Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA7
Akhirnya, Alan resmi menempati apartemen barunya yang tidak kalah mewah dari apartemen lama. Fasilitas lengkap dan suasana nyaman. Tapi semua kemewahan itu terasa hampa. Di balkon, ia termenung sendiri, membiarkan rokok terbakar perlahan di antara jemarinya. Tatapannya kosong.
Tidak ada suara manja yang biasa menyapanya dari belakang, menyentuh lehernya dengan lembut, atau mencium pipinya sepulang kerja. Tidak ada pelukan hangat, atau obrolan ringan penuh canda tawa. Ternyata apartemen baru tidak mampu menghapus bayangan Maya.
Jacob datang,
“Makan malam sudah siap, Tuan,” ujarnya sopan.
Alan tak bergeming.
"Kenyataannya, aku tidak bisa melupakan Maya?” ujar Alan.
Jacob mengeluarkan tablet, menampilkan beberapa foto wanita. “Ini beberapa kandidat wanita yang mirip dengan Maya. Mungkin Tuan bisa mulai dari menyapa mereka.”
Alan menyingkirkan tablet itu dengan malas. “Aku capek dengan perempuan.”
“Tapi Tuan tetap manusia. Tuan punya kebutuhan hasrat, Maya telah pergi dan akan segera menikah, maka segera cari penggantinya," ucap Jacob datar.
Alan tidak menjawab. Matanya masih menerawang jauh bersama asap rokok.
“Dua kabar. Satu penting, satu tidak penting,” lanjut Jacob.
“Penting dulu,” pinta Alan.
“Besok kita memenuhi undangan makan malam dari Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba. Hanya pengusaha otomotif besar yang terpilih di Asia. Undangan ini berkat strategi bisnis Tuan yang luar biasa. Enam bulan terakhir grafik penjualan naik drastis di Indonesia. Menempati anak tangga Top Asia."
Alan mengangguk singkat. “ kabar yang tidak penting?”
“Besok, Maya Puspita akan dilamar secara resmi oleh keluarga Adly Hanif, lalu keesokan harinya melangsungkan akad nikah secara tertutup. Seminggu lagi, resepsi besar akan digelar di Jawa Tengah.”
Rahang Alan mengeras. Bola matanya melotot penuh gejolak. Ia membanting rokok, menghentak langkah.
"kenapa begitu cepat!" gumamnya semakin terdesak.
“Jacob, atur jadwal.”
“Ke Jepang, Tuan?”
“Bukan. Ke Jawa Tengah ke rumah orang tua Maya.”
Jacob menghela napas, suaranya mulai meninggi. “Tuan sendiri yang bilang, wanita hanya penghias sangkar. Saya bisa mencarikan yang lebih dari Maya. Pertemuan dengan Ishiba itu kesempatan emas!”
Alan langsung meraih kerah baju Jacob, menariknya dengan kasar.
“Itu tidak penting, cukup kau saja sebagai wakilnya. Kerjakan perintahku! Kau tidak tahu apa yang sedang aku rasakan!” desisnya geram, lalu mendorong tubuh Jacob hingga terhuyung.
Jacob terdiam. Hatinya semakin bingung. Ia bergumam lirih, “Benarkah ia jatuh cinta pada Maya? Atau hanya egonya yang terluka...?”
--
Keesokan paginya, pukul 08.00.
Keluarga Adly Hanif dan beberapa orang terpilih sudah duduk rapi di ruang tamu rumah keluarga Maya. Suasana terasa canggung, resmi sekaligus penuh harapan.
Ardi hanya guru SD biasa, sedangkan Maryam penjahit keliling dari kampung ke kampung. Mereka bekerja keras demi pendidikan Roy dan Maya hingga sampai ke perguruan tinggi. Namun sejak Maya merantau ke Jakarta, roda nasib kehidupan mereka jauh lebih baik.
Enam bulan terakhir Maya rutin mengirimkan uang dalam jumlah besar kepada orang tuanya dengan alasan bonus kerja dari perusahaan. Ardi membeli peternakan dan lahan pertanian yang luas. Maryam juga tidak lagi menjahit keliling. Ia sudah memiliki kios jahit sendiri. Kini, Ardi dan Maryam mulai terpandang di desa. Semua itu tidak lepas dari peran Maya, meski banyak yang tidak tahu bahwa sumber utama kemapanan berasal dari Alan.
Perubahan cepat itu menimbulkan rasa iri, curiga, dan desas-desus dari warga desa. Banyak yang tiba-tiba ingin menjodohkan anak mereka dengan Maya. Salah satunya adalah keluarga Bagas Kusuma, teman lama Ardi.
Sayangnya Maya tidak berhak memiliki mobil sport mewah, apartemen dan balck card yang sebenarnya sudah menjadi atas nama Maya.
Seorang pelayan datang membawa minuman untuk tamu. Dua keluarga itu kini duduk saling berhadapan di ruang tamu yang kini terlihat megah di desa.
"Ardi makin sukses saja sekarang!" ucap Bagas, membuka percakapan dengan senyum basa-basi.
"Rumah kalian juga sudah bagus sekarang, ya!" sambung Ratih, ibunda Adly, dengan tawa khas yang sedikit terkesan matre.
"Alhamdulillah, ini semua hasil kebun yang dibelikan oleh Maya setelah kerja di Jakarta," sahut Ardi, tersenyum bangga.
"Hebat, ya… anak perempuan bisa angkat derajat keluarga," Ratih terkekeh ringan.
"Sebenarnya mereka masih satu perusahaan tapi beda divisi saja!" ucap Bagas.
"Betul tapi sekarang Maya sudah resign. Katanya Mau fokus buka usaha sendiri," tambah Maryam, menimpali dengan nada mantap, apa adanya.
"Ooh, pas banget ya. Lagian kan, sudah mau dilamar," ucap Ratih dengan nada centil dan mata menyelidik.
Tidak lama, Maya keluar dari kamarnya.
Ia mengenakan pakaian sopan dengan tampilan yang anggun dan menawan. Kecantikannya terpancar, apalagi dengan sentuhan perawatan yang dulu difasilitasi Alan. kulitnya bersih, rambutnya tertata rapi, dan langkahnya penuh percaya diri.
Adly menatap tak berkedip. Wajahnya berubah gugup dan kagum seketika. Ia seolah tak percaya perempuan secantik itu adalah calon istrinya.
Maya menyapa dengan sopan dan penuh attitude. Ia menyalami satu per satu tamu dengan senyum hangat. Sikapnya yang santun langsung membuat Bagas dan Ratih terkesan.
"Masya Allah, cantiknya calon mantu!" seru Ratih bangkit dari duduknya, memeluk dan mencium pipi Maya kanan-kiri dengan antusias.
Ratih mencolek bahu Adly dan berbisik pelan,
"Gimana?"
Adly tertunduk malu-malu, lalu diam-diam mengacungkan jempol dengan wajah memerah. Raut wajahnya jelas: setuju tanpa ragu.
Suasana kembali kondusif.
"Bolehkah saya bicara empat mata dengan Mas Adly?" pinta Maya lirih, memohon dengan tatapan penuh harap.
"Oh, tentu saja. Silakan," jawab Ratih, memberi isyarat agar sang putra mengikuti Maya ke ruangan lain.
Adly menurut. Langkah mereka terhenti di ruang makan yang sepi. Keduanya duduk berhadapan, namun suasana kaku menyelimuti. Adly tampak gugup, sementara Maya menggenggam jemarinya sendiri, dihantui rasa cemas.
"Ada apa, Dik?" tanya Adly membuka pembicaraan.
Maya menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk. "Begini, Mas… Kita akan menikah dan hidup bersama, bukan hanya sehari atau dua hari. Ini perjalanan panjang… sampai maut memisahkan."
Adly mengangguk pelan. "Betul, saya setuju."
"Maya ingin jujur tentang sesuatu," ucapnya pelan. Jemarinya terus bergerak gelisah di atas pangkuan, matanya tidak berani menatap.
"Katakan saja, Dik. Mas mendengarkan."
Setelah jeda yang berat, Maya akhirnya berkata lirih, "Maya… sudah tidak perawan lagi, Mas."
Wajahnya tertunduk dalam-dalam, seolah tak sanggup menanggung rasa malu.
Adly terdiam sejenak, lalu bertanya hati-hati, "Jadi… desas-desus dari warga itu benar?"
"Bukan karena menjual diri, Mas… Tapi karena Maya pernah tinggal bersama dengan kekasih tanpa ikatan. Sungguh, saya menyesal," tutur Maya, suara bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Adly mengernyit. "Kenapa kalian tidak menikah saja?"
"Karena dia lelaki yang tidak pernah mau berkomitmen. Dia menolak pernikahan. Dan… alasan perjodohan ini pun tidak lain untuk menghapus aib yang terlanjur menyebar di masyarakat." Air mata Maya jatuh tak tertahankan.
"Semua ini Maya katakan agar Mas Adly tidak merasa tertipu atau kecewa di kemudian hari. Bahkan kepada orang tua saya pun, Maya belum mampu mengakuinya. Jadi… jika Mas ingin membatalkan lamaran ini, saya akan mengerti. Saya tidak akan marah ataupun menuntut apa-apa."
Adly terdiam cukup lama. Ia menatap Maya dalam-dalam, mencari kejujuran dalam matanya yang basah. Tapi hatinya sudah terlanjur tertarik dengan Maya.
Akhirnya, ia menghela napas dan berkata dengan mantap, "Karena kamu sudah jujur dan berani mengakui masa lalu… Mas terima kamu apa adanya. Dengan satu syarat: tidak ada rekam jejak digital asusila yang mempermalukan kalian."
Maya terisak pelan. Ia mengangguk cepat, penuh haru.
"Terima kasih, Mas…" ucapnya lirih, menatap Adly dengan mata yang basah, namun kini Maya tampak lebih lega.
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga