Kisah sepasang CEO yang merintis bisnis mereka dari nol dan pernah berkecimpung di dunia bawah, keduanya memiliki masalah dengan keluarga dan hubungan toxic mereka masing masing sehingga mereka sulit untuk mempercayai orang orang di sekitar mereka.
Mereka menggunakan dua nama, nama untuk di dunia bisnis sebagai CEO dan nama untuk kehidupan pribadi mereka. Mereka juga memilih hidup sederhana dan mengerjakan pekerjaan yang menjadi hobi mereka. Namun keduanya ternyata tinggal di sebuah apartemen dan unit mereka persis bersebelahan.
Tanpa mereka sadari, mereka ternyata klik dan saling jatuh cinta, namun mereka memakai identitas kehidupan pribadi mereka, tanpa mengetahui sisi kehidupan bisnis mereka satu sama lain walau perusahaan mereka bekerja sama. Walau saling mencintai, keduanya menyimpan rahasia terhadap satu sama lain sampai terbongkar suatu hari nanti.
Akankah mereka bahagia atau malah sebaliknya ?
Genre : Urban, fiksi, komedi, drama, sedikit action, psikologi
100% dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mobs Jinsei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Jam 10, di kantor pengacara, Ethan / Eric yang memakai setelan jas rapi dengan rambut yang tersisir rapi, masuk ke dalam ruang meeting, pengacaranya dan pengacara Emily / Elena sudah duduk di dalam berseberangan, mereka terlihat sedang mengobrol santai kemudian menoleh ketika melihat Ethan / Eric datang. Keduanya langsung berdiri kemudian bersalaman dengan Eric, seorang wanita yang nampaknya sekertaris dari pengacara Emily dan bertugas untuk membuat notulen, berdiri untuk bersalaman dengan Eric.
“Selamat datang pak Eric, saya Michael, pengacara yang mewakili Good Eye’s auction and appraisal (melihat jam tangannya) masih jam 9:30, mungkin ibu Emily masih di jalan,” ujar Michael.
“Baik, tidak apa apa,” balas Eric sambil duduk di sebelah pengacaranya.
“Anda sudah ok dengan surat perjanjian kerjasama nya pak Eric ?” tanya Michael.
“Sudah, saya sudah konfirmasi dengan pak Albert,” jawab Eric sambil memegang pundak pengacara nya.
“Benar, seperti email yang saya kirim kepada bapak tadi pagi, pak Michael,” ujar Albert tersenyum.
“Baiklah, berarti kita tinggal tunggu ibu Emily datang,” ujar Michael sambil bersandar di kursi nya.
“Apa beliau tinggalnya jauh ?” tanya Albert.
“Hmm tidak, biasanya dia selalu tepat waktu, pak Eric dan pak Albert datang terlebih dahulu dari waktu kesepakatan kita,” jawab Michael.
Seperti yang Michael katakan, tepat jam 10, “klek,” pintu ruangan di buka, Elena / Emily yang memakai setelan blazer, rambut di ikat pony tail dan memakai kacamata melangkah masuk ke dalam. Eric, Albert dan Michael menoleh melihat ke pintu, ketika melihat semua sudah datang, Emily segera melangkah dan duduk di sebelah Michael,
“Maaf saya terlambat,” ujar Emily sambil duduk.
“Tidak bu Emily, seperti yang pak Michael katakan, anda tepat waktu, kita yang datang sedikit kepagian,” balas Eric tersenyum.
Emily melihat jam tangannya kemudian dia merapihkan blazer nya dan bersandar dengan senyum di wajahnya,
“Terima kasih pak Eric sudah menyempatkan waktu datang kesini, mari kita mulai meetingnya,” ujar Emily.
“Baik, mari bu,” balas Eric.
Meeting pun berlangsung selama satu jam, mereka membahas draft perjanjian walau sudah di setujui dan menambah beberapa poin yang baru saja di bicarakan dengan mengadu kepala di rapat untuk kepentingan dan keuntungan kedua perusahaan. Setelah sekertaris selesai mengetik penambahan poin poin penting dan mencetak dua rangkap surat nya, Eric dan Emily menandatangani dua rangkap surat perjanjian tersebut secara bergantian. Setelah itu, Michael dan Albert sebagai saksi juga menandatangani kedua surat tersebut,
“Baiklah, berarti sudah selesai,” ujar Michael.
“Kira kira kapan surat nya siap pak Michael ?” tanya Albert.
“Tiga hari dari sekarang, nanti kita kirimkan ke alamat kantor pengacara anda,” jawab Michael.
“Baiklah, kalau sudah selesai, saya mohon pamit terlebih dahulu,” ujar Eric sambil berdiri.
“Oh ok pak Eric, senang bisa bekerja sama dengan anda,” balas Emily yang berdiri dan menjulurkan tangannya.
“Ah terima kasih bu Emily atas waktu dan kesempatan bekerja sama dengan perusahaan anda, semoga kerjasama yang telah terjalin dapat terus berlanjut dan bisa memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat,” ujar Eric.
“Dan membawa perusahaan kita ke tingkat yang lebih tinggi lagi,” tambah Emily.
Eric menjabat tangan Emily, ketika tangan mereka menempel agak lama, mereka merasakan ada percikan sensasi yang mereka sudah kenali, keduanya saling tatap dengan senyum menghiasi wajah mereka,
“Dia...benar benar mirip Elena,” gumam Eric dalam hati sambil tersenyum.
“Dia...benar benar mirip dengan Ethan,” gumam Emily dalam hati sambil tersenyum.
Setelah itu, mereka pun pergi meninggalkan kantor pengacara. Eric langsung menuju ke mobilnya, setelah masuk ke dalam, dia mengirim pesan kepada Helen kalau dia membuka bengkel pribadi nya hari ini dan berpesan agar menghubungi dia kalau ada apa apa. Eric langsung berjalan menuju ke bengkel nya. Setelah sampai, Eric memasukkan mobilnya ke dalam garasi untuk parkir tepat di sebelah motor nya dan mengganti pakaiannya menjadi pakaian montir.
Kemudian dia berjalan ke arah kotak sekering listrik lalu membukanya, ternyata isi kotak listrik itu bukanlah sekring atau jaringan kabel listrik melainkan beberapa pistol yang tergantung di dinding kotak. Eric mengambil sebuah pistol berretta yang menggunakan peredam suara, dia memeriksa isi pelurunya kemudian memasukkannya ke dalam pinggang belakang yang tertutup dengan baju nya. Setelah itu, dia duduk di atas motornya dan mengirim email kepada seseorang, setelah itu dia kembali menyimpan smartphone nya,
“Ok, sudah di kirim, semoaga dia melihatnya dan menghubungi ku,” guman Eric.
Dengan santai, Eric berjalan ke pintu garasi, membukanya dan keluar untuk membuka garasi bengkel tepat di sebelahnya.
******
Sementara itu, Emily turun agak jauh dari rumah sakit dan melepas blazernya, dia berjalan sedikit kemudian masuk dari pintu belakang. Begitu sampai ruang loker khusus perawat, dia langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian perawat miliknya. Setelah selesai, dia keluar dari ruang loker untuk melakukan absen menggunakan mesin absensi fingerprint di ruang perawat.
Setelah melakukan absen di ruang perawat, Emily kembali keluar untuk menuju ke pos nya di poli anak. Ketika pintu poli anak terlihat, langkah Emily terhenti karena melihat seorang dokter muda yang nampak mewah karena mengenakan jam tangan emas dan sepatu designer, sedang berdiri di meja jaga mengobrol dengan seorang perawat. Sang dokter menoleh melihat Emily, dia langsung berbalik dengan wajah berseri seri.
Kakinya langsung bergerak menuju ke arah Emily dengan wajah sombong dan senyum menyeringai,
“Halo Elena,” sapa sang dokter sombong.
“Ada perlu apa dengan saya dokter Brandon ?” tanya Emily.
“Hari jumat ini kan ada pesta peringatan nama rumah sakit di aula rumah sakit, bagaimana kalau kamu datang bersama ku, aku bisa menjemput mu terlebih dahulu dengan mobil ku, selesai pesta kita bisa bersenang senang,” ujar Brandon.
“Maaf, tapi aku sudah mengajak seseorang untuk datang ke pesta,” balas Emily ketus.
“Hah...siapa ? kamu punya pacar ?” tanya Brandon.
“Saya sudah bertunangan,” jawab Emily.
“Hmm ? (mengamati jari jari Emily) kamu tidak memakai cincin pertunangan tuh, kamu bohong ya,” balas Brandon.
“Cincin tunangan ku, aku tinggal di rumah setiap bekerja, calon suami ku sangat mengerti kalau pekerjaan ku sebagai perawat terkadang memakai tangan (ok, besok beli cincin biar yakin),” balas Emily.
“Ok ok aku mengerti, tapi kalau kamu ternyata bohong, aku mau kamu jadi pacar ku dengan tujuan menikah dengan ku,” ujar Brandon.
“Maaf, seperti yang saya bilang, saya tidak tertarik untuk menjadi pacar anda dokter, tolong jangan ganggu saya (kamu bukan level ku...dokter),” ujar Emily.
“Hahaha tidak masalah, kalau ternyata kamu tidak membawa pacar atau tunangan mu, berarti aku bebas mengejar mu, baiklah, aku pergi dulu,” balas Brandon sombong.
Emily berbalik melihat Brandon yang berjalan melewati nya dan menegur setiap perawat yang dia lewati seakan akan dirinya seorang selebriti. Emily hanya menggelengkan kepalanya melihat Brandon, setelah itu dia mulai berpikir,
“Hmm kalau aku ajak Ethan...dia mau ga ya ? masih dua hari lagi kan, coba nanti pulang ku tanya, maaf ya Ethan, aku tidak mau punya urusan dengan dokter sombong seperti si Brandon tu,” gumam Emily dalam hati dan duduk di belakang meja penerima pasien di depan ruang poli anak.