Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09 Ramai Tapi Sepi
Udara malam itu lembab, lampu gantung kecil di halaman cafe berpendar redup. Bergerak pelan karena hembusan angin lewat.
Setelah selesai tampil di panggung kecil. Lista duduk di kursi besi samping cafe. Kepalanya mendongak ke langit gelap, menatap bintang-bintang kecil yang berkedip.
"Lucu ya, bintang tuh cuma titik cahaya kecil di langit gelap, tapi orang-orang selalu lihat ke atas untuk cari harapan. Padahal kadang, harapan yang kita cari justru mati lebih dulu dari cahayanya." gumam Lista pelan, ada senyum getir tipis di wajahnya.
"Bintang juga nggak banyak bicara. Kadang cuma pengingat aja, kalau gelap sekalipun, hidup masih punya cahaya kecil yang nyala diam-diam." jawab Alka. Ia berjalan pelan menghampiri Lista.
Lista boleh sebentar. "Sejak kapan lo, di situ?" tanyanya pelan.
Alka hanya membuang napas panjang, lalu duduk di samping Lista. Menyandarkan tubuh ke kursi, kepalanya ikut mendongak ke atas langit.
"Kadang ya, Ta... gue ngerasa di rumah tuh ramai. Tapi entah kenapa, justru paling sepi juga." ucapnya pelan.
Kali ini Lista menatap Alka lebih lama dari sebelumnya. "Iya, Ka. Gue juga ngerasa, makin dewasa makin paham, kalau ramai itu bukan berarti hangat."
Alka terkekeh pelan. "Lo berharap hangat, sama rumah yang isinya masalah." ia melingkarkan tangan di dada.
"Cuma harapan, Ka. Gue juga tahu, itu bukan benar-benar rumah gue. Mereka nggak anggap gue ada. Apalagi, Oma." Lista tersenyum getir, menatap lampu-lampu kecil yang bergoyang.
"Justru gue nggak mau di sayang sama, Oma. Capek, Ta... nggak bebas milih jalan hidup sendiri." Alka tertawa hambar, tapi masih tak menoleh.
"Entahlah... gue nggak ngerti sama apa yang sebenarnya terjadi di keluarga itu." Lista memejamkan mata, menarik napas panjang.
Alka menatapnya lama. Ia tersenyum kecil., Alka tahu, Lista memang selalu tak banyak bicara. Tapi setiap kali mereka ngeluh bareng kayak gini, rasanya langsung nyambung.
Semilir angin malam kembali berhembus, seolah ingin menyapu rasa sepi yang ada di dalam diri mereka. Mereka saling diam, tapi juga saling paham.
Dari balik meja kasir, Athar dan Cakra menatap mereka. Entah kenapa, mereka seperti ikut merasakan luka sahabatnya itu.
"Kasihan, ya." gumam Cakra, sambil memeluk gitar di pangkuannya.
"Mau kasihan, tapi gue tahu. Harta mereka lebih banyak dari gue." kata Athar sambil makan roti.
Cakra menepuk lengan Athar. "Bukan itu, tapi keluarganya loh. Mereka kayak bener-bener nggak di anggap ada sebagai anak."
Athar tertawa hambar, noleh bentar ke Cakra. "Mereka pernah ngerasain di marahin, karena orang tua lagi ngomel, terus kita malah ketawa, karena dia salah ngomong."
"Lucu ya," gumam Cakra pelan. "Orang kayak kita, pernah di marahin karena hal-hal kecil, mereka pernah nggak ya..."
"Nggak, malah mereka nggak di perhatiin." jawab Athar lirih.
Athar terdiam, suara roti yang di kunyahnya ikut berhenti. "Parah sih," katanya. "Kadang orang lain pengen bebas kayak mereka, tapi mereka, justru pengen punya rumah buat pulang."
Cakra menatap Alka dan Lista yang masih duduk disana. "Bintang aja masih punya langit buat di sandarin, Thar. Mereka? Cuma punya malam."
"Mereka punya kita. Lo tahu kan, kenapa Alka pengen buka cafe kayak gini. Dengan alsan biar nongkrong kita bermanfaat..."
"Karena sebenarnya, Alka cuma pengen punya tempat pulang yang hangat. Yang akhirnya, cafe ini jadi milik kita." jawab Cakra cepat.
Malam itu mereka sadar, ternyata nggak semua anak iri sama yang di manja. Ada juga yang cuma pengen di marahin, bukan karena salah, tapi biar tahu rasanya di perhatiin, rasanya di anggap ada di rumah sendiri.
Tapi juga bukan marah seperti Fellisya, yang ujungnya adu mulut sampai ribut. Dan bahkan sampai main fisik.
Malam itu seketika menjadi hening. Bukan karena canggung, tapi karena sadar. Ada luka yang nggak bisa di ceritain. Dan selalu ada harapan jika esok, bisa lebih baik dari hari sebelumnya.
Pagi yang selalu di tunggu dengan harapan itu kini telah tiba. Sinar matahari menembus kaca jendela kelas. Alka melangkah masuk ke kelas, berjalan menuju bangku Alesha dan Jehan.
"Aesh, hari ini gue nggak bisa nemenin lo, nggak papa?" tanya Alka yang berdiri di samping meja.
Alesha mendongak, menyeritkan alis. "Kenapa?"
"Hari ini gue mau latihan dance, buat ikutan event, lusa. Nggak papa, kan?" tanya Alka sekali lagi dengan sorot penuh harap.
Jehan yang duduk di sebelah Alesha ikut menjawab. "Yaudah nggak papa, Ka. Hari ini gue nggak ada acara kok."
Mata Alka melebar, ada senyum di wajahnya. "Serius, Han? Lo, nggak keberatan, kan?"
Jehan ngangguk pelan. "Serius, Alesha kan cewek gue, Ka. Kenapa jadi lo yang khawatir gitu?"
"Dia kayak gini, karena gue, Han. Wajar gue khawatir." jawab Alka. "Yaudah, gue pergi dulu ya." Alka menepuk bahu Jehan. Lalu berlari kecil menuju luar.
Langkahnya ringan saat di koridor sekolah. Senyumnya semakin lebar saat melihat seorang gadis tengah berlari kecil ke arahnya.
"Pagi Alka," sapa Liona dengan suara lembutnya.
"Pagi juga, Ona. Hari ini sendiri dulu ya, gue mau izin." Alka mengelus kepala Liona, sebelum ia melanjutkan langkahnya.
"Lo, mau kemana, Alka?" Liona sedikit berteriak, melihat Alka yang semakin jauh.
"Mau latihan, dance. Udah, lo bareng gue aja." jawab Lista yang baru datang, tangannya melingkar di leher Liona.
"Dance? Dia suka dance, juga?" tanya Liona, wajahnya tersenyum lebar.
"Hmm," jawab Lista, sambil menyeret Liona pergi dari sana.
Siang itu, udara di studio terasa pengap. Angin AC dari sudut ruangan tak terasa. Musik dari speaker udah dipelankan, tapi langkah hentakan kaki Alka masih terus berulang.
"Ka, lama-lama lantai studio rontok," suara Rian terdengar dari arah pintu. Di tangannya ia membawa dua minuman dingin.
Seketika Alka berhenti, ia nyengir lebar. "Biar cepet licin, Bang. Jadi gerakan makin mulus."
Rian hanya menggeleng, sambil nyodorin botol minum ke Alka. "Mulus sih boleh, tapi jangan sampe mulus ke UGD. Minum dulu. Lo latihan dari jam berapa?"
"Dari pagi," jawab Alka sambil meraih botol minuman.
"Gila. Gue pikir, lo udah pulang tadi." Rian menggeleng sambil natap Alka.
Alka nyengir lagi, sambil duduk di lantai. "Nggak, Bang. Lusa gue event. Kalau gagal lagi, gue malu."
Rian ikut duduk di sebelahnya. "Lo gagal bukan karena, lo nggak bisa, Ka. Tapi karena lo pengen semuanya sempurna. Kadang orang yang pengen sempurna malah lupa nikmatin prosesnya."
Alka terdiam, matanya menatap cermin besar di depannya. Refleksi dirinya terlihat lelah, tapi juga penuh tekad.
"Bang, lihat deh. Lagi keringat kayak gini, gue cakep juga ya."
Rian sontak tertawa ngakak, tangannya memukul-mukul punggung Alka. "Lo bisa serius dikit nggak?"
Tawa Alka kini berhenti, tapi masih ada senyum menggantung di wajahnya. "Terus, gue harus santai gitu?"
"Bukan santai, tapi sadar kalau dance itu bukan soal menang. Lo tuh hidup di setiap ketukan, bukan cuma di panggung."
Alka pelan-pelan tersenyum, menunduk sambil mainin tutup botol. "Iya juga, ya... kadang gue lupa alasan gue dance dari awal."
Rian berdiri, menepuk bahu Alka. "Nah, sekarang inget lagi. Lo dance, karena lo suka. Lo nikmatin prosesnya, gue yakin. Lo pasti bisa kejar impian lo."
Alka mengangguk kecil. "Siap, Bang."
"Udah, lanjut latihan. Tapi abis dua lagu, pulang. Gue nggak mau denger lo pingsan di sini."
Alka tertawa. "Siap, pelatih bawel."
"Bawel demi, lo. Bocah keras kepala," sahut Rian sambil keluar ruangan.
Alka menatap pintu yang menutup pelan, lalu kembali berdiri di depan cermin. Musik kembali mengalun, dan kali ini, langkah-langkah nya terasa lebih ringan.