Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Menikahi Sena?
Walaupun Bastian sudah menyadari kesalahannya, bukan berarti hubungan dengan Sena menjadi lebih baik. Mereka tetap seperti dua orang asing yang terjebak tinggal di bawah satu atap.
Bastian. Lelaki itu masih saja larut dalam kebiasaannya. Bersenang-senang dengan wanita-wanita yang datang silih berganti.
Seperti malam ini, ketika Sena sedang bersantai di ruang tamu, pintu Penthouse terbuka. Bastian masuk dengan seorang wanita yang menempel manja di lengannya.
Keduanya berjalan melewati Sena tanpa sekilas pandang, lalu menaiki tangga menuju kamar.
Sena hanya bisa memandangi punggung mereka yang semakin menjauh. Tangannya refleks mengusap perutnya sendiri.
“Tidak apa-apa, Sena. Tidak apa-apa. Meski hanya kau yang berjuang, lakukan demi anak tak berdosa ini”, gumamnya dalam hati.
Mood menontonnya langsung sirna. Sena berdiri, berjalan menuju kamarnya. Namun, langkahnya tertahan ketika suara-suara dari balik pintu kamar Bastian terdengar begitu jelas.
“Apa Bastian benar-benar kasar sampai wanita itu menjerit seperti itu?” bisik Sena lirih. Dadanya perih, lalu ia memilih berlalu ke kamarnya sendiri dan membanting pintu hingga tertutup rapat.
… … …
Sementara itu, di kamar lain, ruangan itu penuh dengan desah dan erangan dua insan yang larut dalam permainan mereka.
Pria itu masih mengenakan celana panjang, tetapi tangannya sudah leluasa menjelajahi tubuh wanita dibawahnya, mulai dari leher turun ke dada, perut, hingga ke area sensitif wanita itu.
Wanita itu mendesah, dengan suara yang sengaja dibuat keras, seolah ingin semua orang yang ada di Penthouse ini mendengarnya.
Bastian semakin brutal dengan menggigit area-area sensitif wanita itu di atas dan bawah.
“Kita bermain cepat saja” ucap Bastian singkat, mulai melepaskan celana panjangnya itu.
Wanita itu langsung mengerti, lalu mengambil kendali, memposisikan diri di atas tubuh Bastian.
Malam itu penuh dengan permainan panas Bastian seperti malam-malam lainnya, hanya berbeda wajah wanita yang ada di sisinya.
Banyak gaya yang mereka pakai pada malam panas itu, hingga mereka mengeluarkan puncaknya masing-masing. Namun, ada satu hal yang tak pernah ia ubah. Bastian selalu bermain aman. Bastian tidak pernah mengeluarkan benihnya di dalam wanita-wanita itu.
Kecuali dengan satu orang wanita yang kini tengah mengandung anaknya.
...****************...
Hari itu, Arya baru saja kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pekerjaannya. Bukannya langsung pulang ke apartemen atau kantor, langkah pertamanya justru menuju Penthouse Bastian.
Ia ingin memastikan keadaan Sena. Dari laporan orang kepercayaannya, ia tahu bahwa di hari kepergiannya ke Timur Tengah, Bastian terlihat menyeret paksa Sena masuk ke mobilnya.
“Sena,” panggil Arya lembut saat melihat gadis itu sedang meminum susu di dapur. Itu susu ibu hamil.
Arya sedikit lega. Itu pertanda janinnya baik-baik saja.
Namun wajah Sena yang pucat dan penuh ketakutan membuatnya tercekat.
“Arya…” suara Sena bergetar, pandangannya gelisah, sesekali melirik ke arah CCTV di sudut ruangan.
“Sena, kamu gak apa-apa?” Arya berjalan mendekat
Sena mundur, berusaha menjaga jarak. Ketakutannya terlihat jelas.
“Sena kamu kenapa?” tanya Arya bingung.
“Kamu diapain sama Bastian?” tanya Arya, kini nadanya sedikit berbeda.
Arya yang tidak mendapat jawaban dari Sena pun akhirnya menarik tangan Sena perlahan dan membawanya keluar ke teras. Di sana hanya ada mereka berdua.
“Katakan yang sebenarnya, Sena. Apa yang dilakukan Bastian padamu?”
“Tidak… tidak ada, Arya. Aku baik-baik saja.”
“Bohong,” potong Arya tajam.
Sena terkejut, tubuhnya menegang.
“Aku tahu kamu ditarik paksa olehnya dan sempat dirawat di rumah sakit. Kenapa kamu bisa ada di sini lagi? Bukannya dia sudah mengusirmu? Kenapa malah pergi dari apartemenku?” desak Arya.
Sena mencoba menjawab, “Arya—”
“Jawab!” tekan Arya. “Sebelum aku cari tahu sendiri.”
Wajah Sena meredup. Akhirnya ia memilih jujur. “Kemarin… Bastian membawaku ke klinik. Dia ingin… menggugurkan bayi ini.”
Arya membeku.
“Tapi janinku kuat. Dia bertahan. Walau aku sempat pendarahan dan harus dibawa ke rumah sakit…” Sena tersenyum tipis sambil menyentuh perutnya. “Sekarang kami baik-baik saja.”
Arya mengepalkan tangannya. “Sialan Bastian! Di mana hati nuraninya?!”
“Aku akan menghabisinya”
Sena menggeleng. “Arya, jangan…Kemarin Kak Ravian juga sudah menghajar Bastian. Jadi… tidak usah lagi.”
Arya menatapnya lama, kagum sekaligus marah. Hati wanita ini terbuat dari apa?
Namun akhirnya ia berkata lirih, “Aku tetap akan bicara dengannya.”
Sena buru-buru mengulurkan kelingkingnya. “Tapi janji… jangan marahin, jangan pukul Bastian ya?”
“Kenapa kalau aku pukul?” Arya menantang.
Sena menunduk. “Aku tidak mau bayiku… dihilangkan lagi.”
Arya memejamkan mata. Amarahnya semakin menjadi. Bastian benar-benar sudah di luar batas.
… … …
Keesokan paginya, Sena turun ke meja makan. Bastian sudah duduk di sana.
Ia terkekeh melihat Sena yang sudah rapi. “Kau mau ke mana?”
“Ke kampus. Kuliah,” jawab Sena singkat sambil mengambil sandwich.
“Sudah tidak mual?”
“Masih. Tapi aku bisa mengatasinya. Aku harus segera mengurus sidang dan wisuda, supaya aku bisa cari kerja dengan ijazah S1-ku secepatnya.”
Kata-kata itu membuat dada Bastian terasa sesak, meski ia tidak menunjukkannya.
...****************...
Baru saja Bastian membuka pintu ruangannya, dia sudah melihat Arya duduk di sana. Sepertinya Bastian sudah bisa menebak kenapa pria itu datang ke ruangannya sepagi ini.
“Pagi-pagi sekali,” sindir Bastian dengan senyum miring.
“Bastian, jika saja kemarin Sena tidak memohon kepadaku. Mungkin sekarang kau sudah kuhabisi” ucapan Arya sangat dingin.
Bastian tertawa sinis. “Dia mengadu padamu rupanya?”
“Dia bahkan tidak menceritakan apapun kepadaku jika tidak aku desak”
Bastian tertawa sinis. “Jadi apa tujuanmu kesini pagi-pagi? Kau tentu tidak bisa memukulku”
Arya mulai menyandarkan tubuhnya di sofa ruangan itu “Aku hanya ingin tahu… kau sebenarnya menginginkan anak yang dikandung Sena atau tidak?”
“Tidak.” Jawaban Bastian cepat dan dingin.
“Kalau Sena, kau menginginkannya atau tidak?” tanya Arya lagi
“Hanya tubuhnya,” sahut Bastian tanpa ragu.
Arya mulai menekuk tangannya ke pinggiran sofa dan menyanggahkan kepalanya disana. “Jadi kau tidak ada niat menikahi Sena kan?”
“Tentu tidak. Siapa dia.”
“Baguslah,” Arya tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku yang akan menikahinya.”
Bastian sontak menatap tajam. “Apa maksudmu?”
“Kurang jelas? Aku akan menikahi Sena. Aku akan meminta restu Ravian lebih dulu. Dia tidak pantas melahirkan tanpa suami di sampingnya. Lagipula… wanita sebaik dia sangat layak dijadikan istri. Dan kebetulan, pria yang sudah memaksanya hingga hamil tidak mau bertanggung jawab.”
Bastian terdiam, tersindir.
“Silakan. Nikahi saja dia,” balasnya datar.
“Oke, aku akan coba bernegosiasi dulu dengan Ravian” Arya berdiri dari sofa dan kemudian berjalan keluar ruangan.
Sampai didepan pintu ruangan Bastian, Arya menoleh kembali “Aku tidak main-main dengan ucapanku, Bastian”
Pintu tertutup. Ruangan kembali sunyi. Bastian termenung lama. Kata-kata Arya berputar-putar di kepalanya.
Apakah Arya serius?
Jika ya, Sena akan jadi istrinya.
Dia tidak akan bertemu dengan Sena lagi?
Bagaimana dengan dirinya? Dia selalu ingin tubuh Sena.
Dia selalu ingin melihat wajah polos itu.
Tapi dia tidak ingin komitmen.
Pikiran-pikiran itu terus memenuhi kepalanya.
...****************...
Hari berganti malam. Bastian baru sampai di Penthouse. Bastian melihat Sena di dapur.
“Kenapa belum tidur?” tanyanya.
Sena kaget sampai melompat. “Astaga, Bastian! Jangan bikin kaget.”
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku ingin makan buah” ucap Sena sambil mengambil banyak buah-buahan dari kulkas itu, tidak peduli sekarang di belakangnya adalah pemilik Penthouse ini.
Sena memakan buah-buahan itu di meja dapur, Bastian tiba-tiba ikut duduk di sebelahnya, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Sena tampak begitu natural, memotong buah lalu memakannya dengan lahap.
Pandangan itu membuat Bastian teringat kata-kata Arya.
Jika Sena menikah dengan Arya… aku tidak akan pernah lagi melihat pemandangan ini.
...----------------...
^^^Cheers, ^^^
^^^Gadis Rona^^^