Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kesembilan
#09
“Tuan, juga mengetahuinya ?” tanya Raden Bentar.
“Tentu saja. Aku mengetahuinya, Bentar. Permadi dan Shakila ini licik, lebih licik daripada Kandara, tak mudah bagi kalian untuk menghadapinya. Untuk itu, Bentar dan kau, Garnis.... kalian harus berhati – hati. Satu – satunya jalan untuk menghadapi mereka adalah, jangan sampai terpancing oleh siasat adu domba seperti yang dilancarkan Kandara waktu itu. Kalian harus saling bekerja sama, bahu – membahu menjaga agar Madangkara tidak jatuh ke tangan orang – orang yang hanya sekedar memuaskan nafsu sendiri,”
“Maaf, tuan.... apakah Anda ada saran untuk menghadapi Permadi dan Shakila ?”
“Raden Bentar.... Dalam keluarga Besar Sang Prabu Brama Kumbara, mungkin kaulah satu – satunya yang mengerti dan paham, bagaimana seharusnya mencari jalan keluar di setiap persoalan. Kau cerdik. Aku yakin, kau pasti bisa menemukan cara atau jalan keluar untuk mengatasi permasalahan ini,” ujar Si Cadar Hitam.
“Tuan, Anda terlalu memuji. Saya hanyalah manusia biasa seperti halnya dengan mereka. Hanya saja, baik aku dan Kak Garnis, belum terlalu yakin dan percaya bahwa Permadi dan Shakila adalah orang – orang Kuntala. Juga apa yang telah menimpa Saudara Widura,” kata Bentar.
“Garnis, Bentar... biarlah waktu yang akan menunjukkannya pada kalian tentang kebenaran. Kuharap itu tidak terlambat. Yang terpenting sekarang adalah, identitas Permadi dan Shakila, sudah kalian ketahui, ingatlah dengan ungkapan ini : ‘SEPANDAI – PANDAINYA TUPAI MELOMPAT, TOH AKHIRNYA BISA JATUH JUGA. BARANG YANG BUSUK, TOH AKHIRNYA AKAN TERCIUM JUGA SEKALIPUN DISEMBUNYIKAN’. Saranku ialah, menghadapi Permadi dan Shakila, kalian harus lebih cerdik. Kini saatnya, kalian menggunakan semua yang telah kalian pelajari selama ini, secara khusus.... kau, Raden Bentar. Inilah ujian yang sebenarnya,”
“Apa maksud, Tuan ?”
“Kau suka membaca sastra, bukan ? Seluruh buku yang ada di perpustakaan istana, baik ilmu pengobatan, tata negara, kanuragan sampai ilmu – ilmu tingkat tinggi, sudah kau serap habis. Seluruh tokoh penting di kerajaan juga telah mengujimu, itu hanya teori, belum prakteknya. Nah, inilah ujian yang sesungguhnya dan harus kau hadapi dengan tuntas. Biarlah saat ini kau sengsara, tapi, di balik kesengsaraan itu pasti ada suka cita. Inilah yang dinamakan ‘MENGAIS SUKA DIATAS LUKA’. Kalian jangan khawatir, aku akan membantu kalian menghadapi Permadi dan Shakila. Tapi, sebelum itu, aku harus melakukan sesuatu hal. Selamat berjuang, wahai putera – puteri Madangkara yang terhormat,” kata Si Cadar Hitam dan tubuhnya seperti hilang tersapu kabut yang masih tersisa di HUTAN KANA GINI itu.
Bentar dan Garnis terkesima melihat pemandangan itu, mereka saling pandang. Orang bercadar hitam itu, benar – benar sudah tidak ada lagi di hadapan mereka.
“Kak Garnis... orang itu ... “
“Iya. Menghilang secara tiba – tiba. Kejadian ini persis seperti sewaktu aku bertemu dengan Ramanda Prabu Brama Kumbara saat kembali ke Madangkara. Dan, hei... lihatlah di depan sana ada sepasukan tentara Madangkara menuju kemari,” ujar Garnis sambil menunjuk ke arah depan. Ada lebih kurang 20 orang bersenjata lengkap mengendarai kuda mendekat, dipimpin oleh seorang laki – laki paruh baya berbadan tegap dan kekar. Ia memacu kudanya paling depan.
“Panglima Kaumati,” sapa Dewi Garnis.
“Hamba menghaturkan sembah pada Gusti Ayu Dewi Garnis dan Raden Bentar,” kata laki – laki itu setelah turun dari kudanya.
“Sembahmu, aku terima, Paman...” kata Raden Bentar, “Ada apa ini ?”
“Gusti Prabu Wanapati, sangat mengkhawatirkan keselamatan Anda berdua. Itulah sebabnya, beliau menitahkan kepada kami untuk memberikan bantuan meringkus orang yang telah mencelakai Tuan Permadi dan Gusti Ayu Shakila, apabila diperlukan,”
“Paman Kaupati,” sapa Raden Bentar, “Kami gagal menangkap orang itu, sekarang dia lenyap entah kemana,”
“Hamba menyesal sekali karena tidak datang tepat waktu, Raden... oleh sebab itu, sudilah Raden dan Gusti Ayu Dewi Garnis memberikan hukuman,”
“Tidak perlu, Paman Kaupati. Sebaiknya, kita pulang sekarang, menyusun rencana selanjutnya untuk menghadapi orang itu jika sewaktu – waktu datang,” ujar Raden Bentar, “Nah, Paman Kaupati... mari kita kembali ke Madangkara, agar tidak lagi membuat Rayi Mas Prabu Wanapati khawatir,”
“Daulat, Raden,” sahut Kaupati lalu segera memerintahkan anak buahnya kembali ke Madangkara.
“Paman, berangkatlah terlebih dahulu... kami akan menyusul dari belakang,” ujar Garnis.
“Baik, Gusti Ayu Dewi Garnis. Kami mohon diri terlebih dahulu,”
“Silahkan, Paman...” kata Raden Bentar.
Pasukan itu bergerak semakin lama semakin jauh, Bentar dan Garnis hanya bisa mengamatinya saja. Mereka terdiam bagai arca batu, apa yang diceritakan Si Cadar Hitam, telah membuat mereka bagai orang linglung.
...______ bersambung _____...