Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 UNIVERSE ARUNIKA-Yang Tidak Pernah Benar-benar Pulang
Satu bulan setelah pendakian, aku masih bangun setiap malam jam 19:57.
Nggak peduli aku tidur jam berapa.
Nggak peduli aku capek atau nggak.
Selalu angka itu.
Jarum jam di tembok kamar berhenti tepat di menit itu.
HP-ku freeze sebentar di menit itu.
Bahkan jam masjid dekat rumah kadang terasa telat semenit sebelum kembali normal.
Awalnya aku pikir cuma trauma.
Sampai suatu malam, jam itu berhenti lagi — dan aku dengar sesuatu dari teras rumah.
Tap. Tap. Tap.
Langkah.
Pelan.
Mantap.
Enam langkah.
Aku nggak buka pintu. Aku cuma duduk di lantai, gemetar, nahan napas sampai suara itu hilang.
Besoknya aku langsung ngirim pesan ke Sari:
> “Lu jam 19:57 ngerasain apa?”
Dia bales cuma dua kata:
> “Jangan lewat chat.”
Tiga jam kemudian aku di kosnya.
Sari kelihatan jauh lebih kurus, mata cekung. Tapi yang paling bikin ngilu adalah senyumnya — senyum orang yang berpura-pura baik-baik saja supaya tidak ditanya lebih banyak.
Kami duduk di dapur kecil kosnya. Sunyi.
Aku langsung to the point: “Lu denger langkah juga?”
Sari ngangguk, pelan. “Sejak dua minggu pulang.”
Aku nunduk. “Gue takut, Sar.”
Dia tertawa kecil, tapi itu tawa orang putus asa. “Semua orang takut. Tapi nggak semua orang tau mereka harus takut sama apa.”
Aku lihat meja makan kecil di antara kami — ada koran harian. Judul kecil di sisi bawah membuat darahku langsung naik ke wajah.
> Pendaki Menghilang di Gunung Arunika — Pola Kasus Lama Berulang
Aku baca cepat koran itu. Satu rombongan — delapan orang.
Yang turun cuma enam.
Aku ngerasa mual.
“Raka,” Sari bilang pelan, “ini belum selesai.”
Aku mau bilang “kita jangan ke sana lagi”, tapi sebelum sempat, Sari meletakkan benda di atas meja.
Gelang biru.
Gelang milik Dimas.
Yang waktu pulang dari gunung tertulis nama Lintang.
Tapi sekarang…
Ada nama baru di bawah ukirannya.
> Raka.
Aku langsung mundur dari kursi tanpa sadar. Punggung nabrak dinding.
“Gue… gue nggak pernah sentuh gelang itu sejak pulang…”
Sari menggeleng pelan. “Gue kunci di kotak baja. Nggak ada orang lain yang bisa buka.”
Aku nggak bisa nafas. “Jadi… nama gue ditulis siapa?!”
Sari menatap dalam mataku.
“Bukan ‘ditulis’. Dipilih.”
Ruangan tiba-tiba terasa sempit.
Ketakutan lama muncul — bukan takut mati, tapi takut kehilangan kendali atas kenyataan.
Sari berkata sesuatu yang bikin bulu kudukku bangkit semua:
“Lintang bilang, kalau gunung sudah ambil korban… sisanya boleh turun.”
Aku mengangguk pelan. “Iya. Dia bilang begitu.”
Sari menatap gelang itu. “Tapi waktu kita turun… gunung nggak bilang dia sudah selesai.”
Aku menelan ludah — tenggorokan seperti luka.
“Apa maksudnya, Sar?”
Sari mendekat, suaranya nyaris bisikan:
“Gunung cuma bilang… satu harus tinggal.
Tapi nggak pernah bilang cuma satu.”
Dunia terasa runtuh di kepalaku.
Sari melanjutkan tanpa berkedip:
“Dan sekarang nama lu terukir.”
Aku melihat gelang itu.
Dan untuk pertama kalinya dalam sebulan… aku sadar.
Gunung tidak menyerah.
Gunung menunggu.
Dan Giliranku…
pelan-pelan…
mendekat.
Sari meraih tanganku dan berkata dengan suara paling serius yang pernah kudengar darinya:
“Kita harus kembali. Bukan buat naik — tapi buat berhenti lari.”
Aku ingin bilang tidak.
Tapi jauh di dalam hati… aku tahu dia benar.
Karena hal paling menyeramkan dari gunung itu bukan saat kita datang…
Tapi saat gunung mengejar kita sampai ke rumah.
Dan malam itu — meski tanpa aku sadari —
aku menjawab panggilan itu dalam diam.
Bukan dengan mulut.
Bukan dengan pilihan.
Tapi dengan ketakutan yang tidak pernah selesai.
Gunung selalu tahu siapa yang belum selesai.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor