Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah kita di Pagi hari
Langit malam sudah lama runtuh dalam gelap. Udara dingin menyelimuti jalanan, dan langkah Rendi menyusuri teras rumah dengan hati-hati. Ia sengaja tak mengetuk pintu. Ia tahu, Alisya pasti sudah terlelap. Jam dinding pun seolah malu berdetak, menandakan malam yang sudah begitu larut. Dengan pelan, ia membuka pintu dan mengendap masuk, menahan bunyi langkah sebaik mungkin.
Dan benar saja—di ruang tamu, dalam cahaya remang, Alisya tertidur di kursi dengan kepala sedikit menunduk, ponsel masih tergenggam di tangan.
“Alisya… istriku,” bisik Rendi lirih, nyaris tak terdengar. “Menunggu kabar, mungkin…”
Dengan hati-hati, ia membungkuk, mencoba mengangkat tubuh sang istri untuk dibawa ke kamar. Namun belum sempat menggeser langkah, Alisya perlahan membuka mata. Tanpa berkata sepatah pun, ia mengecup lembut pipi Rendi, lalu menariknya naik ke atas ranjang.
“Maaf ya, aku pulang telat,” ucap Rendi, nyaris berbisik, membalas ciuman Alisya dengan pelukan yang tak butuh banyak penjelasan.
Malam pun larut dalam diam yang penuh bahasa kalbu. Tak ada banyak tanya dari Alisya. Tak pula banyak penjelasan dari Rendi. Seolah mereka telah berada di tahap paling dewasa dalam mencinta—saling mengerti tanpa perlu kata.
Pagi datang perlahan, menyibak langit dengan cahaya hangat. Alisya terbangun lebih awal dari biasanya. Masih dengan sisa kehangatan malam di hati, ia segera menuju dapur, mempersiapkan nasi tumpeng untuk dibagikan ke anak-anak yatim di yayasan dekat rumah. Sebentuk syukur, atas rezeki dan berkah yang datang diam-diam—seperti jabatan baru untuk Rendi.
Sementara itu, Rasya, bocah lelaki berusia delapan tahun itu, bangun di pukul lima pagi. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia berjalan pelan, menahan dingin pagi untuk menunaikan kewajiban Subuh.
Begitu sampai di dapur, ia melihat ibunya sudah sibuk memotong daging, aroma bumbu mulai tercium samar-samar.
“Bunda…” panggilnya lirih, mendekat.
Alisya menoleh, lalu tersenyum hangat. Ia segera menghampiri anak semata wayangnya, lalu mengecup lembut kening Rasya—sebuah ritual kecil yang selalu dilakukan tiap pagi.
“Apa sayang? Anak Bunda sudah bangun?” tanyanya lembut.
Rasya mengangguk kecil, memeluk Bundanya sejenak. “Iya, Bunda. Rasya mau sholat dulu.”
“Iya, sana sholat. Bunda udah dari tadi,” ucap Alisya sambil mengusap kepala anaknya penuh kasih. “Ayah juga sudah sholat. Tapi nanti bangunin lagi ya, dia pulang malam tadi.”
Rasya hanya tersenyum dan melangkah menuju kamar mandi, sementara Alisya kembali berkutat di dapur.
Tak lama, aroma nasi tumpeng yang menguar ke seluruh rumah membangunkan Rendi yang masih terlelap di kamar. Hidungnya menangkap harum yang membangkitkan kenangan masa kecil—aroma rumah yang dirindukan.
“Bunda sayang… lagi apa?” gumam Rendi pelan sambil melangkah ke arah dapur dan memeluk Alisya dari belakang, menyandarkan dagunya di pundak istrinya.
Alisya tersenyum, membalikkan badan dengan mata yang berbinar. “Bikin nasi tumpeng. Mau dikirim ke yayasan anak yatim piatu. Sebagai bentuk syukur kita… atas kenaikan jabatan kamu.”
Rendi menghela napas, senyumnya lebar. “Capek, sayang… pesen aja ya,” godanya sambil mencium ujung telinga istrinya.
“Ihhh!” Alisya geli, berusaha menghindar sambil tertawa kecil. “Nakaaal…”
“Cuma kali ini,” bisik Rendi, suaranya penuh manja.
Tawa kecil kembali mengisi dapur yang hangat itu. Tak lama, Rasya datang menghampiri mereka, melihat orang tuanya dalam pelukan dan tawa. Bocah itu menarik tangan ayahnya.
“Yuk Yah, jalan pagi dulu sebelum mulai hari,” ajaknya dengan mata berbinar.
Rendi menoleh ke arah Alisya, berharap ada waktu sedikit untuk itu. Tapi Alisya hanya menggeleng pelan sambil tersenyum, menolak dengan lembut.
“Maaf, sayang. Bunda masih harus selesaikan ini.”
Rasya mengangguk, tak kecewa. Ia paham.
Dan pagi itu pun melanjutkan kisahnya—dengan cinta yang tak banyak bicara, tapi terasa di setiap aroma dapur, pelukan hangat, dan diam yang mengerti.
...****************...
Pagi masih menyisakan embun di ujung dedaunan. Setelah sarapan dan berpamitan penuh peluk, Rasya berangkat sekolah dengan bus jemputan. Bocah itu melambaikan tangan dari jendela kaca, meninggalkan jejak senyum di hati kedua orang tuanya.
Kini, rumah kembali hening. Hanya suara panci di dapur dan gemericik air dari kamar mandi yang mengisi ruang kosong itu. Rendi, yang sedang bersiap untuk berangkat kerja, melirik jam dinding. Masih ada waktu. Ia merapikan kemeja sambil melirik ke arah kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka.
Alisya baru selesai mencuci tubuh. Rambutnya terurai basah, menetes pelan di sepanjang pundaknya, membasahi kain handuk yang melilit tubuhnya. Wajahnya polos tanpa rias, namun justru di sanalah letak kemurnian yang selalu membuat hati Rendi jatuh cinta—lagi dan lagi.
Dengan langkah pelan, Rendi mendekat, menyelinap ke balik tubuh istrinya yang berdiri di depan kaca. Ia melingkarkan lengannya dari belakang, menyandarkan dagunya di pundak Alisya.
"Sayang..." bisiknya. “Gak bisa nahan rindu, bahkan cuma semalam tak sepenuhnya bersamamu…”
Alisya tersenyum tipis, tak menoleh, hanya menatap pantulan Rendi di cermin. “Kamu gak telat kerja?”
“Lebih telat dari ini, aku rela…” balasnya lirih, penuh goda, namun nada suaranya sarat rindu, bukan sekadar nafsu.
Ciuman lembut pun mendarat di pundak Alisya, mengalir naik ke tengkuk. Rendi tidak tergesa, ia tahu caranya menyentuh bukan sekadar fisik, tapi hati. Alisya pun membiarkan dirinya larut dalam kehangatan pelukan itu—bukan karena lemah, melainkan karena merasa aman.
Dan pagi itu menjadi milik mereka. Waktu seolah berhenti sejenak, memberi ruang untuk cinta tumbuh dalam diam, dalam sisa-sisa air yang mengalir di kulit, dalam kecup kecil yang lebih dalam dari kata.
Kadang, cinta tak butuh banyak alasan. Hanya hadir, menyapa, dan menetap.
Pagi sudah menjelang terang saat Rendi dan Alisya akhirnya rebah di ranjang dengan napas masih berkejaran. Tirai kamar bergerak lembut ditiup angin. Di antara hela napas , mereka hanya saling menatap—diam, tapi penuh.
Pelukan itu bukan sekadar pelepas rindu. Lebih dari itu, mereka seperti mengisi ulang perasaan yang selama ini tertunda oleh jarak, pekerjaan, dan kelelahan sehari-hari. Alisya menelusuri garis rahang Rendi dengan jari, lalu menyandarkan kepala di dadanya yang hangat.
“Kayaknya... kita hampir lupa waktu lagi,” gumamnya, setengah malas bangkit.
Rendi mengecup rambut istrinya dan tersenyum. “Kalau setiap lupa waktu rasanya kayak gini, aku gak keberatan.”
Namun kebersamaan yang tenang itu terpotong tiba-tiba oleh getar ponsel Rendi di nakas. Ia melirik layar.
Bunga (Kantor).
Rendi menghela napas, masih belum benar-benar ingin kembali jadi direktur pagi ini. Tapi tanggung jawab tetaplah tanggung jawab. Ia menjawab.
“Halo, Bunga?”
"Pagi, Pak. Maaf ganggu. Tiga puluh menit lagi rapat pembukaan restoran Bandung dimulai. Semua tim udah di ruang rapat. Apakah Bapak tetap datang?"
Rendi bangkit duduk, menoleh ke arah jam dinding. “Ya. Saya berangkat sekarang. Koordinasi tetap di tangan saya. Tolong siapkan ruangan dan pastikan presentasi diatur.”
"Baik, Pak. Kami tunggu."
Ia menutup telepon, lalu menoleh ke Alisya yang kini tengah duduk di tepi ranjang, merapikan rambutnya dengan jepitan sederhana.
“Gak apa-apa,” ucap Alisya sebelum Rendi sempat berkata apa-apa. “Kita udah punya pagi kita.”
Rendi berjalan menghampirinya, mengecup pipinya sekali lagi—lebih lembut dari sebelumnya. “Aku gak akan lama. Dan malam ini, gak ada rapat, gak ada telepon. Hanya kamu.”
“Jangan janji,” Alisya menggoda, tapi matanya hangat.
Rendi tersenyum, lalu cepat-cepat mengenakan kemeja dan jas yang tergantung. Ia bergegas ke luar kamar, menyambar kunci mobil dan map kerja yang tergeletak di meja.
Di ambang pintu, ia sempat menoleh sekali lagi. Alisya berdiri di lorong, mengenakan daster tipis dan rambut masih sedikit kusut, namun di matanya, Rendi melihat rumah yang tak pernah berubah.
Dengan senyum terakhir dan lambaian tangan, Rendi pun pergi.
Dan pagi itu pun selesai—bukan karena kehilangan, tapi karena sudah cukup memberi apa yang dibutuhkan dua hati yang saling menguatkan.