Hanya berjarak lima langkah dari rumah, Satya dan Sekar lebih sering jadi musuh bebuyutan daripada tetangga.
Satya—pemilik toko donat yang lebih akrab dipanggil Bang... Sat.
Dan Sekar—siswi SMA pecinta donat strawberry buatan Satya yang selalu berhasil merepotkan Satya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfaira_13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Keributan Tak Terduga
Sekar dan keempat temannya duduk di sudut ruangan lantai dua setelah mendapatkan donat yang mereka pesan. Binar sibuk dengan ponselnya, merekam momen dengan teman-temannya. Menyapa para penggemarnya lewat story singkat yang dibuatnya.
"Aidan, tolong fotoin kita bertiga dong!" suruh Nala menyerahkan ponselnya.
Aidan menerimanya. "Boleh, tapi gantinya kalian jadi model foto gua nanti ya!"
"Sip, kita terima!"
"Ihh nanti dulu, fotonya gak macem-macem kan?" kata Sekar menginterupsi.
"Ck, ya enggaklah!"
"Awas aja kalo lo nyuruh kita foto pake baju renang buat dijual," sahut Binar menyetujui pendapat Sekar.
"Astaga, pikiran gua gak sekotor itu juga ya Binar!"
"Waspada aja gua mah," balasnya tak mau kalah.
"Yang di tengah bawa donatnya ya!" titah Sekar menyuruh Nala yang kebetulan berada di posisi tengah.
Aidan mengambil cukup banyak foto sampai mereka puas dengan hasilnya. Mengembalikan ponsel Nala dan mulai menikmati donat yang sempat dijadikan properti untuk foto. Binar dan Sekar ikut mengintip hasil fotonya.
"Lucu, bagus kalo dipost di Ig," kata Binar dengan senang karena mendapatkan foto untuk mengisi postingan Instagramnya.
"Tag gua ya!" pinta Nala.
"Tag juga fotografer nya," sahut Aidan dengan mulut penuh gula.
"Aman, gua tag semua," kata Binar.
Setelahnya, mereka mulai menikmati hidangan yang tersaji di atas meja. Tentu saja yang pertama kali menarik perhatian Sekar dan menjadi incarannya adalah donat strawberry. Ia mulai mengambil potongannya dan menikmatinya dengan nikmat.
"Lo mau cobain yang matcha gak?" tanya Nala pada kekasihnya, Niel.
Niel tak menjawab, tapi mulutnya terbuka. "Aaaa~"
Nala dengan senang hati menyuapkan donat matcha yang sudah dipotong menjadi satu suapan kecil.
"Enak yang karamel," kata Niel setelah mencicipinya. Rasa matcha masih terlalu asing di lidahnya.
"Gak ramah banget kalian berdua," komentar Sekar sambil mengaduk-aduk sedotan dalam gelas kaca.
"Iri aja lo pada," balas Niel mengejek.
Tapi kemudian, dari dekat tangga, seorang ibu muda berusaha menenangkan balita yang menangis cukup kencang. Beberapa pengunjung melirik sebentar dan kembali ke urusan masing-masing. Tapi tidak dengan pria paruh baya yang duduk tak jauh dari ibu muda tersebut.
"Kamu bisa ngurus anak gak! Kerjaan saya numpuk. Saya gak suka berisik!" katanya dengan nada keras.
Ibu muda itu terdiam, masih berusaha menenangkan balita dalam pangkuannya yang tangisnya semakin kencang karena terkejut dengan suara pria paruh baya itu.
Ia sedikit membungkuk. "Maaf pak, saya gak tau kenapa dia rewel."
"Loh Bapak kalo gak mau berisik jangan kerja di tempat umum dong," sahut Sekar yang langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Iya, harusnya Bapak yang gak di sini," tambah Niel sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia masih duduk di kursinya dengan tenang. Hanya tatapan matanya yang berubah tajam.
"Kalian anak sekolah, tapi gak punya sopan santun!" bentaknya dengan keras.
Seketika, suasana menjadi hening. Pria itu menatap tajam Sekar dan keempat temannya. Niel ingin kembali bicara, tapi tertahan berkat kehadiran Satya yang tergesa di ujung tangga.
"Permisi, Pak. Kalo ada yang bikin gak nyaman, Bapak bisa ngomong ke saya langsung. Tapi kalo Bapak malah marahin anak kecil dan ibunya seperti itu, saya gak bisa biarin."
"Saya pelanggan loh di sini!"
"Betul, tapi mereka yang di sini juga pelanggan. Kalo Bapak mau, bisa saya buat lagi menu yang baru, gratis buat Bapak, tapi dibungkus. Dan Bapak harus keluar dari sini," ujar Satya dengan tegas.
Sekar tersenyum lebar saat Satya datang dan menegur pria paruh baya itu. Wajahnya terlihat tenang, tapi sorot matanya menyiratkan peringatan yang tak perlu diterjemahkan.
Pria itu terlihat enggan, tapi akhirnya mengangguk setuju. Ia segera merapikan laptop dan dokumen lainnya di atas meja, memasukkannya ke dalam tas hitam, dan turun mengikuti langkah Satya.
Nala berjalan mendekat ke arah Ibu muda itu. "Tenang aja, anak kecil wajar ko nangis di tempat umum."
"Makasi ya, kalo gak ada kalian... saya gak tau lagi harus gimana."
"Biarin aja Mba, emang dia yang salah. Masa kerja di tempat nongkrong, nyebelin banget," sahut Sekar dari bangkunya.
Beberapa pengunjung lain yang sempat menonton keributan kecil itu mulai tenang. Menikmati kembali sore hari di toko donat. Meski ketegangan sempat terjadi di sana.
ditunggu next chapter ya kak😁
jangan lupa mampir dan ninggalin like dan komen sesuai apa yang di kasih ya biar kita sama-sama support✨🥺🙏
sekalian mampir juga.../Coffee//Coffee//Coffee/
Dikasih koma ya, Kak. Biar lebih enak bacanya. Semangat terus nulisnya!😉