa dari selatan. Di dalam kuil ini, tidak ada lagi pelarian. Hanya ada pembelajaran dan perlindungan."

Nara menuntun adiknya masuk ke dalam aula utama yang penuh dengan aroma gaharu. Di tengah aula, terdapat sebuah altar batu yang dikelilingi oleh simbol-simbol pelindung kuno.

"Letakkan di sana, Ingfah," kata Biksu Dutar lembut.

"Mustika ini tidak akan diambil darimu. Ia akan tetap menjadi milik keluargamu, namun di sini, energinya akan diselaraskan dengan alam semesta agar tidak lagi menjadi magnet bagi mereka yang serakah."

Saat Ingfah meletakkan mustika itu di atas altar, sebuah gelombang kehangatan menyebar ke seluruh ruangan. Ingfah merasa beban berat di pundaknya yang selama ini membuatnya lemas tiba-tiba terangkat. Ia bernapas lega untuk pertama kalinya sejak kematian ayahnya.

Biksu Dutar menoleh ke arah Nara. "Nara, kamu telah menjalankan tugasmu sebagai kakak dengan sangat luar biasa. Namun perjalananmu belum usai. Di sini, kamu akan dilatih bukan hanya untuk menjadi pelindung adikkmu, tapi juga untuk menguasai pusaka yang kamu bawa."

Nara menatap tongkat kayunya yang kini bersinar lembut di sudut ruangan. Ia tahu, di tempat inilah ia akan menempa diri menjadi prajurit yang tangguh, seperti ayahnya.

"Malam ini, kalian akan makan dan beristirahat. Besok, hidup kalian yang baru dimulai," pungkas Biksu Dutar sambil memberi isyarat kepada para pelayan kuil untuk menyiapkan kamar bagi mereka.

****

Malam itu adalah malam pertama bagi Nara dan Ingfah tidur tanpa rasa takut akan kejaran musuh. Di dalam dinding Kuil Emas yang kokoh dan sakral, hanya ada suara desir angin di antara pohon pinus dan denting lonceng kecil yang tertiup angin malam.

Seorang pelayan kuil membawakan mereka nampan berisi makanan hangat—sup jamur hutan dan nasi wangi yang mengepul. Meskipun Arun telah menyiapkan pakaian mewah dari kota, Biksu Dutar secara khusus meminta mereka mengenakan pakaian sederhana yang terbuat dari kain safron, serupa dengan jubah para petapa namun disesuaikan untuk anak-anak.

Pakaian itu bukan sekadar kain; itu adalah simbol bahwa mereka kini berada di bawah perlindungan penuh sang Biksu Agung. Dengan mengenakan pakaian itu, mereka resmi menjadi murid di Kuil Emas.

Janji di Bawah Cahaya Lilin

Di kamar kayu yang harum akan kayu cendana, Nara duduk menemani adiknya. Ingfah makan dengan lebih tenang sekarang, meskipun matanya masih menunjukkan sisa-sisa duka yang mendalam.

Nara menatap adiknya, lalu menggenggam tangan kecil yang biasanya memegang mustika itu. Kini tangan itu bebas, karena mustika telah terjaga di altar suci.

"Makanlah yang banyak, Nong," ucap Nara lembut sambil merapikan rambut Ingfah.

"Kita sudah sampai di tempat yang aman. Tapi ingat, apa pun yang terjadi besok atau di masa depan, aku sudah berjanji kepada Ayah dan pada diriku sendiri: Aku akan selalu melindungimu, selamanya. Kita tidak akan pernah berpisah lagi."

Ingfah mendongak, menatap kakaknya dengan mata bulatnya yang berkaca-kaca.

"Terima kasih, Pi Nara. Fah akan belajar jadi anak yang kuat supaya tidak merepotkan Pi lagi."

Di sudut ruangan, tongkat kayu milik Nara bersandar pada dinding. Tanpa disadari, saat Nara mengucapkan janjinya untuk melindungi adiknya, ukiran halus pada tongkat itu berpendar hijau sesaat, seolah-olah roh pelindung di dalamnya menyegel janji setia sang kakak.

Biksu Dutar, yang memperhatikan dari kejauhan melalui jendela aula, tersenyum tipis. Ia tahu bahwa kekuatan terbesar yang dibawa kedua gadis ini bukanlah mustika di altar, melainkan ikatan kasih sayang yang tak terpatahkan di antara mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!