⛔: Ini hanya fiksi, jika terdapat kesamaan nama, tempat atau kejadian, itu hanyalah kejadian yang tidak disengaja.
Wilona percaya ia memiliki segalanya—cinta, rumah tangga yang hangat, dan suami yang setia. Tapi semua runtuh saat seorang wanita datang membawa kenyataan pahit: ia bukan satu-satunya istri. Lebih menyakitkan lagi, wanita itu telah memberinya sesuatu yang tak bisa Wilona berikan—seorang anak.
Dikhianati oleh orang yang paling ia percaya, Wilona harus memilih: terpuruk dalam luka, atau berdiri dan merebut kembali hidupnya.
"Ketika cinta tak cukup untuk setia… akan kau pilih bertahan atau pergi?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon viaeonni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Aryan membuka pintu kamarnya perlahan. Matanya langsung menangkap sosok Wilona yang berdiri terpaku di depan jendela. Bahunya tegak, tubuhnya diam, dan matanya menatap langit malam yang pekat. Tak ada senyum manis, tak ada sambutan hangat seperti biasanya. Seolah-olah ia hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam rumah ini.
“Sayang, Mas pulang… kenapa nggak nyambut Mas?” suara Aryan terdengar pelan namun hangat, mencoba mencairkan suasana.
Aryan bersikap seperti biasanya, seolah-olah tidak ada pertengkaran diantara mereka. Melihat itu, Wilona merasa muak terlebih melihat Aryan yang nampak tidak merasa bersalah.
Ia berjalan mendekat, meletakkan jas dan tas kerja di atas ranjang tanpa mengalihkan pandangannya dari sang istri. Tapi Wilona tetap diam, tak menoleh. Hanya sebuah lirikan singkat keluar dari matanya sebelum kembali menatap jendela.
Wilona menarik napas perlahan. Senyum tipis muncul di wajahnya, senyum kecut yang menyimpan kekecewaan. Ia memperhatikan pakaian yang dikenakan Aryan. Bukan kemeja yang ia setrika dan siapkan pagi tadi, melainkan kaus gelap yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Kaus yang menyiratkan suatu hal Aryan tidak pergi ke kantor hari ini.
Kepalanya dipenuhi tanya. Ingin sekali ia menuntut penjelasan. Ingin rasanya ia berteriak dan meluapkan semua amarah yang selama ini ia pendam. Tapi, ia tahu semuanya hanya akan berakhir dengan kebohongan lain. Jadi, untuk apa?
“Masih marah, ya?” tanya Aryan, suara lembutnya menggantung di udara. “Maafin Mas, ya. Tadi pagi Mas nggak sadar udah bentak kamu…”
Ia memutar tubuh Wilona, memaksanya untuk menatapnya. Tapi yang ia lihat membuatnya terdiam. “Sayang, kamu nangis?” Aryan mengecup kedua kelopak mata istrinya, lalu menarik tubuh itu ke dalam pelukannya. “Mas minta maaf…”
Tapi Wilona tetap diam. Ia tak menolak, tapi juga tak membalas pelukan itu. Tubuhnya kaku, tatapannya kosong. Dan itu cukup untuk membuat Aryan merasa tidak tenang.
“Yang nelpon Mas tadi malam itu Mama-nya Willy,” ucap Aryan kemudian, mencoba menjelaskan seolah itu satu-satunya kebenaran. “Willy itu teman baru Mas. Kita temenan udah beberapa bulan. Mamanya panik karena Willy dua hari nggak pulang. Katanya HP-nya nggak bisa dihubungi. Jadi beliau minta tolong Mas buat bantu nyari dia.”
Nada suaranya dibuat setenang mungkin. Seolah-olah ia sungguh tulus, sungguh peduli.
Pandai sekali kau merangkai kebohongan, Mas… Apa selama ini kamu juga berbohong dengan lancar seperti ini? batin Wilona getir. Ia hanya menatap mata Aryan dalam-dalam, seolah sedang mencari serpihan kebenaran yang mungkin terselip di sana.
Andai ia tidak tahu kebenarannya dari Amanda mungkin ia akan percaya dan memeluknya seraya meminta maaf telah salah paham pada suaminya.
“Kenapa kamu diam aja? Kamu nggak percaya sama Mas?” Aryan kini mulai cemas. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu, kalau Wilona tidak percaya, semuanya akan jadi lebih sulit. Dia kehabisan cara untuk membuat alasan.
Wilona akhirnya tersenyum. Sebuah senyum manis yang dipaksakan, senyum yang dibuat seolah ia percaya, padahal hatinya berkata sebaliknya.
“Baiklah, aku percaya. Tapi lain kali… jangan bentak aku lagi, ya. Aku beneran nggak suka,” ucapnya pelan, tapi sarat makna.
“Iya sayang, Mas janji nggak akan bentak kamu lagi,” jawab Aryan cepat, senyum lega muncul di wajahnya. Ia terlalu senang karena mengira semua sudah selesai. Ia bahkan mencium bibir Wilona dengan lembut, namun tiba-tiba berubah menjadi ciuman yang lebih dalam, lebih menuntut. Wilona sempat terkejut dan hendak menolak, tapi Aryan menahan kepalanya, seolah enggan melepaskan.
Wilona akhirnya pasrah. Ia membiarkan Aryan mencium bibirnya, tapi tidak berniat membalas. Hatinya dingin, seolah tubuh dan jiwanya tidak lagi menyatu.
“Kalau aja kamu nggak kedatangan tamu malam ini, Mas udah makan kamu habis-habisan,” bisik Aryan dengan nada menggoda sebelum beranjak pergi untuk mengganti baju.
Wilona hanya menatap ke depan. Tak ada emosi. Ia mengangkat tangannya dan mengusap bibirnya dengan kasar. Bekas ciuman tadi terasa seperti luka yang tak kasat mata, menyakitkan dan membuatnya muak.
Malam itu, Aryan duduk di ruang kerjanya. Jari-jarinya sibuk mengetik balasan email, mencoba mengejar pekerjaan yang tertunda karena hari ini ia tidak masuk kantor. Ya, seluruh pagi dan siangnya habis untuk Amanda dan anak mereka.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Arga muncul di layar.
Aryan menggesek layar tanpa berpikir dua kali. “Halo, kenapa?”
“Ada kabar penting. Tadi siang Wilona ketemuan sama Vania,” ujar Arga di seberang, langsung to the point. “Dan… kayaknya dia udah mulai curiga sama lo.”
Aryan langsung berhenti mengetik. “Apa? Wilona ketemu Vania? Kenapa dia nggak bilang apa-apa ke gue? Terus… Vania ngomong apa aja ke dia? Dia nggak bilang yang aneh-aneh, kan?”
Nada suaranya berubah cemas dan marah. Ia memang pernah mengingatkan Wilona agar tidak ke mana-mana tanpa izin darinya. Tapi bukan karena khawatir soal keselamatannya. Ia khawatir Wilona melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.
“Tenang, Van nggak cerita apa-apa. Tapi gue saranin, lo jujur sebelum semuanya kebongkar. Atau lo emang udah keenakan sama Amanda? Hahaha…”
Tawa Arga terdengar mengejek.
Aryan mendengus, “Nggak usah sok suci, Ga. Lo juga sama. Jangan lupa lo punya cewek simpanan di club, bahkan lebih dari satu.”
“Bener sih. Tapi gue nggak punya anak dari mereka,” jawab Arga sambil tertawa.
Aryan menarik napas dalam. “Gue bakal jujur ke Wilona secepatnya. Tapi lo juga tahu kan, kenapa gue jalanin semua ini. Gue cuma nggak mau Mama terus-terusan tekan Wilona soal kehamilan. Gue tahu dia nggak pernah cerita apa-apa, tapi gue ngerti dia tertekan.”
Arga hanya tertawa sinis. “Terpaksa? Terpaksa matamu. Lo udah keterusan. Amanda udah kayak mainan baru buat lo.”
“Gue cowok normal. Dia istri gue juga secara agama. Masa iya gue nggak nyentuh? Tapi jangan samain gue sama lo. Lo liat monyet cantik dikit juga langsung mau!”
“Haha, oke ‘pria paling suci’. Tapi gue yakin, cepet atau lambat, Wilona bakal ninggalin lo. Hati-hati aja bro… kayaknya dia udah mulainya curiga.”
“Sialan! Itu nggak akan pernah terjadi. Justru lo yang bakal ditinggal Vania!”
“Vania? Dia cinta mati sama gue. Tapi Wilona? Gue gak yakin sih, kalau dia tetep bertahan. Kalau dia jadi janda, cowok-cowok pasti ngantri. Lihat aja, umur 27 aja masih kayak anak SMA.”
Tut.
Aryan langsung mematikan panggilan. Nafasnya memburu. Perkataan Arga barusan menyulut kemarahannya.
Wilona… janda? Tidak. Tidak akan pernah terjadi.
“Wilona cuma milikku. Selamanya dia akan jadi istriku,” gumam Aryan pelan tapi penuh keyakinan, matanya menatap tajam layar laptop yang kini gelap.
TBC.
JANGAN LUPA BERI LIKE, KOMEN DAN VOTEDUKUNGAN TEMAN-TEMAN SEMUA SANGAT BERHARGA.....LOVE YOU ALL.....
Wes to gae duso seng okeh bar iku garek entuk karmane.
ko lek wes miskin po knek penyakit br tau rasa.
bagus bagus biar tmbh hancur nnti.
dah bner si anak dpt wanita baik hidup tertata mlh di hancurkan.
Sekarang balik lagi Aryan suka mabuk dan free sex. sakit kau nnti Amanda kl tau Aryan bgitu 🤣
hbis ini kluarga Aryan tambh hancur.