NovelToon NovelToon
SUAMI TAK PERNAH KENYANG

SUAMI TAK PERNAH KENYANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Angst / Suami Tak Berguna / Ibu Mertua Kejam / Pihak Ketiga
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Euis Setiawati

Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional

Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.

Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.

Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

tuntutan yang terus bertambah

Pagi itu suasana rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Laila duduk di teras kecil rumahnya, ditemani secangkir teh hangat yang mengepul lembut di udara. Matanya menatap ke taman kecil yang sudah mulai dihuni rumput liar. Rasanya tenang. Hatinya sedikit lega sejak Arfan menyetujui untuk mempekerjakan pembantu rumah tangga. Meskipun belum ada keputusan siapa yang akan dipekerjakan, tapi setidaknya sudah ada harapan bahwa tugas-tugas rumah tangga tak lagi membebani dirinya sepenuhnya.

Baru saja Laila hendak menyesap teh hangatnya, langkah kaki seseorang mendekat. Ternyata Bu Yani, ibu mertuanya, yang datang menghampiri.

"Eh, ibu..." ucap Laila sambil tersenyum. "Mau aku bikinkan teh juga, Bu?"

Bu Yani mengangkat tangannya menolak. "Tidak perlu, Laila. Kamu diam saja, nikmati saja kesantaianmu. Rahim kamu itu harus dijaga, biar lebih sehat."

Kalimat itu, meski dibungkus dalam nada perhatian, seperti anak panah yang menancap tepat di dada Laila. Ia tahu, di balik semua keramahan dan perhatian Bu Yani, terselip satu keinginan besar: cucu.

"Iya, Bu," jawab Laila pelan, mencoba tetap tersenyum.

Tak lama kemudian, Bu Yani melanjutkan, "Oya, Laila... Bagaimana keputusan kalian soal pembantu itu?"

Laila meneguk teh sebelum menjawab. "Alhamdulillah Bu, kami sudah sepakat untuk mempekerjakan pembantu. Biar aku juga nggak terlalu capek ngurus semuanya."

"Baguslah! Keputusan kalian sangat tepat," sahut Bu Yani cepat, matanya berbinar seolah satu beban dalam pikirannya telah terlepas. Tapi itu belum cukup. Ia lalu menambahkan, "Laila, sebelum Ibu dan Bapak pulang dari sini, Ibu ingin semua sudah beres. Maksud Ibu, pembantu itu harus sudah ada di rumah ini. Ibu ingin lihat dulu, cocok atau nggak orangnya."

Laila terdiam sesaat. Sebenarnya ia ingin protes, ingin mengatakan bahwa mencari pembantu bukan hal mudah. Tidak semudah membeli sayur di pasar. Tapi ia memilih menahan diri. Ia terlalu lelah untuk berdebat.

"Baik, Bu. Nanti aku bilang ke Mas Arfan," jawabnya singkat.

Siang itu, tepat saat jam istirahat kantor, Laila menelepon Arfan. Suaminya mengangkat telepon dengan suara datar, terdengar sedang makan siang.

"Halo, Mas Arfan."

"Iya, Sayang. Ada apa?"

Laila menghela napas pelan sebelum bicara. "Mas, tadi Ibu bilang... katanya kalau bisa pembantu harus sudah datang ke rumah sebelum mereka pulang."

Seketika suara Arfan terdengar berat. "Apa?! Gimana bisa secepat itu? Kita kan belum dapat orangnya, Laila."

"Aku tahu, Mas. Aku juga nggak bisa jawab waktu Ibu ngomong begitu. Tapi Ibu minta tolong, katanya beliau mau lihat dulu orangnya, biar nggak salah pilih katanya."

"Ya Allah, Laila... orang cari pembantu itu nggak bisa instan. Mas juga nggak punya banyak waktu buat nyari sekarang," balas Arfan mulai kesal.

"Ya sudah, Mas. Terserah Mas aja," jawab Laila pelan, menahan kecewa.

"Nanti Mas pikirkan ya. Sekarang Mas mau makan siang dulu."

"Iya, Mas. Jangan lupa makan bekal yang aku bawakan tadi."

"Pasti dong," balas Arfan. Tapi tanpa basa-basi, telepon langsung ditutup.

Laila memandang layar ponselnya yang kini gelap. Hatinya ikut gelap. Ia tahu benar bagaimana Arfan bisa berubah suasana hatinya hanya karena hal kecil. Tapi ia juga tak bisa menolak permintaan mertua yang begitu dominan dan selalu merasa paling tahu soal rumah tangga.

Sepulang kantor, suasana rumah menjadi tegang. Arfan terlihat tak banyak bicara. Setelah makan malam, ia duduk di ruang keluarga sambil menggulir layar ponsel, mencari informasi tentang agen penyalur pembantu. Tapi ekspresi wajahnya terlihat kesal.

"Mas... maaf soal tadi siang ya. Aku nggak bermaksud bikin Mas terbebani," ucap Laila dengan hati-hati.

Arfan menoleh. "Iya, aku tahu. Cuma kadang aku juga bingung, semua orang nyuruh ini itu ke aku. Aku juga kerja, Laila."

Laila diam. Ia tahu, jika ia menjawab, bisa saja pertengkaran kecil itu jadi besar. Ia memilih mengalah.

"Aku coba hubungi temanku ya. Siapa tahu ada kenalan yang bisa direkomendasikan," ucap Laila.

"Bagus. Biar cepat selesai urusan ini. Ibu juga pasti pengen lihat hasilnya," balas Arfan singkat.

Malam harinya, Laila mencoba menghubungi temannya, Rani. Mereka sudah lama tak bertemu sejak kuliah. Tapi Rani dikenal aktif dan banyak relasi, mungkin bisa membantu.

"Halo, Rani. Maaf ganggu malam-malam begini."

"Eh, Laila! Nggak apa-apa kok. Ada apa nih?"

"Aku lagi cari pembantu rumah tangga, Ran. Ada kenalan atau rekomendasi nggak ya?"

Rani berpikir sejenak. "Sebentar ya. Aku tanya dulu ke sepupuku. Dia kerja di yayasan penyalur ART. Nanti aku kabari kamu lagi."

"Terima kasih banyak ya, Rani. Maaf banget repot-repotin."

"Tenang aja, La. Kamu itu sahabatku dari zaman kuliah. Kalau bisa bantu, kenapa enggak?"

Laila tersenyum. Setidaknya ada harapan baru.

Keesokan harinya, Rani mengirim pesan. Ada dua orang calon pembantu yang tersedia dan sedang tidak dalam kontrak kerja. Usianya berkisar antara 35–40 tahun, berpengalaman, dan siap tinggal di rumah.

Laila segera memberitahu Arfan.

"Mas, tadi Rani kasih kabar. Katanya ada dua orang calon pembantu. Bisa kita lihat profilnya dulu, terus mungkin wawancara sebentar."

Arfan mengangguk. "Bagus. Atur saja waktunya. Ajak Ibu sekalian, biar sekalian cocokkan."

Hari itu juga, Laila mengatur jadwal wawancara. Dua calon pembantu itu akan datang ke rumah esok pagi. Ia lalu menyampaikan kabar itu ke Bu Yani.

"Bagus, Laila. Ibu senang kalian gerak cepat. Ibu nggak mau kalian kelamaan mikir-mikir. Wanita itu jangan semua dikerjakan sendiri. Lama-lama kamu stres, malah tambah susah hamil."

Laila hanya bisa tersenyum, walau hatinya perih mendengar kalimat itu.

Pagi yang ditunggu pun tiba. Dua wanita datang ke rumah Laila dan Arfan. Mereka membawa tas kecil dan surat keterangan dari yayasan.

Yang pertama bernama Mbak Ratmi, usia 38 tahun, berpengalaman bekerja di rumah tangga lebih dari 10 tahun. Orangnya ramah dan sopan.

Yang kedua bernama Bu Lastri, usia 42 tahun, kalem, dan pendiam, tapi dari referensi yang dibawa, ia dikenal telaten dan rajin.

Bu Yani sangat aktif dalam sesi wawancara. Ia menanyakan semua hal, dari cara bersih-bersih, memasak, hingga seberapa cepat mereka bangun pagi. Laila hanya duduk dan memperhatikan.

Setelah keduanya pulang, mereka berdiskusi.

"Ibu lebih cocok sama mbak ratmi. Dia kelihatan bisa dipercaya, nggak banyak ngomong," ucap Bu Yani.

"Aku juga merasa begitu, Bu," jawab Laila.

"Ya sudah, kita ambil keputusan sore ini. Biar dia bisa mulai kerja besok."

Laila mengangguk. Tak butuh waktu lama, Arfan pun menyetujui.

"Baiklah, kita ambil mba ratmi. Tapi kamu yang urus kontraknya ya, La," ucap Arfan sambil menyeruput kopi.

"Siap, Mas," jawab Laila.

Malam harinya, setelah semua selesai, Laila duduk sendiri di kamar. Ia merasa sedikit lega. Tapi di sisi lain, ia juga merasa hidupnya masih dalam bayang-bayang banyak tekanan. Ia ingin bahagia, ingin tenang, tapi rasanya rumah ini penuh perintah dan tuntutan.

Ia menatap langit-langit kamar, dan tanpa sadar, air matanya mengalir.

Mungkin suatu saat nanti ia bisa berkata jujur pada Arfan. Tentang semuanya. Tentang luka batinnya. Tentang ketakutannya. Tentang betapa dirinya hanya ingin dicintai... bukan hanya menjadi pemuas nafsu dan pabrik pencetak cucu.

1
Vanni Sr
ini laila ny terlalu bodoh sib klo kt aku mah ya, udh tiap mlm d gempur terus apa² d pendem, gada ketegsan jg, laki ny jg seenk ny sndri, crta ny kek yg udh² suami main sm pembatu. tnggl cari org but rawat ibu ny yg skit ini malah lama2 d kampung , mending dah pisah aja. krn g cm sekali berhubungn psti tuh mereka
Zoe Medrano
Aku yakin ceritamu bisa membuat banyak pembaca terhibur, semangat terus author!
Euis Setiawati: terimakasih ka....😍
total 1 replies
Mepica_Elano
Emosinya terasa begitu dalam dan nyata. 😢❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!