Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Star
Bel sekolah berbunyi nyaring, membebaskan para siswa dari ruang kelas yang membosankan. Koridor langsung dipenuhi dengan wajah-wajah yang bersemangat dan lelah. Sebagian siswa bergegas menuju kegiatan ekstrakurikuler, sementara yang lain memilih kantin atau langsung pulang.
Di Gymnasium, Sensei Ryu, pelatih Judo yang tegas namun bijaksana, berdiri di hadapan anggota klub Judo. Suaranya menggema, menyampaikan informasi penting tentang Turnamen Judo SMA yang akan datang tiga minggu lagi. Sorot matanya yang tajam memastikan setiap atlet memahami betapa pentingnya turnamen ini.
Aries, kapten klub Judo yang karismatik dan berpengalaman, berdiri di samping Sensei Ryu. Dengan kepercayaan diri yang terpancar, ia mengumumkan bahwa hari ini akan diadakan seleksi untuk menentukan atlet yang akan mewakili klub. Suasana menjadi tegang, bercampur dengan keyakinan akan kemampuan masing-masing.
Setelah seleksi yang ketat, Aries mengumumkan tiga nama yang terpilih. "Leo, Arnold, dan Lefian."
"Kalian harus mempersiapkan diri! Siap?" serunya dengan semangat membara.
“Oss!” jawab ketiganya serempak.
Di salah satu barisan, Reza, sahabat Agatha selama tiga tahun, merasa kecewa namanya tidak disebut. Senyumnya memudar, digantikan rasa penasaran dan kekesalan. "Sial! Kenapa dia tidak memilihku?" batin Reza, matanya menyorot tajam ke arah Agatha.
Agatha menyadari tatapan itu dan membalasnya dengan seringai sinis. Ia memang mengharapkan reaksi itu dari Reza, teman yang selama ini ia percayai. Namun, ia tahu, cepat atau lambat Reza akan berkhianat.
Sementara itu, di area penonton, klub cheerleader yang baru selesai latihan menyaksikan latihan judo.
"Aries! Kyaaaa... Aries!" Para siswi populer memberikan dukungan. Agatha membalas dengan senyum ramah. Matanya kemudian tertuju pada Rena, ketua cheerleader.
“Hai,” sapa Rena sambil melambaikan tangan. Agatha membuang muka, menunjukkan ketidakpeduliannya.
Dari sudut Gymnasium, Larast menyaksikan latihan dengan senyum manis. Ia menatap Agatha dengan kekaguman, kedua tangannya memeluk kotak bekal kosong pemberian idolanya pagi ini. “Gerakan dan tekniknya selalu membuatku terpesona,” gumam Larast. “Akankah aku bisa meraihnya? Dia tetap bintang yang bersinar, sementara aku hanya Upik Abu.”
Usai latihan, para siswi berhamburan mendekati Agatha, memberikan hadiah dan ucapan selamat. Rena tersenyum tipis, rona merah di wajahnya terlihat jelas. “Hai, Aries. Ada waktu?” tanya Rena lembut.
Beberapa anggota klub Judo langsung berkerumun di antara Agatha dan Rena. Kulit putih Rena, rambut sebahu yang hitam berkilau, serta mata biru yang menawan membuat mereka terkesima.
Namun, Agatha tidak mendengar ucapan Rena. Ia menyadari keberadaan Larast dan segera menyingkirkan bahu Rena yang menghalangi pandangannya. “Aku sibuk,” jawab Agatha singkat. Kemudian, ia melambaikan tangan ke arah Larast dengan senyum ramah yang jarang terlihat.
Sontak, semua mata tertuju pada Larast. “Haist… dia benar-benar gila.” Larast menundukkan kepala karena canggung dan berbalik pergi.
Agatha segera berlari menyusul Larast. “Rast!” teriak Agatha. Larast mempercepat langkahnya.
Agatha meraih tas Larast dari belakang, lalu menariknya. Larast berbalik terkejut, kehilangan keseimbangan, dan keduanya jatuh bersamaan.
Wa… wa… Brukk!
Larast menindih tubuh Agatha, mata mereka bertemu dalam jarak satu inci. Agatha menelan ludah, tangannya tanpa sengaja menyentuh dada Larast. Larast segera bangkit dengan tatapan terkejut. “Kyaaaa!” Ia menampar pipi kanan Agatha.
Agatha tidak bisa menyembunyikan debaran jantungnya. Larast berlari keluar Gymnasium dengan wajah memerah.
“Astaga, aku kan tidak sengaja,” gumam Agatha, menyentuh pipinya yang terasa panas. Ia bangkit dan ikut keluar mencari Larast.
“Cewek plester, tunggu!” teriak Agatha.
Larast menoleh, melihat Agatha berlari ke arahnya, ia semakin mempercepat larinya. “Menyebalkan,” batin Larast. Nafasnya terengah-engah, jantungnya berdebar kencang, bercampur dengan kekesalan atas kejadian tadi.
Agatha menghentikan langkahnya, menyadari Larast semakin menjauh, berlari keluar dari gerbang sekolah. Ia masih mengenakan judogi, membuatnya tak mungkin mengejar.
Dengan terpaksa, Agatha bergegas ke ruang ganti untuk mengganti pakaian. Tiba-tiba, Reza mendekat dan menepuk pundak kanannya. “Loe kan tahu, Leo nggak sebagus gue. Kenapa loe pilih dia?” tanya Reza, mencoba mencari tahu alasan namanya tak masuk dalam daftar seleksi.
“Dia punya teknik yang bagus, aku cuma mau kasih kesempatan buat Leo,” jawab Agatha tegas.
“Loe bener-bener ya! Dari kemarin gue lihat loe aneh! Ngejauhin gue, bahkan sekarang…” Sebelum kalimat Reza berlanjut Agatha menoleh tajam.
“Denger ya! Bukan berarti karena kita temen, kamu harus selalu aku pilih! Aku dan pelatih punya kualifikasi untuk memilih anggota yang memang mampu mewakili turnamen,” jelas Agatha dengan nada meninggi.
“Tapi, kan, seenggaknya ada nama gue!” Reza mengepalkan kedua tangannya, emosinya mulai terpancing. Agatha melirik kemarahan itu, lalu setelah selesai berganti seragam, ia mendorong bahu Reza, menyingkirkannya dari hadapannya.
“Kalau kamu nggak terima, kamu bisa langsung ngomong ke pelatih!" ucap Agatha sebelum berbalik meninggalkan ruang ganti.
Brak!
Seketika Reza meninju loker dengan kesal. Agatha mendengar suara itu, tapi ia tak menoleh, terus berjalan keluar dari ruang ganti, meninggalkan Reza dengan amarahnya yang membara.
Agatha bergegas menuju tempat parkir dan mengayuh sepedanya sekuat tenaga. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok Larast.
Akhirnya, ia melihat gadis yang dicarinya. Agatha mengayuh sepedanya lebih cepat, lalu menekan rem mendadak di depan Larast.
Ciit!
Larast terkejut dan hampir menabrak sepeda Agatha.
“Kan udah aku bilang, jangan lari! Aku anterin, cepetan naik!” ucap Agatha sambil menarik tas Larast.
“Nggak, nggak mau. Gue mau jalan aja,” tolak Larast.
”Kenapa? Kamu malu gara-gara aku nggak sengaja pegang da-da?” Agatha dengan santai mengucapkan hal itu.
Sontak, Larast membungkam mulut Agatha dengan kedua tangannya. “Apa sih mau loe?”
"Ummmmm ... ummmm," jawab Agatha dengan mulut tertutup.
"Hish!" desis Larast, lalu melepaskan tangannya.
“Aku maunya kamu nggak lari. Ayo naik, aku anterin sampe Resto!” ujar Agatha sambil menarik tangan Larast.
Larast masih diam, menahan kedua kakinya kuat-kuat.
“Mau naik, apa aku peluk di sini?!” gertak Agatha.
“Hah!” desah Larast kesal.
Akhirnya, Larast duduk menyamping di boncengan seperti tadi pagi. Tangannya memegang stang sepeda erat-erat. Agatha mulai mengayuh sepedanya dengan hati-hati.
“Nah, gitu kan enak. Sudah aku bilang, tunggu aku,” gerutu Agatha. Agatha mengusap kepala Larast dengan lembut.
“Aku minta maaf ya soal tadi,” ucap Agatha pada Larast.
Larast hanya diam, tangan kirinya meremas roknya kuat-kuat. Jantungnya berdebar kencang.
“Kamu udah makan siang? Makan dulu, ya!” ucap Agatha.
Namun, Larast tetap diam. Ia memejamkan matanya, meremas roknya semakin kuat. Ia berusaha menahan debaran yang semakin tak terkendali, apalagi dia mampu mencium aroma tubuh Agatha secara dekat, aroma maskulin yang bercampur dengan bau khas tubuh Agatha, memabukkan dan juga menenangkan Larast. Ini adalah kekacauan yang indah.
Bersambung.
(Author: ih gemes deh sama Agatha)
eh itu jmnya nyla lgi sprt waktu dia mau pergi ke masa lalu ya .
ada apa iti?