Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".
"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
BAB 9 — SEPAKAT DI BAWAH LANGIT YANG BASAH
---
ZAYN POV
Suara jangkrik malam pondok nggak pernah senyaring ini. Gue duduk di anak tangga serambi mushola, sendal jepit udah nyaris copot. Punggung gue nyender ke tiang kayu, kepala gue nunduk. Tasbih kayu di tangan gue bergetar, butirannya basah kena keringet dingin.
Nafas gue bunyi. Ada beban di dada, kayak habis dipukul pake palu.
Gue udah mutusin: malam ini gue harus ketemu Amira. Harus. Kalau nggak, rumor makin liar, pondok makin ribet. Dan gue, lagi-lagi, bakal dicap bocah bejad yang nggak tau diri.
“Zayn…” suara Falah pelan dari pintu aula. Dia masih megang segelas air putih. Matanya setengah bengkak karena begadang.
“Dia mau dateng?” tanya gue.
Falah ngangguk. “Syakilla lagi nganter Amira ke sini. Lo yakin mau ngomong di mushola? Kalau ketauan…”
“Biarin.” Gue potong cepat.
Napas gue panjang. “Gue nggak mau orang nyangka gue main kotor di balik tembok. Kalau harus di keluarin dari pondok, silahkan keluarin gue. Yang penting Amira tau gue mau apa.”
Falah nggak nyaut. Dia cuma nepuk bahu gue, narik napas. Lalu dia mundur, nunggu di dekat tangga. Dia ngerti, ini urusan gue bukan lingkaran dosa kita lagi.
Gue usap keringet di kening. Tangan gue dingin, tapi kepala panas. Entah kenapa, malam ini gue berasa kayak mau sidang dosa.
Dan pas gue ngangkat kepala, dia dateng.
---
AMIRA POV
Langkahku berat meniti tangga serambi mushola. Suara detak sandal Syakilla di belakangku nyatu sama degup jantungku yang udah nggak karuan.
Dari jauh, kulihat Zayn duduk membungkuk. Wajahnya pucat, mata merah, tangannya masih mainin tasbih.
Di bawah lampu neon kuning yang kerlap-kerlip, dia kelihatan bukan kayak preman. Dia kelihatan kayak anak hilang yang nyari pulang.
Aku berdiri satu meter di depannya. Nafasku keluar pendek. Mukena panjang kutarik biar nggak nyeret di lantai kayu.
“Zayn…” panggilku pelan.
Dia mendongak. Mata kami ketemu. Dan entah kenapa, di sorot matanya, aku nggak lihat dosa yang aku lihat hanya orang yang takut ditinggal.
---
AUTHOR POV
Angin malam menyelinap masuk lewat celah jendela mushola. Suara ngaji dari kamar santri putra di ujung aula masih samar-samar. Falah berdiri gelisah di tangga, matanya sesekali menatap ke arah jalan pondok yang gelap.
Di balik pohon mangga tua, seseorang membungkuk. Hamdan. Tangannya meremas ponsel, fitur rekaman berjalan. Mulutnya komat-kamit, senyumnya miring.
“Bagus, Zayn. Buka semua dosa kamu di situ… Biar aku punya bukti buat keluarin kamu dari pesantren ini secepatnya.”
'Dan hanya aku yang pantas mendekati Amira,bukan kamu Zayn.' batin Hamdan.
Hamdan menarik ujung sorbannya, menutup setengah wajah. Di matanya, percakapan Zayn dan Amira malam ini adalah emas.
---
ZAYN POV
Gue bangkit berdiri. Jarak gue sama dia tinggal sejengkal. Tapi kata-kata rasanya jauh banget.
“Gue mau minta maaf,” kata gue akhirnya. Suara gue serak, kayak habis manggung di lapangan liar.
Amira diam. Matanya udah berkaca-berkaca.
“Gue nggak bener kalau tiba-tiba bilang mau bawa lo kabur,” lanjut gue. Tangan gue gemetar, akhirnya gue taruh tasbih di saku baju koko.
Gue tarik napas, nunduk lagi. “Lo tau dunia gue busuk. Gue nggak mau lo nyemplung cuma karena lo putri Kyai yang harus nurut.”
Amira pegang ujung gamisnya dan diremas. “Zayn, aku juga nggak mau. Bukan karena aku jijik sama kamu… tapi aku nggak mau Allah marah.”
Kalimatnya nusuk. Tapi bener.
Gue senyum tipis, pahit. “Jadi… kita sepakat?”
Dia ngangguk. “Sepakat. Kita nggak akan kemana-mana.”
Gue nyender ke tiang kayu, ngelihatin dia dari samping. “Tapi lo harus tau, gue nggak bisa janji bisa berubah dalam semalam. Gue masih sering ribet sama diri gue sendiri.”
Amira mendekat satu langkah. Mukanya merah, matanya basah. “Aku nggak butuh kamu jadi ustadz, Zayn. Aku cuma butuh kamu jujur sama dirimu sendiri.”
Gue ketawa kecil, pahit banget. “Sakit tau nggak, denger itu dari mulut lo.”
Dia nyengir kecil, suara tangisnya pecah. “Ya udah, biar sama-sama sakit. Kita sama-sama nggak kabur, tapi juga nggak perlu pura-pura baik.”
---
AUTHOR POV
Di balik pohon mangga, Hamdan masih ngintip. Tapi senyumnya pelan-pelan pudar. Percakapan ini nggak seperti yang dia mau. Dia nggak dapet skandal kabur. Dia cuma dapet dua anak manusia yang terlalu jujur buat pura-pura baik.
Hamdan meremas ponselnya. Matanya nyalang. “Nggak apa…? Kamu pikir aku bakalan berhenti di sini? Tunggu aja nanti.”
Sementara itu, di serambi mushola, Zayn dan Amira duduk berdampingan. Jaraknya cuma sejengkal, tapi nggak ada tangan yang saling sentuh.
Angin malam membelai ujung gamis Amira. Butir tasbih di saku Zayn jatuh ke lantai. Suaranya pelan, tapi di kepala mereka berdua, suara itu seperti palu untuk mengingatkan kalau perjalanan pulang mereka masih panjang.
---
ZAYN POV
Gue nengok ke arah dia. “Kalau nanti Pak Kyai maksa kita nikah karena perjodohan itu, lo..siap?”
Dia ngusap pipinya, senyum tipis. “Siap nggak siap harus siap,karena itu udah keputusan ayahku dan aku nggak mau jadi anak durhaka.Dan selama itu bisa buat Ayah dan Bunda senang,insyaallah aku ikhlas. Tapi nggak sekarang.”
Gue nyengir. “Deal. Kita nggak akan kabur. Kita nggak akan nikah secepatnya. Kita nggak akan pura-pura suci. Kita bisa jalan bareng aja. Lo di sini. Gue di sini.”
Amira menarik nafas panjang. Dia tatap gue lama banget, kayak nyari serpihan dosa yang masih nyangkut di mata gue.
“Terima kasih udah nggak maksa aku, Zayn.”
Gue angkat bahu. “Gue cuma takut… lo kabur juga dari gue kalau lo tau siapa gue sebenarnya.”
Dia nyengir kecil. “Kalau Allah mau jaga kita, siapa yang bisa ganggu?”
Hati gue meringis. Malam pondok dingin, tapi dada gue hangat dikit. Bukan karena gue udah bersih tapi karena gue nggak sendirian di jalan pulang ini.
---
AUTHOR POV
Dan malam itu, di bawah langit Pondok As-Syafir, dua hati rapuh bikin kesepakatan sunyi. Bukan kabur. Bukan skandal. Bukan perjodohan paksa.
Hanya dua anak manusia, duduk bersila di serambi mushola, menatap langit gelap, sambil meyakinkan diri kalau Tuhan masih mau denger doa mereka.
Dan di celah gelap pondok, Hamdan berbalik.
Dalam rekamannya, dia nggak dapet apapun. Tapi dia dapet celah baru. Karena rahasia yang jujur seringkali lebih gampang dimanipulasi.
Malam pondok tenang lagi. Tapi di hati Zayn, badai belum bubar.
Karena kalau lo mau bener, lo harus siap diseret sama dosa lo sendiri pelan-pelan, nggak ada yang instan.
Dan di sudut mushola, tasbih Zayn jatuh, butirannya pecah. Seolah bilang: jalan pulang masih panjang, Bro.
---
To Be Continued..✨️🫶