Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Kabut malam itu semakin pekat, seakan menutup semua jalan keluar dan menyembunyikan rahasia di balik dinding pondok. Lampu-lampu di lorong asrama berkelip samar, cahayanya teredam lapisan kabut yang menempel di kaca jendela. Seperti dunia luar menghilang, meninggalkan Pondok Nurul Falah dalam lingkaran sempit, penuh bisikan, penuh rasa curiga.
Wulan berdiri di sisi pagar barat, tangannya menggenggam erat plastik hitam berisi sesuatu. Senyum tipisnya terbit di balik kabut, samar-samar terlihat oleh Rani yang berdiri di sampingnya dengan wajah cemas.
“Lan… kita beneran mau taruh ini di gudang belakang? Kalau sampai ketahuan—”
“Ketahuan? Justru itu tujuannya.” Wulan menyela dingin. Ia menoleh, menatap Rani dengan sorot mata tajam. “Besok pagi, kalau semua berjalan sesuai rencana, Ustadzah Siti sendiri yang akan menemukan ‘bukti’ ini. Dan saat itu, nggak ada lagi ruang bagi Dilara buat membela diri.”
Rani menggigit bibir, menunduk. Tangannya gemetar saat membantu membuka pagar kecil yang jarang dipakai. Bunyi engsel besi yang berderit menusuk telinga mereka, membuat Rani spontan menoleh ke kanan-kiri, takut ada santri atau pak satpam yang mendengar. Tapi suasana di sana tetap sepi.
“Cepet, Ran. Taruh di bawah tumpukan kayu bakar itu.”
Dengan berat hati, Rani merunduk, meletakkan plastik berisi benda mencurigakan itu ke celah di antara kayu-kayu basah. Plastik itu berisi jilbab hitam milik Dilara yang sengaja mereka ambil beberapa hari lalu, sudah dilumuri tanah kering bercampur noda merah seperti darah ayam yang mereka peroleh diam-diam dari dapur pondok. Bagi mata yang tidak tahu, noda itu akan tampak seperti bercak darah manusia.
Rani menegakkan badan, napasnya memburu. “Lan, kalau ini ketahuan kita yang naruh—”
“Dengar, Ran.” Wulan menggenggam bahu Rani keras-keras. “Nggak ada yang bakal tahu ini ulah kita. Semua mata udah terlanjur ngelihat Dilara sebagai masalah. Kita cuma bantu mereka ‘percaya’ lebih cepat.”
Rani terdiam, takut sekaligus terjebak. Di satu sisi, ia tak bisa lepas dari bayang-bayang ancaman Wulan. Di sisi lain, hatinya terasa makin sesak karena menyadari betapa besar fitnah yang mereka tebarkan.
Sementara itu, di tempat berbeda, Gus Zizan masih berada di ruang kerjanya bersama Devan. Bungkusan kain hitam yang mereka temukan tadi sore kini tergeletak di atas meja, di samping lampu minyak yang cahayanya bergetar pelan.
“Gus, catatan kecil ini…” Devan menunjuk secarik kertas dengan tulisan tangan terburu-buru, ‘Senin – Jam 4 pagi’. “Menurut panjenengan, maksudnya apa?”
Gus Zizan memandanginya lekat-lekat. “Entah itu jadwal mereka menaruh sesuatu, atau kode untuk bertemu. Tapi jelas ini bukan hal sepele. Aku yakin mereka sengaja meninggalkan jejak, seolah ingin menguji apakah kita memperhatikan.”
Devan mengangguk, meski kerutan di dahinya makin dalam. “Kalau gitu, apa kita harus berjaga jam segitu? Siapa tahu mereka datang lagi.”
“Ya.” Gus Zizan menutup kitab yang tadi ia baca, lalu menarik napas panjang. “Tapi jangan gegabah. Malam ini, aku ingin memastikan dulu sekitar pagar barat. Aku curiga, jalur itu juga sering dipakai.”
Mata Devan melebar. “Pagar barat? Tapi itu dekat gudang belakang. Kalau benar mereka naruh sesuatu—”
“Justru itu yang harus kita pastikan.”
Sementara di asrama, Dilara masih terjaga meski jarum jam sudah menunjuk pukul sebelas malam. Di kamarnya, Salsa dan Mita sudah terbaring, tapi matanya juga masih terbuka, menatap langit-langit kayu yang redup.
“Lara,” bisik Salsa, “aku kepikiran. Kalau tadi itu beneran Rani sama Wulan, berarti mereka nggak main-main. Mereka bisa aja naruh sesuatu baru lagi.”
Dilara menoleh, suaranya pelan. “Aku tahu. Makanya aku takut. Kalau mereka benar-benar berani, aku bisa dikeluarkan dari pondok tanpa sempat membela diri.”
Mita ikut bersuara lirih, “Tapi kita nggak boleh cuma diem. Besok pagi, kita harus ikut ke gudang. Aku punya firasat, di sanalah mereka bakal nyimpen sesuatu.”
Hening sejenak. Hanya suara detak jam dinding tua yang terdengar. Sedangkan Dewi sudah tertidur pulas. Bahkan ia tak ikut ketiganya tadi.
Dilara akhirnya menghela napas. “Baiklah. Kita bangun lebih awal. Kalau ada sesuatu, kita harus lihat dengan mata kepala sendiri.”
Malam semakin larut. Kabut makin menebal, membuat pondok seakan berada di dunia lain. Dari kejauhan, suara gonggongan anjing desa terdengar bersahut-sahutan.
Gus Zizan dan Devan berjalan perlahan di sisi pagar barat, langkah mereka hati-hati agar tak menimbulkan suara. Lampu senter kecil yang dibawa Devan mereka arahkan ke tanah.
Tiba-tiba, Devan menghentikan langkah. “Gus… lihat itu.”
Di antara celah kayu bakar di belakang gudang, ada plastik hitam yang menonjol sedikit. Gus Zizan berjongkok, lalu menarik plastik itu keluar. Begitu dibuka, mereka berdua sama-sama terdiam.
Jilbab hitam, kotor, dengan bercak merah pekat yang menempel di beberapa bagian.
Devan menelan ludah. “Astaghfirullah… ini jelas-jelas jebakan. Mereka mau bikin seolah-olah ada kejadian kriminal.”
Mata Gus Zizan menyipit. “Bukan sekadar kriminal, Van. Mereka mau bikin Dilara seolah terlibat sesuatu yang serius. Ini bisa jadi alasan besar untuk mengusirnya.”
“Lalu… kita harus gimana Gus?”
“Simpen barang ini baik-baik. Jangan ada yang tahu dulu.” Gus Zizan menutup kembali plastik itu rapat-rapat. “Besok pagi, kita akan lihat siapa yang pertama kali ‘menemukan’ benda ini. Saat itu, kita tahu siapa dalangnya.”
Fajar menyingsing pelan, meski kabut masih belum juga pergi. Udara dingin menusuk tulang, membuat para santri yang bergegas ke musala harus merapatkan selimut atau jaket tipis mereka.
Di gudang belakang, Ustadzah Siti berjalan bersama dua santri putri untuk mengecek persediaan kayu bakar. Dan seperti yang sudah direncanakan, ia menemukan plastik hitam mencurigakan itu di celah kayu.
Suara teriakannya terdengar sampai halaman depan. “Astaghfirullah! Siapa yang naruh ini?!”
Santri-santri berlarian mendekat, penasaran. Wulan yang sudah bersiap di antara kerumunan pura-pura terkejut, sementara Rani menunduk dalam-dalam, wajahnya pucat.
Ustadzah Siti mengangkat plastik itu tinggi-tinggi. “Siapa pemilik jilbab ini?!”
Beberapa pasang mata langsung menoleh pada Dilara yang baru keluar dari asrama, wajahnya masih pucat karena kurang tidur.
“Bukan… bukan saya…” suaranya bergetar, tapi nyaris tenggelam di tengah bisik-bisik santri lain.
Wulan melangkah maju dengan ekspresi iba, tapi suaranya jelas-jelas menyudutkan. “Ummi… bukankah jilbab itu mirip sekali dengan yang sering dipakai Dilara? Warnanya sama, modelnya juga sama.”
Bisik-bisik makin keras. “Iya, aku sering lihat jilbab itu.” – “Benar, itu kayaknya punyanya Dilara.” – “Astaghfirullah, berarti gosip kemarin bener dong?”
Dilara menggigit bibir, matanya mulai basah. “Saya tidak pernah menaruh itu di sana! Saya tidak tahu menahu!”
Namun sebelum suasana makin kacau, suara tegas terdengar dari belakang.
“Cukup!”
Semua menoleh. Gus Zizan berdiri bersama Devan, tatapannya tajam menyapu kerumunan. Ia melangkah maju, lalu mengambil plastik dari tangan Ustadzah Siti.
“Barang bukti ini… saya yang menemukannya tadi malam.”
Kejut besar melintas di wajah para santri. Wulan menahan napas, jantungnya berdegup kencang.
Gus Zizan menoleh ke arah Dilara, lalu kembali menatap kerumunan. “Dan saya bisa pastikan, benda ini sengaja diletakkan di sana. Saya ingin tahu, siapa di antara kalian yang bisa menjelaskan kenapa barang ini ada di gudang?”
Hening. Tak ada yang berani bicara.
Wulan menunduk, pura-pura sibuk meremas mukena di tangannya. Rani gemetar, hampir tak bisa menahan diri, tapi ketakutan menahannya untuk buka mulut.
Ummi Latifah yang baru tiba memandang gusar. “Gus Zizan, apa maksud panjenengan? Jangan-jangan… ada santri yang sengaja menfitnah?”
“Itu yang sedang saya cari tahu, Ummi.” Gus Zizan menghela napas, lalu menatap para santri satu per satu. “Saya mohon, jangan ada yang buru-buru menyalahkan. Kalau memang ini fitnah, maka dosa besar. Kalau ini jebakan, maka pelakunya sedang bermain api.”
Dilara menunduk, air matanya menetes diam-diam. Untuk pertama kalinya sejak fitnah itu muncul, ia merasa ada yang benar-benar berdiri di sisinya.
Namun jauh di dalam kerumunan, Wulan menggertakkan gigi. Rencananya nyaris berhasil—tapi kini, Gus Zizan membuat semuanya berbalik.
Siang itu, kabut mulai berangsur hilang, digantikan panas matahari yang menyengat. Namun ketegangan di Pondok Nurul Falah masih menggantung pekat. Semua santri berbisik-bisik, membicarakan kejadian di gudang.
Di kamar asrama, Dilara duduk di sudut, wajahnya pucat tapi matanya berbinar sedikit. Salsa menggenggam tangannya erat. “Lihat? Gus Zizan bener-bener lindungin kamu. Itu artinya kita nggak sendiri, Lara.”
Mita menambahkan, “Sekarang tinggal masalah waktu. Kita harus bisa buktikan siapa dalang di balik semua ini.”
Dilara mengangguk. “Iya. Dan aku punya firasat, semua akan segera terbongkar.”
Namun, di kamar berbeda, Wulan menatap Rani dengan sorot penuh amarah.
“Kamu lihat sendiri, kan? Semua hampir gagal gara-gara dia,” Wulan mendesis. “Kalau kita nggak bergerak lebih cepat, kita yang bakal kejebak.”
Rani menelan ludah, tubuhnya bergetar. “Lan… aku takut. Aku nggak sanggup lagi. Aku mau berhenti.”
Wulan menyipitkan mata, bibirnya tersenyum dingin. “Berhenti? Kamu pikir semudah itu? Semua sudah berjalan. Kalau kamu mundur sekarang, aku pastikan semua orang tahu… siapa yang ikut naruh bukti di pagar timur kemarin.”
Rani terdiam. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia merasa terjebak dalam permainan kotor yang tak lagi bisa ia hentikan.
Dan di luar jendela kamar, kabut yang sempat hilang perlahan turun kembali, seolah menutupi pondok dengan rahasia yang makin menyesakkan.