Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terperangkap dalam Waktu
Kami berlari semakin jauh, berusaha mencari jalan keluar dari pasar yang aneh ini. Setiap langkah terasa semakin sia-sia, dan semakin kami bergerak, semakin kami merasa tidak bisa menemukan pintu keluar. Tenda-tenda yang tadinya tampak sepi kini terlihat semakin besar dan semakin gelap. Lampu-lampu redup yang semula hanya menyinari beberapa rak barang, kini mengarah ke setiap sudut pasar, seperti mengawasi setiap gerakan kami.
“Ini bukan pasar biasa!” teriak Fandi, terlihat panik dan cemas. “Kita harus keluar, bro! Ini nggak bener!”
Kami semua mencoba berlari lebih cepat, namun setiap kali kami melangkah, kami merasa seperti kembali ke tempat yang sama. Jalan yang kami lewati seakan tak pernah berakhir, dan setiap belokan membawa kami kembali ke pasar yang itu-itu saja. Tenda-tenda yang sama, lampu-lampu yang sama, dan udara yang semakin berat. Kami mulai merasa bahwa kami tidak pernah benar-benar maju. Semua yang kami coba, seolah sia-sia.
“Gila! Ini nggak mungkin!” teriak Danang, semakin terdesak. “Kita udah jalan kemana-mana, tapi kenapa rasanya kita nggak pernah keluar?”
Aku menatap sekitar, bingung dan semakin cemas. “Gue juga nggak ngerti. Ini kayaknya udah nggak masuk akal. Kita udah muter-muter tapi tetep aja kembali ke tempat yang sama. Apa ini semacam perangkap?”
Indra, yang dari tadi lebih banyak diam, akhirnya membuka mulut dengan suara berat. “Gue nggak ngerti... tapi ini bukan pasar biasa. Kita nggak bisa keluar. Lo perhatiin nggak, kenapa pas kita balik, jalan yang kita lewatin selalu sama?”
Kami semua berhenti sejenak, mencoba meresapi apa yang Indra katakan. Sepertinya dia benar. Kami merasa seperti terjebak dalam lingkaran tak berujung. Semua jalan yang kami pilih membawa kami kembali ke titik yang sama. Tak ada jalan yang berbeda. Tak ada petunjuk atau arah yang bisa mengarahkan kami keluar dari pasar ini.
“Gue rasa kita... terjebak,” ujar Rudi dengan suara berat. “Terjebak dalam dimensi lain. Ini nggak mungkin terjadi secara kebetulan.”
Semua terdiam. Kata-kata Rudi menghantam kami seperti petir. Kami semua merasa terperangkap, tetapi tak ada yang mengakui bahwa hal ini benar-benar terjadi. Kami semua masih berusaha berpikir rasional, meskipun kenyataannya semakin sulit diterima.
“Lo yakin itu dimensi lain?” tanya Fandi, suaranya penuh dengan kebingungan. “Maksudnya, kayak kita nggak ada di dunia nyata lagi gitu?”
Indra mengangguk perlahan, “Gue nggak tahu sih, Fandi. Tapi... waktu di sini kayak berhenti. Lo nggak ngerasa itu juga?”
Aku mendengarkan perkataan Indra dengan seksama. Memang, aku mulai merasa ada yang aneh dengan waktu. Kami sudah berjalan cukup lama, tapi tidak ada perasaan kalau waktu berjalan. Semua di sekitar kami tampak terhenti. Seakan-akan dunia di luar pasar ini tidak ada, atau mungkin sudah hilang sama sekali. Aku mencoba melihat jam tangan di tanganku, dan yang aku lihat membuat aku merinding. Jarum jamnya tidak bergerak sedikit pun.
“Jam gue juga macet,” kata Rudi, melihat jam tangannya dengan ekspresi yang sama bingungnya. “Ini nggak mungkin, kan? Kita udah berjalan berjam-jam, tapi kenapa waktu nggak bergerak?”
Kami semua saling menatap. Jantungku berdegup kencang, dan aku merasa seperti ada sesuatu yang menggerogoti setiap pikiran kami. Waktu... waktu yang seharusnya terus bergerak, ternyata berhenti di tempat ini. Apa artinya semua ini? Apakah kami sudah benar-benar terjebak di dalam pasar ini, atau bahkan di dalam dimensi yang berbeda?
“Gue rasa kita harus berhenti dan mikir lagi,” kata Danang dengan suara rendah. “Kita nggak bisa terus lari. Ini bukan tentang cepat atau lambat, tapi tentang bagaimana kita bisa keluar dari sini. Kalau waktu berhenti, mungkin kita juga harus berhenti dan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Fandi menghela napas panjang, “Tapi, gimana caranya kita tahu apa yang terjadi, Danang? Kalau jam aja berhenti, gimana kita bisa tahu kalau kita benar-benar masih di dunia yang sama?”
Indra mengangguk setuju. “Kita harus berhenti sejenak. Pikirkan semuanya. Kalau benar ini dimensi lain, kita nggak akan bisa keluar kalau kita nggak tahu apa yang terjadi. Pasar ini bukan cuma tempat aneh. Ada sesuatu di sini yang menghalangi kita keluar.”
Aku merasa takut dan bingung, tapi aku tahu bahwa kami tidak bisa terus berlari tanpa tujuan. Kami harus berhenti dan memikirkan langkah selanjutnya. Jika benar kami terjebak di dalam dimensi lain, kami harus mencari tahu bagaimana caranya keluar.
Kami semua berhenti dan duduk di tengah pasar yang sepi. Pasar yang begitu mencekam. Suara angin yang berhembus perlahan seakan menambah ketegangan yang ada. Tidak ada suara lain selain napas kami yang berat. Semua barang di pasar itu terasa seperti barang mati—hanya ada, tetapi tidak pernah benar-benar hidup.
Aku mencoba berpikir jernih, meskipun perasaan takut semakin menyelimuti diri. “Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku, memecah keheningan yang tegang. “Gimana kita bisa keluar dari sini?”
Rudi yang tampak lebih tenang daripada sebelumnya, berkata, “Kita harus cari tahu lebih banyak tentang pasar ini. Kalau memang kita terjebak, kita harus cari tahu cara untuk keluar. Mungkin ada petunjuk di sekitar sini.”
Kami semua setuju dan mulai memeriksa sekitar. Barang-barang di pasar itu terlihat semakin aneh. Ada boneka-boneka dengan mata kosong yang seolah menatap kami, ada juga alat-alat yang tampaknya berasal dari zaman dahulu, dan berbagai benda yang tidak kami kenal. Semua itu memberikan kesan bahwa pasar ini bukanlah tempat yang biasa. Pasar ini seperti terhenti di zaman yang berbeda—entah itu masa lalu atau masa depan yang tidak bisa dijangkau oleh kami.
“Apa lo lihat itu?” tanya Fandi, menunjuk ke arah sebuah meja kayu yang tampaknya sudah sangat tua. Di atas meja itu, ada sebuah buku besar yang tertutup. Buku itu tampak sangat usang, dan kami bisa melihat debu tebal yang menutupi permukaannya.
Indra berjalan ke meja itu dan membuka buku tersebut. “Ini... aneh,” kata Indra pelan, saat membuka halaman pertama. “Ini sepertinya bukan buku biasa. Ada tulisan-tulisan yang nggak gue ngerti.”
Aku mendekat, mencoba melihat lebih jelas. “Coba gue lihat,” kataku, mengambil buku itu dari tangan Indra. Halaman pertama penuh dengan simbol-simbol aneh yang tidak kami mengerti. Setiap barisnya tampak seperti tulisan dari zaman yang sangat lama, seolah ditulis dengan tangan yang sudah lama tidak digunakan.
“Apa ini semua?” tanya Rudi, tampak semakin bingung. “Kenapa kita nggak ngerti tulisan ini?”
Indra menatap buku itu dengan serius. “Mungkin ini petunjuk untuk keluar. Buku ini... mungkin milik orang yang pernah terjebak di sini. Mungkin ada cara untuk keluar, tapi kita harus memahami apa yang ditulis di sini.”
Kami mulai memeriksa buku itu dengan lebih teliti. Setiap halaman menyimpan simbol-simbol yang semakin membingungkan. Namun, semakin lama kami membaca, semakin kami merasa bahwa buku itu adalah kunci untuk keluar dari pasar ini. Kami harus memahami setiap kata dan setiap simbol yang ada di dalamnya, karena itu mungkin satu-satunya petunjuk yang bisa kami gunakan untuk kembali ke dunia kami.
“Gue rasa kita harus terus cari tahu lebih banyak. Mungkin buku ini memang bisa bantu kita keluar,” kataku, berusaha meyakinkan teman-teman yang mulai kehilangan harapan.
Namun, di dalam hati, aku juga merasa cemas. Apa benar buku itu bisa jadi jalan keluar? Apa kita bisa benar-benar kembali? Atau apakah kami sudah terjebak di sini selamanya?