NovelToon NovelToon
Nikah Dadakan Karena Warga

Nikah Dadakan Karena Warga

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pernikahan Kilat
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Anjay22

Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana pulang kerumah orang tua Raka

Satu Minggu berlalu tidak terasa sejak Reva dan Raka menikah dadakan.Pagi itu, sinar matahari menyelinap lewat celah jendela yang retak, menyapu wajah Raka yang kini terlihat lebih segar. Luka di pelipisnya sudah mengering, meninggalkan bekas merah muda yang perlahan memudar. Tubuhnya tak lagi lemas. Napasnya stabil. Matanya—yang dulu redup oleh rasa takut dan kelelahan—kini berbinar dengan tekad yang baru.

Reva, yang sedang menyiapkan sarapan di sudut dapur, melihat perubahan itu. Ia tak berkata apa-apa, tapi hatinya lega. Raka sembuh. Dan itu berarti… segalanya akan berubah lagi.

“Reva,” panggil Raka pelan, suaranya hangat namun pasti.

Reva menoleh, tangan masih memegang sendok kayu. “Ya?”

Raka berdiri, lalu berjalan perlahan mendekat. Ia berhenti tepat di ambang pintu dapur, matanya menatap lurus ke arah Reva—bukan dengan nafsu, bukan dengan paksaan, tapi dengan kelembutan yang tulus.

“Aku sudah sehat,” katanya. “Dan… aku ingin membawamu pulang.”

Reva terdiam. Sendok di tangannya berhenti bergerak. “Pulang?”

“Ke rumah orang tuaku ,dikawasan pondok indah ” jawab Raka. “Di sana, kita bisa memulai hidup baru. Kedua orang tuaku pasti sangat khawatir padaku ,kita akan tinggal disana ,dan di sana… tidak ada yang tahu siapa kita sebelumnya. Tidak ada yang akan menilai kita karena malam itu.”

Reva menunduk. Hatinya berdebar—bukan karena takut, tapi karena harapan yang tiba-tiba muncul seperti cahaya di ujung terowongan gelap. Pulang. Kata yang indah. Kata yang ia rindukan sejak lama, tapi tak pernah berani diucapkan.

Tapi lalu, kenyataan menghantamnya perlahan.

“Raka…” suaranya pelan, hampir berbisik. “Aku… aku ingin ikut. Sungguh. Tapi… saat ini aku tidak punya uang.”

Raka mengerutkan dahi. “Uang?”

“Ya ,uang ! Untuk ongkos.beli Tiket bis. Makan di jalan. Aku… belum gajian. Bosku baru bayar minggu depan.” Reva menatap lantai, malu. “Aku tidak bisa pergi sekarang. Aku bahkan tidak punya cukup uang untuk beli nasi bungkus dua hari ke depan.”

Raka terdiam. Ia melihat wajah Reva—mata yang lelah, bibir yang sering menggigit saat cemas, tangan yang kasar karena kerja keras. Ia sadar, selama ini Reva-lah yang menanggung segalanya: makanan, obat, bahkan kebaikan yang tak pernah ia minta.

Dan kini, perempuan itu menolak kesempatan untuk lepas dari kota ini—bukan karena tidak ingin, tapi karena tidak punya uang.

Perasaan bersalah menyusup ke dada Raka. Ia laki-laki. Ia suaminya. Tapi ia tak bisa memberi apa-apa.

“Maafkan aku,” katanya pelan, suaranya bergetar. “Aku… aku lupa. Aku terlalu egois. Aku hanya memikirkan diriku sendiri.”

Reva menggeleng cepat. “Jangan bilang begitu. Kamu tidak egois. Kamu hanya… ingin melindungi kami. Itu yang aku lihat.”

Ia meletakkan sendok, lalu mendekat. “Aku juga ingin pergi dari sini, Raka. di tempat ini terasa seperti penjara sekarang. Setiap kali aku keluar, aku merasa semua orang menatapku—menghakimi. Tapi… aku tidak bisa pergi tanpa persiapan. Aku tidak mau kita sampai di sana lalu kelaparan karena tidak punya uang sama sekali.”

Raka mengangguk perlahan. “Kamu benar.”

“Jadi… bisakah kamu menunggu?” tanya Reva, matanya menatap penuh harap. “Tunggu sampai aku gajian. Mungkin dua minggu lagi. Setelah itu… kita pergi bersama. Sebagai suami istri yang benar-benar memulai hidup baru.”

Raka menatapnya lama. Di mata Reva, ia melihat bukan keterpaksaan, tapi kebijaksanaan. Bukan penolakan, tapi rencana. Dan di balik itu semua—ia melihat kekuatan yang diam-diam mengagumkan.

Perempuan ini, yang dipaksa menikah dengannya dalam keadaan terhina, kini justru berpikir untuk masa depan mereka berdua. Ia tak lari. Ia tak menyalahkan. Ia merancang jalan keluar—dengan sabar, dengan realistis, dengan hati yang tetap utuh meski telah dihancurkan berkali-kali.

“Ya,” jawab Raka, suaranya mantap. “Aku akan menunggu. Selama yang kamu butuhkan.”

Reva tersenyum kecil—senyum yang lelah tapi tulus. “Terima kasih.”

***

Hari-hari berikutnya berlalu dalam ritme yang baru. Raka tak lagi duduk pasif di kamar. Ia mulai keluar, mencari pekerjaan sementara—menjadi kuli bangunan, tukang angkut barang di pasar, atau membantu tukang parkir. Ia bekerja dari pagi hingga sore, pulang dengan tubuh berdebu dan kantong yang kadang hanya berisi lima ribu rupiah. Tapi ia tak pernah mengeluh.

Setiap malam, ia menyerahkan uang itu pada Reva. “Simpan,” katanya. “Untuk ongkos pulang.”

Awalnya, Reva menolak. “Ini uangmu. Kamu yang kerja.”

“Kita suami istri,” jawab Raka tenang. “Uangku uangmu. Uangmu uangku.”

Reva tak bisa berkata apa-apa. Ia menerima uang itu, lalu menyimpannya di kaleng bekas susu yang ia sembunyikan di bawah kasur—tabungan kecil mereka untuk kebebasan.

Sementara itu, Reva tetap bekerja di Toko Bu Lusi. Ia bekerja lebih giat, berharap majikannya memberinya bonus atau uang muka tambahan. Dan entah karena keberuntungan atau karena Tuhan akhirnya mendengar doanya, Bu Lusi memang memberinya uang lebih—“Sebagai bantuan untuk awal baru,” katanya.

"Terimakasih Bu ," ucap Reva menerima amplop yang di berikan bosnya .

"Iya ,semoga dengan uang ini kamu bisa pulang kerumah mertuamu ,dan kamu bisa diterima dengan baik oleh kedua mertuamu !"

"Aamiin."

Reva menangis diam-diam di kamar mandi umum. Bukan karena sedih, tapi karena untuk pertama kalinya dalam lama, ia merasa dunia belum sepenuhnya kejam padanya.

***

Suatu malam, setelah makan malam sederhana—hanya nasi dan sambal terasi—Raka duduk di dekat jendela, menatap langit Jakarta yang dipenuhi lampu neon.

“Kamu pernah ke pondok indah ?” tanyanya tiba-tiba.

Reva menggeleng. “Belum. Aku dari kampung , Tapi aku pernah dengar nama pondok indah. tapi aku sendiri tidak tahu itu dimana ”

“Begitu ya ,” kata Raka, matanya menerawang."Disana tidak ada yang istimewa ,hanya rumah ,dan bangunan perumahan saja ,tidak ada yang sepesial ,Bahkan cenderung membosankan ."

"Tapi aku penasaran ,apa benar pondok disana indah ?"

Raka tersenyum kecil. “Aku ingin kamu melihat sendiri ,disana .!

Reva menatapnya. “Aku ingin itu juga.”

“Dan… aku ingin kamu tahu,” lanjut Raka, suaranya pelan tapi tegas, “kalau di sana, aku akan memperlakukanmu bukan sebagai istri yang dipaksa, tapi sebagai perempuan yang kuhormati. Aku akan bekerja keras. Aku akan membangun rumah yang layak untukmu. Aku tidak janji kaya… tapi aku janji, kamu tidak akan pernah merasa terjebak lagi.”

Air mata Reva menggenang. Ia tak menyangka laki-laki ini—yang dulu ia anggap sebagai ancaman—kini justru memberinya harapan yang paling indah.

“Kamu tidak perlu janji apa-apa,” katanya pelan. “Cukup… jangan pernah memaksaku. Cukup perlakukan aku seperti manusia. Itu saja sudah lebih dari cukup.”

Raka menatapnya, lalu mengangguk. “Itu yang akan kulakukan. Selamanya.”

***

Minggu kedua berlalu. Hari gajian tiba. Reva pulang dengan amplop cokelat di tangan—gajinya penuh, ditambah bonus kecil dari Bu Lusi. Ia juga membawa uang tabungan dari Raka yang ia hitung setiap malam.

Malam itu, mereka duduk berhadapan di atas tikar tipis, menghitung uang bersama—seperti dua anak kecil yang merencanakan petualangan.

“Cukup untuk tiket bis ekonomi pulang-pergi,” kata Reva, matanya berbinar. “Dan masih ada sisa untuk makan di jalan dan ongkos angkot dari stasiun ke Rumahmu.”

Raka tersenyum—senyum pertama yang benar-benar lega sejak malam perampokan itu. “Kita pergi minggu depan?”

Reva mengangguk. “Ya. Minggu depan sekalian aku mau pamit sama teman temanku ."

***

Malam itu, Reva tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit, memikirkan semua yang telah terjadi. Dari malam mencekam, ancaman telanjang, pernikahan paksa, hingga hari ini—di mana ia dan Raka duduk bersama, merancang masa depan dengan uang receh dan harapan besar.

Ia tak tahu apakah hidup di rumah mertuanya nanti akan benar-benar damai. Ia tak tahu apakah cinta akan tumbuh di antara mereka. Tapi yang pasti, ia tak lagi merasa sendirian.

Di sampingnya, Raka tidur dengan tenang—nafasnya stabil, wajahnya damai. Dan Reva tahu, laki-laki ini mungkin bukan pilihan hatinya… tapi ia adalah pilihan takdir yang kini ia peluk dengan ikhlas.

Karena terkadang, cinta bukanlah awal dari segalanya—  

tapi hasil dari dua orang yang memilih untuk saling menjaga,  

meski dunia mencoba memisahkan mereka.

Dan besok, mereka akan pergi—  

bukan sebagai korban,  

tapi sebagai pasangan yang mulai belajar mencintai  

dalam diam, dalam kesederhanaan,  

dan dalam kebaikan yang tumbuh perlahan  

seperti akar yang menembus batu.

1
Napoleon
woop , rasanya gimana tuh Raka manis pasti
Napoleon
Buruk
Napoleon
Kecewa
Jena
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
MayAyunda: terimakasih kak
total 1 replies
kawaiko
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
MayAyunda: siap kak 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!