NovelToon NovelToon
MUTIARA SETELAH LUKA

MUTIARA SETELAH LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Keluarga / CEO / Penyesalan Suami / Ibu Pengganti
Popularitas:577
Nilai: 5
Nama Author: zanita nuraini

“Mutiara Setelah Luka”

Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.

Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.

Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 RASA BERSALAH KENZO

Setelah pemakaman Amara selesai, suasana rumah keluarga Kenzo berubah total. Tidak ada lagi suara lembut Amara yang biasanya menyapa pagi mereka.

Tidak ada lagi aroma masakan ringan yang kadang disiapkan Amara saat sedang ingin memasak. Semua terasa hampa, terutama untuk Kenzo.

Kenzo pulang dari pemakaman dengan wajah kosong. Sejak hari itu, dia seperti kehilangan kendali atas hidupnya.

Rambutnya yang biasanya tersisir rapi sekarang kusut dan tak terurus. Kumis dan janggut tipis mulai tumbuh tidak beraturan. Pakaiannya tidak pernah lagi terlihat pantas. Kadang kemeja yang digunakan tidak disetrika, kadang tidak cocok sama sekali dengan celana yang dipakainya.

Pernah ia mengenakan kemeja hitam dengan celana krem yang jelas tidak matching. Tapi Kenzo tak peduli.

Yang lebih parah lagi, ada hari ketika Kenzo pergi ke kantor dengan baju yang sama persis seperti hari sebelumnya.

Bahkan ada noda kopi di bagian saku yang belum sempat dibersihkan. Semua orang di kantor saling pandang, tapi tidak berani berkomentar.

Mereka tahu Tuan Kenzo sedang dalam keadaan sulit.

Rio sang asisten, yang selama ini bekerja seperti biasa, sekarang memikul hampir semua pekerjaan Kenzo.

Meeting penting, pertemuan investor, peninjauan proyek—semuanya Rio yang tangani. Sesekali Rio datang ke ruang Kenzo untuk meminta tanda tangan, tapi Kenzo hanya melirik sekilas lalu menandatangani tanpa membaca. Pandangannya kosong, seperti tidak benar-benar melihat apa pun.

Di ruangan kantor itu, Kenzo sering kali duduk tanpa melakukan apa pun. Hanya menatap layar laptop yang tidak bergerak, sementara pikirannya melayang entah ke mana. Ada kalanya air matanya jatuh begitu saja tanpa suara. Rio pernah masuk tanpa mengetuk karena terburu-buru, lalu mendapati Kenzo memegang foto Amara sambil menundukkan kepala.

Foto itu—foto mereka berdua saat menghadiri acara keluarga—sekarang selalu berada di atas meja kerja Kenzo.

Rio tidak berkata apa-apa. Dia hanya mundur perlahan dan menutup pintu, memberikan ruang untuk bosnya yang sedang terpuruk itu.

---

Di rumah, Ibu Saras semakin khawatir dengan kondisi putranya itu. Dari hari ke hari Kenzo terlihat semakin kurus. Nafsu makannya hilang. Kadang dia hanya makan dua atau tiga suap lalu meninggalkan meja.

Pernah suatu sore, Ibu Saras mencoba menyuapi Kenzo seperti ketika Kenzo masih kecil, tapi Kenzo hanya tersenyum tipis lalu pergi ke kamarnya tanpa bicara sepatah kata pun.

“Tuan, apa yang harus kita lakukan?” tanya Bibi kepada Tuan Rendra suatu malam ketika melihat Kenzo turun tangga dengan wajah pucat.

Tuan Rendra hanya menghela napas. “Aku tidak tahu. Kesedihannya terlalu dalam.”

Kondisi itu membuat keluarga besar makin khawatir. Mereka tahu Kenzo bukan pria yang mudah menunjukkan emosi, tapi kehilangan istri dan bayi yang masih berada di inkubator membuatnya benar-benar jatuh. Kenzo bertanggung jawab pada bayi itu, tapi rasa kehilangan Amara menghancurkan dirinya.

---

Suatu pagi, Kenzo duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong. Masih mengenakan kemeja lusuh yang dipakainya kemarin. Tombol kemeja bagian atas tidak dikancingkan. Rambutnya kusut seperti tidak pernah disentuh sisir.

Ibu Saras duduk di sampingnya, membawa secangkir teh hangat.

“Minum dulu, Nak,” ucap ibu itu lembut.

Kenzo tidak bergerak.

“Kenzo… Ibu tahu kamu sedih. Ibu juga sedih. Kita semua kehilangan Amara. Tapi kamu tidak bisa seperti ini terus. Amara pasti tidak ingin melihat kamu terpuruk seperti ini.”

Kenzo menoleh perlahan, tatapan matanya berat.

“Ibu…” suaranya serak. “Amara meninggal karena aku. Kalau malam itu aku tidak memaksanya… kalau aku tidak marah… kalau aku tidak… dia mungkin masih hidup.”

“Tidak!” Ibu Saras langsung memegang tangan putranya. “Yang terjadi itu takdir, Nak. Tidak ada yang mau Amara pergi secepat itu. Tapi kamu harus hidup untuk putramu. Dia butuh kamu.”

Kenzo hanya menunduk dalam, rahangnya mengeras.

“Aku gagal, Bu,” gumamnya pelan. “Aku gagal jadi suami. Dan entah aku bisa jadi ayah atau tidak… aku bahkan tidak mampu menjaga istri sendiri.”

“Jangan bicara begitu.” Suara Ibu Saras bergetar. “Amara sudah tenang. Dia tidak lagi merasakan sakit. Kamu harus melihat ke depan.”

Namun Kenzo tidak menjawab. Ia berdiri perlahan, berjalan ke arah tangga, lalu naik ke lantai dua. Setiap langkahnya terdengar berat.

Ibu Saras hanya bisa memandang punggung anaknya dengan mata berkaca-kaca.

---

Hari-hari berikutnya tidak jauh berbeda. Kenzo tetap berangkat kerja, tapi jiwanya seperti tertinggal di rumah. Sesekali dia berhenti di depan kamar Amara, meletakkan tangannya di gagang pintu, namun tidak pernah masuk. Kamar itu masih seperti terakhir kali Amara memasukinya. Baju-bajunya tetap tergantung rapi, tas kecilnya masih di meja rias, dan aroma samar parfum Amara masih tertinggal.

Kenzo tidak sanggup membuka pintu itu.

Kadang malam-malam, keluarga mendengar suara Kenzo berjalan mondar-mandir di koridor. Seperti seseorang yang tidak tahu harus melakukan apa untuk meredakan sesaknya.

Tuan Rendra memperhatikannya dari kejauhan. Ayah itu merasa sangat bersalah karena tidak lebih keras menegur anaknya sejak awal. Tapi sekarang semuanya sudah terjadi, dan tidak ada satu pun kata yang cukup untuk memperbaiki keadaan.

Suatu pagi, Tuan Rendra memanggil Kenzo.

“Nak,” ucapnya perlahan, “kami semua memahami kesedihanmu. Tapi hidupmu tidak berhenti di sini. Kamu punya tanggung jawab. Kamu punya seorang putra yang menunggu kamu di rumah sakit.”

Kenzo hanya diam.

“Ayah mengerti kamu butuh waktu. Tapi jangan biarkan dosa-dosamu pada Amara bertambah dengan mengabaikan anakmu sendiri.”

Perkataan itu menusuk Kenzo. Tapi masih… dia tidak merespons. Hanya mengalihkan pandangan, seolah tidak siap menerima kenyataan itu.

---

Hari demi hari, Kenzo semakin tampak seperti bayangan dirinya sendiri. Orang-orang di sekitarnya sangat khawatir, tapi tidak ada yang bisa benar-benar mengubah keadaan.

Hingga suatu sore, Kenzo duduk sendirian di ruang kerja rumah. Tangannya memegang foto Amara—foto yang sama yang selalu dia bawa ke kantor. Tatapannya kosong, tetapi matanya merah seperti menahan tangis.

Tidak ada suara. Tidak ada gerakan. Hanya napasnya saja yang pelan dan dalam, seolah sedang mencoba bertahan.

Dan di luar ruangan itu, Ibu Saras dan Tuan Rendra berdiri saling menatap, bingung harus melakukan apa lagi untuk menyadarkan anak mereka yang sudah tenggelam terlalu dalam dalam rasa bersalah.

Semua terasa berat…

Keadaan Kenzo semakin tidak bisa ditebak.

Bersambung…

Haii readers selamat siang selamat membaca..

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!