Pernikahan siri antara Nirmala Wongso dan juga Seno Aji Prakoso membuahkan hasil seorang anak laki-laki yang tidak pernah diakui oleh Seno, karena ia takut keluarga besarnya akan tahu tentang aibnya yang diam-diam menikahi gadis pelayan di club malam.
Setelah dinyatakan hamil oleh dokter Seno mulai berubah dan menyuruh Nirmala untuk menggugurkan kandungannya jika masih tetap ingin menjadi istrinya.
Namun Nirmala memilih jalan untuk mempertahankan buah hati dan meninggalkan kemewahannya bersama dengan Seno.
Penasaran?? ikuti jalan kisah Nirmala yang penuh dengan lika-liku kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Keesokan harinya.
Pagi ini suasana masih sejuk, sinar mentari belum menampakkan wajahnya, seorang wanita paruh baya dengan mengenakan kebaya sederhananya turun dari bus lalu mulai berjalan kaki, menuju ke markas yang tinggal beberapa meter saja.
Langkahnya terhitung cepat, bukan karena terburu-buru, tapi langkah itu menunjukkan sikap semangat dan bahagia seorang Ibu yang akan menghadiri acara penting anaknya. Nirmala terlihat begitu anggun dan cantik dengan mengenakan kebaya dan kerudung yang menempel di kepalanya. Aura kecantikannya begitu terpancar meskipun hanya mengenakan pakaian sederhana.
Langkah kaki itu sudah sampai di pintu gerbang, setelah menunjukkan identitasnya dan menyerahkan undangan resmi, pintu gerbang baru di buka. Dengan bangga Nirmala menatap bangunan yang berdiri kokoh itu.
"Aku masih tidak menyangka anak kecilku, yang dulu selalu berlatih militer menggunakan alat seadanya, sekarang ia sudah menjadi perwira muda," ucap Nirmala sambil melangkah menuju aula Markas.
Sesampainya di Aula Nirmala dipersilahkan duduk di kursi undangan khusus tepatnya para orang tua perwira muda.
☘️☘️☘️☘️
Pagi ini setelah Nirmala sudah sampai di aula, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan aula. Prajurit penjaga dengan sigap membuka pintu, memberi hormat, lalu mempersilakan keluarga itu masuk. Aura Seno begitu berbeda, tenang, penuh percaya diri, dan berwibawa namun di balik rasa tenang itu menyimpan kegelisahan.
Di sampingnya, ada istrinya melangkah anggun dengan tatapan dingin yang membuat banyak mata enggan menatap terlalu lama. Kedua putri mereka mengikuti dari belakang, yang sulung dengan wajah cuek penuh keangkuhan, sementara yang bungsu tampak menunduk sopan, masih teringat peristiwa demonstrasi beberapa waktu lalu.
"Pi, jangan terlalu cepat," tegur Nadira dengan nada pelan. Wanita itu mulai merasa keanehan di dalam sisi suaminya.
"Ini sudah pelan kok Mi," sahut Seno berusaha untuk tenang.
Mereka mulai melanjutkan langkahnya, sesampainya di aula, Seno dan keluarganya dipersilakan duduk di kursi undangan barisan depan, bersebelahan dengan tamu kehormatan lain. Dari tempatnya duduk, Seno menyapu pandangan ke seluruh aula. Ada getaran aneh yang merayap di dadanya, entah dari mana asalnya. Suasana militer yang penuh disiplin, derap langkah para prajurit, dan gema suara komando, semuanya terasa asing sekaligus akrab di matanya.
'Alaska kenapa jantung ini tidak pernah tenang jika mengingatmu.
☘️☘️☘️☘️
Suasana di aula markas sudah dipenuhi oleh prajurit dengan seragam lengkap, pangkat dan atribut terpasang sempurna. Barisan mereka terbagi rapi, sementara di deretan kursi depan tampak para tamu undangan dan keluarga prajurit yang akan menerima penghargaan.
Alaska berdiri tegak di barisan tengah, tubuhnya tegap, mata lurus ke depan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, pikirnya ini hanya sebuah seremoni rutin. Jantungnya berdegup biasa, sampai suara pembawa acara menggema memenuhi aula.
“Pada kesempatan ini, akan diumumkan prajurit yang menerima penghargaan luar biasa atas keberanian dan dedikasi di lapangan. Nama yang pertama … Letnan Dua Alaska Wongso."
Langkah waktu seakan berhenti. Sekujur tubuh Alaska menegang. Suara itu begitu jelas, menyebut namanya di hadapan seluruh pasukan. Ia butuh beberapa detik untuk memastikan telinganya tidak salah dengar.
“Letnan Dua Alaska Wongso, maju ke depan.”
Sorot mata ratusan pasang mata tertuju padanya. Dengan perasaan campur aduk, Alaska melangkah maju, derap sepatunya bergema, menghantam lantai marmer aula yang megah.
Ketika ia berhenti di hadapan podium, matanya tak sengaja menangkap sosok di barisan depan tamu undangan. Tubuhnya hampir membeku di sana, dengan balutan kebaya sederhana dan mata berkaca-kaca wanita yang duduk di sana adalah alasan ia memilih jalan hidup ini.
Alaska menahan napas. Dadanya bergetar, tapi wajahnya tetap berusaha tegap. Tidak pernah sekali pun ia membayangkan ibunya akan diundang, duduk menyaksikan, bahkan menjadi saksi momen terbesarnya.
Seolah belum cukup mengejutkan, panitia memanggil, “Dimohon kepada Ibu dari Letnan Dua Alaska Wongso untuk naik ke depan, menyematkan tanda pangkat baru.”
Langkah ibunya pelan tapi pasti menuju panggung. Saat jarak mereka semakin dekat, Alaska merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, bangga, haru, sekaligus getaran aneh yang sejak lama menemaninya kini menemukan maknanya.
Ketika jemari ibunya menyentuh pundaknya untuk memasang tanda pangkat baru, Alaska menunduk sedikit. Hanya sebentar, matanya bertemu dengan mata sang ibu. Pandangan yang penuh doa, penuh perjuangan, dan penuh cinta.
Tepuk tangan bergemuruh di seluruh aula. Namun bagi Alaska, suara itu seakan menjauh. Yang ada hanya dirinya, ibunya, dan janji dalam hati. 'Aku tidak akan pernah mengecewakanmu, Bu.'
Setelah tanda penyematan itu, pembawa acara mulai memberi kode, dan menyodorkannya mikrofon kepada Alaska untuk sekedar memberi sedikit sambutan.
Alaska menyambut mikrofon itu, sejenak ia mulai memejamkan matanya lalu menarik nafas dalam-dalam untuk menghalau rasa gugupnya.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang saya hormati para komandan, senior, rekan seperjuangan, serta keluarga yang hadir di sini.
Izinkan saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehormatan ini. Bagi saya, menjadi prajurit bukan sekadar profesi, melainkan panggilan hati. Setiap tetes keringat, setiap latihan, dan setiap pengorbanan, adalah bentuk pengabdian saya kepada bangsa dan negara.
Saya juga ingin menghaturkan rasa terima kasih terdalam kepada ibu saya, yang dengan doa dan pengorbanannya, dia bukan hanya sekedar seorang Ibu saja, namun ia merangkainya menjadi seorang ayah, maka dari itu saya bisa berdiri di sini hari ini. Pangkat ini bukan hanya milik saya, tapi juga milik beliau," ucapnya penuh dengan haru.
Di saat Alaska menikmati momen hari bersama sang Ibu diatas panggung sana, di kursi undangan lain, suami dan istri itu sangat terkejut, menyaksikan sendiri, seorang wanita memasangkan pangkat baru untuk anaknya.
Seno, hanya menundukkan pandangannya seolah tidak sanggup melihat pemandangan dihadapannya itu, kata-kata Alaska seolah menjadi tamparan keras untuk dirinya. Sementara sang istri menatap sinis dengan tangan yang sudah terkepal sempurna.
"Tidak ... ini tidak mungkin, bagaimana jadinya, pemuda yang menyelamatkan putriku adalah anak suamiku dari wanita lain," gumamnya dengan lirih.
Tatapan Nadira sudah tidak bisa dibohongi lagi, ingin sekali wanita itu mencekik leher wanita yang saat ini tengah berdiri diatas panggung sana, namun ia cepat sadar jika situasi kali ini tidak memungkinkan.
'Kurang ajar ... lelucon macam apa ini!' desisnya di dalam hati.
Sementara itu Seno masih belum berani untuk mengangkat pandangannya, kejadian ini benar-benar tidak ada di dalam benaknya sama sekali, ia hanya bisa diam bersama dengan rasa bersalahnya, rasa bersalah yang dilakukan dengan kesengajaan, dan dibalik alasan itulah ia sampai tega tidak pernah melihat ataupun peduli terhadap darah dagingnya sendiri.
'Aku tidak bisa menyaksikan semua ini ... tidak ... bagaimana mungkin aku melihat seorang anak yang sekarang sukses tanpa sentuhan tangan dariku, hah dasar bajingan ... kau bajingan Seno!' hatinya berteriak histeris.
Bersambung .. .
Pagi semoga suka ya
😂😂😂😂