Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Di tengah hangatnya tawa dan obrolan, bel rumah Yura kembali berbunyi. Dengan penuh semangat, Hana melesat keluar. Ia mengira itu Febi atau mungkin Rizki yang akhirnya datang.
Namun, semangat itu langsung lenyap saat melihat sosok yang baru saja mereka bicarakan, Ardhan.
Hana membeku beberapa detik. Hatinya tak nyaman, tapi juga tak bisa memalingkan pandangan dari sosok yang berdiri tenang di balik pagar.
“Hei, kamu,” sapa Ardhan santai, seolah tak ada apa pun yang terjadi.
Dengan langkah ragu tapi penasaran, Hana mendekat. Ardhan memang tampan, dan itu membuat segalanya jadi membingungkan.
“Yura ada?” tanyanya, langsung ke inti tujuan.
“Ada. Kenapa?” jawab Hana berusaha datar.
“Aku mau bicara sebentar dengannya. Bisa tolong panggilkan?”
Hana berpikir sejenak. Wajah Yura saat mereka ngobrol tadi masih tergambar jelas di kepalanya, penuh amarah dan kecewa.
“Maaf, Kakak Tampan. Saat ini Yura lagi... murka. Saran saya, lain kali saja datangnya.”
“Saya mohon,” ucap Ardhan, matanya memohon.
“Saya juga mohon... pulanglah,” ucap Hana dengan nada bersikukuh.
Ardhan menghela napas. “Kamu tahu kenapa Yura menjauh dariku?”
Hana mengangkat alis. “Enggak pasti, tapi kayaknya gara-gara kertas itu,” katanya sambil menunjuk ke dalam rumah, “Kakak ingkar janji, dan Yura paling benci orang yang gak tepati janji.”
“Saya punya alasan penting waktu itu. Saya enggak sengaja,” ujar Ardhan, makin putus asa.
“Saya enggak mau ikut campur. Saya entar dituduh komplotan,” jawab Hana keras kepala. “Datang lagi aja kalau suasana sudah tenang.”
“Kalau begitu... kasih saya nomor Yura,” pinta Ardhan nekat.
“Yaa... mari Kak.” Hana berbalik, hendak masuk. Tapi sebelum melangkah jauh, dia bergumam pelan, “Udah mau punya anak, masih juga ngejar-ngejar anak gadis orang.”
Namun gumaman itu justru terdengar jelas oleh Ardhan.
“Hei! Maksud kamu apa?” tanya Ardhan mengernyit, suaranya naik satu oktaf.
Hana menatap tajam. “Kak Ardhan kemana di malam yang sudah dijanjikan sama Yura?”
“Saya... saya waktu itu...” Ardhan terbata, jelas tak siap.
Senyuman sinis muncul di bibir Hana. “Jangan harap bisa dekati Yura lagi.”
Ia pun melangkah masuk, meninggalkan Ardhan yang hanya bisa menatap nanar.
“Itu gak seperti yang kamu bayangkan!” teriak Ardhan dari luar pagar.
Teriakan itu cukup nyaring untuk membuat Yura dan Aldin yang mendengar dari dalam langsung menoleh.
“Hana kenapa?” ucap Yura bingung sambil mengekor Aldin ke pintu.
Belum sempat membuka pintu, Hana lebih dulu menarik mereka masuk kembali.
“Lo ribut sama siapa?” tanya Aldin, menatap Hana serius.
“Itu... si Ardhan,” ucap Hana, membuat langkah Yura langsung membeku.
“Aku tanya ke mana dia waktu malam itu, tapi dia malah gagap jawabnya,” ucap Hana tajam. “Udah ya, jangan dekati dia lagi.”
“Padahal harusnya yang marah tuh Yura, bukan lo,” celetuk Aldin.
“Udah lah, gak usah dibahas lagi,” ucap Yura tenang, namun tatapannya kosong.
Tapi suasana yang hampir tenang kembali terusik. Bel rumah kembali berbunyi.
“Anjir... tuh orang lagi!” gerutu Hana kesal.
“Gue aja yang bukain,” ucap Aldin sambil berjalan ke luar dengan wajah waspada.
Namun, saat pintu dibuka, yang muncul justru Febi dan Rizki.
“Kenapa bro? Serius amat?” tanya Rizki bingung.
“Gue kira orang iseng,” jawab Aldin santai, langsung membukakan pagar agar mobil Rizki bisa masuk.
Febi, penuh semangat, langsung turun dan masuk ke rumah lebih dulu. “Hai guys, cewek cantik datang!” serunya riang.
Namun semangat itu langsung redup saat melihat Yura diam termenung, dan Hana hanya tersenyum hambar.
"Kenapa?" tanya Febi tanpa suara, memberikan isyarat ke arah Hana.
Hana hanya memberikan kode untuk tetap diam. Febi pun mengangguk pelan dan duduk bersila di lantai, menatap Yura dengan cemas.
Tak lama kemudian, Rizki masuk. Ia langsung mengernyit melihat suasana yang aneh.
"Aura apaan nih? Kayak abis nonton drama patah hati rame-rame," celetuknya mencoba mencairkan suasana.
Namun bukan tawa yang ia dapat. Justru tatapan tajam Hana menusuk langsung ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Rizki makin bingung.
"Gak tau nih..." jawab Febi lirih, masih memperhatikan Yura yang diam terpaku.
Beberapa saat hening. Sampai akhirnya Yura bersuara, pelan tapi jelas.
"Foto itu..." Yura terhenti sejenak, menarik napas. "Foto itu lo dapat dari mana?" tanyanya, tatapannya mengarah ke Hana.
"Foto...?" Hana bingung, takut salah menyebut. "Foto yang mana?"
"Foto kak Ardhan," jawab Yura, nadanya mulai bergetar.
"Iya, gue juga penasaran. Lo kirim tapi gak kasih penjelasan," timpal Febi.
Hana akhirnya menjelaskan, "Jadi hari itu gue pakai mobil ibu ke sekolah. Jadi otomatis gue yang jemput, karena gue males masuk RS jadi gue nunggu di parkiran. Karena lama banget, jadi gue nyuruh ibu kirim bukti kalau dia udah jalan dari dalam. Eh, malah nggak sengaja dapet foto kak Ardhan bareng cewek itu."
"Itu beneran istrinya atau...?" tanya Febi ragu-ragu, tatapannya berganti ke Yura.
"Kalau bukan istrinya, ngapain juga ke RS pas udah janjian sama Yura?" sambung Aldin, nadanya tajam.
"Terus, kalau memang istrinya, kenapa ngajak Yura makan malam?" tanya Hana, wajahnya terlihat bingung.
"Makan malam?" Febi kaget. "Serius?"
"Iya," jawab Hana sambil mengangguk.
"Masa sih tuh perempuan hamil di luar nikah?" celetuk Rizki asal.
"Gak mungkin lah!" Aldin menatap Rizki kesal.
"Pikiran lo tuh negatif banget!" omel Febi pada Rizki.
"Ya siapa tau, kan gue cuma nebak," ucap Rizki mengangkat tangan tanda menyerah.
Yura mendengarkan semua percakapan itu sambil menunduk. Kepalanya semakin penuh dengan tanda tanya. Jika ini hanya kesalahpahaman, maka semuanya harus segera diluruskan. Tapi jika bukan?
Tapi... kalau itu beneran istrinya, terus kenapa dia ngajak gue makan malam? Gimana kalau gue cuma jadi pelarian? Atau... yang lebih parah... selingkuhan?" batinnya berputar-putar, membuat tubuhnya merinding.
"Udah, cukup. Gak usah dibahas lagi. Mending fokus ke laporan aja," ucap Yura akhirnya, memotong suasana yang makin panas.
"Lo udah kelar laporannya?" tanya Febi.
"Belum. Kan penilaiannya Senin."
"Kirain lo udah selesai," celetuk Febi lega.
"Bahas konsumsi yuk, biar gak panik Senin pagi," saran Hana, mengalihkan topik.
"Yoi, bener juga," sahut Rizki.
"Soal makan berat, kita harus pesan hari ini. Biar orang kateringnya gak kaget," ucap Febi sambil membuka catatan di ponselnya.
"Pesan di mana? Lo ada rekomendasi?" tanya Hana sambil mengernyit, ikut penasaran.
"Nasi Padang seberang kampus gimana? Di sana enak dan porsinya banyak," saran Febi antusias.
Yura hanya mengangguk pelan. "Gue ngikut."
"Aku sih ikut aja, yang penting gak ribet," timpal Rizki sambil masih ngemil wafer.
"Gue juga, atur aja lah," Aldin mengangkat bahu.
"Berarti kita fix ya pesen hari ini. Nanti gue hubungin warungnya sekalian nego harga," kata Febi.
"Thanks. Jangan lupa minta bonus cabe ya!" celetuk Rizki.
"Lo pikir beli gorengan," balas Hana sambil tertawa.
Mereka pun kembali sibuk berdiskusi, kali ini dengan suasana yang jauh lebih ringan.
Meski suasana perlahan mencair, namun hati Yura tetap tak tenang. Pikirannya masih terpaku pada sosok pria yang mungkin, menyimpan lebih banyak rahasia dari yang ia duga.