Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tukar Pasangan
"Loh kok malah tidur di luar?"
Reyhan menatap Adelia yang sedang tertidur di ruang tamu. Ia ingin membangunkan, namun melihat wajah istrinya, rasanya tidak tega.
Mengambil selimut bermaksud untuk menyelimuti tubuh Adelia, namun justru wanita itu terbangun.
"Kamu udah pulang?" tanya Adelia sambil menguap kecil.
"Ya. Maaf..."
Adelia terheran. "Maaf? Untuk apa?"
"Maaf karena aku nggak bisa ngajak kamu ke acara keluarga. Tadi ... ibu tiba-tiba buat acara."
"Gapapa kok. Tapi kemarin kamu ke rumah ibu ya?"
Reyhan mengangguk kecil. "Aku hanya ingin menjenguk ibu saja. Aku masuk ke dalam dulu ya."
"Yasudah sana." Adelia masih penasaran, namun ia tidak tahu tidak memiliki hak untuk bertanya tentang keluarga besar itu.
"Maaf? Tidak biasanya Reyhan tiba-tiba bilang maaf tanpa ada sesuatu yang terjadi," bisik Adelia perlahan.
Setelah malam itu, semuanya berubah. Perubahan itu tidak datang seperti badai. Ia menyusup pelan, seperti kabut tipis yang menyelimuti pagi.
Adelia mulai merasakannya sejak malam sepulang acara keluarga. Reyhan memang tetap pulang, tetap mengucap selamat malam, bahkan mencium keningnya sebelum tidur. Tapi ada sesuatu yang berbeda.
Tatapannya kosong lebih sering. Sentuhannya terasa pelan—tidak dingin, tidak hangat. Seperti ragu-ragu.
"Rey?" panggil Adelia suatu malam saat mereka duduk di sofa, menyaksikan acara televisi yang tak mereka perhatikan.
"Hm?"
"Kamu capek, ya?"
Reyhan tersenyum kecil. "Nggak juga. Hanya … banyak pikiran."
Adelia tidak menanyakan lebih lanjut. Tapi hatinya berkata lain.
Keesokan harinya, saat membuka sosial media, ia menemukan unggahan dari akun fashion wanita mewah. Salah satu fotonya memperlihatkan latar cafe vintage—dan dua tangan yang saling menggenggam di atas meja. Tidak ada wajah. Tapi Adelia mengenali jam tangan Reyhan, dan cincin yang pernah Emma pakai.
Tidak ada tag. Tidak ada nama. Tapi komentar di bawahnya menyebut-nyebut nama Emma secara halus.
Dan satu akun membalas, "Waktu yang indah, ya. Dulu."
Adelia memejamkan mata. Kepalanya berdenyut.
Dia tidak mengenal Emma secara pribadi. Hanya mendengar nama itu sekali-sekali. Tapi kini, sosok itu seperti hantu di balik pintu, membayangi pernikahannya.
Malamnya, Reyhan pulang terlambat. Ia membawa makanan favorit Adelia, tapi senyumnya terlihat dipaksakan.
"Kamu kenapa akhir-akhir ini kayak bukan kamu?" tanya Adelia, mencoba tidak menangis.
Reyhan mendesah, meletakkan kantong makanan. "Aku minta maaf. Mungkin aku ... terlalu banyak mikir. Tentang kerjaan, tentang keluarga."
"Juga tentang Emma?"
Reyhan diam.
"Aku lihat postingannya," ujar Adelia lirih. "Kamu nggak perlu jelasin. Aku ngerti ... mungkin kamu belum selesai dengan dia."
"Itu sudah masa lalu, Del."
"Tapi hatimu belum. Matamu bahkan masih mencarinya."
Pertengkaran itu tidak keras. Tidak meledak. Tapi menyakitkan.
Reyhan mencoba menenangkannya dengan pelukan, tapi Adelia menepis pelan. "Kalau aku cuma pelarian, bilang. Aku akan pergi. Aku tidak mau anak ini hidup di tengah bayangan cinta yang belum usai."
Keesokan harinya, Reyhan mengajak Adelia pergi ke luar kota. "Kita butuh ruang. Butuh tenang."
Perjalanan mereka tenang. Jalanan tol yang lengang, musik lembut dari radio mobil, dan Adelia yang mencoba tertidur di kursi penumpang.
Namun di laci dashboard, saat Adelia mencari tisu, ia menemukan gantungan kunci kecil. Bentuknya segitiga. Dengan tulisan Paris, for us.
Adelia terdiam.
"Ini punya siapa?" tanyanya pelan.
Reyhan menoleh, lalu kembali fokus ke jalan. "Itu ... dulu punya Emma. Mungkin kelupaan."
"Mungkin?" suara Adelia mulai bergetar. "Atau memang masih kamu simpan?"
"Del, jangan mulai lagi."
"Terlalu banyak ‘jangan mulai lagi’ dari kamu, Reyhan. Tapi kamu nggak pernah benar-benar selesai."
Mobil berhenti di rest area. Reyhan keluar, duduk di bangku taman, kepalanya menunduk. Adelia duduk di sampingnya.
"Aku hanya ingin tahu ... apa aku cukup?" tanyanya pelan. "Apa aku pernah jadi pilihan pertamamu?"
Reyhan menatapnya. "Kamu bukan yang pertama ... tapi kamu yang terakhir."
Jawaban itu manis, tapi Adelia tahu bagian dari Reyhan masih belum ia miliki.
Di sisi lain, di rumah besar Jonathan, Emma duduk di teras belakang, menatap layar ponselnya yang memuat foto-foto perjalanan Adelia dan Reyhan. Ia menemukan akun Adelia secara diam-diam.
"Lucu," gumamnya. "Perempuan yang datang dari patah hati ... sekarang mencoba merebut segalanya."
Reno datang, membawa dua gelas wine. "Untuk kemenangan kecil kita malam itu."
Emma tersenyum sinis. "Kemenangan yang belum sempurna. Tapi setidaknya ... dia mulai rapuh."
Reno menatap Emma agak lama. "Kau tahu, awalnya aku main-main. Tapi kamu ... kamu menarik."
Emma terkekeh. "Jangan jatuh cinta padaku, Ren. Aku bukan istri siapa pun."
"Dan aku bukan suami siapa pun juga," balas Reno dingin. "Karin hanya dekorasi di rumah mewahku."
Mereka saling menatap, dan dunia yang mereka rancang perlahan jadi candu. Bukan lagi permainan. Tapi mungkin ... bibit perasaan itu mulai tumbuh.
Emma menyandarkan tubuhnya ke sofa, kakinya menyilang anggun. "Kau tahu ini hanya sandiwara, Reno. Jangan berharap terlalu banyak."
Reno menyipitkan mata, mencondongkan tubuh. "Tapi aku tidak lagi ingin bersandiwara, Emma. Aku lelah pura-pura."
"Reyhan masih hidup di hatiku," jawab Emma pelan, nyaris berbisik. "Kau tahu itu."
Reno mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku juga tahu, kau sedang mencari pelarian. Sama seperti aku."
Emma menoleh, menatap wajah Reno dalam-dalam. "Apa maksudmu?"
"Karin hanya pajangan. Pernikahan kami cuma pameran kekuasaan. Tidak ada rasa. Tidak ada hangat. Hanya dingin dan reputasi. Dan kamu tahu ... kamu satu-satunya yang bisa membuatku merasa hidup."
"Tapi, kamu juga masih menyukai Adelia, kan?"
"Ya, itu pasti. Walaupun rasa suka itu masih ada padaku. Hanya saja ... Adelia terlalu baik untukku. Dia terlalu mudah diatur, dan tidak ada tantangan apapun untukku. Sebelumnya perasaanku masih nyata pada Adelia, tapi mungkin ... Setelah kau datang, semuanya berubah."
"Reno—"
"Aku tidak minta kau lupakan Reyhan. Aku hanya minta ... jangan bohong kalau kau juga merasa nyaman saat bersamaku."
Emma terdiam. Suasana jadi lengang. Hanya suara detik jam dinding dan napas mereka yang menggantung di udara.
Reno mendekat pelan, duduk di sebelah Emma. "Kita tidak harus jatuh cinta. Tapi kita bisa saling menemani. Saling menyembuhkan."
"Ini akan menyakitkan," bisik Emma.
"Lebih menyakitkan kalau kita terus berpura-pura tidak saling butuh."
Lalu Reno mengangkat tangan, menyentuh pipi Emma dengan lembut. "Kau cantik, Emma. Tapi bukan hanya itu. Kau kuat. Dan aku ingin berada di sampingmu ... kalau kau izinkan."
Emma memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas berat. "Aku benci kenyataan bahwa kau bisa membaca aku seperti ini."
"Kau tidak harus mencintaiku. Tapi biarkan aku jadi rumah saat kau lelah."
Lalu, untuk kedua kalinya malam itu, bibir mereka bertemu. Tak ada penonton. Tak ada kamera tersembunyi. Hanya dua manusia yang sedang mencoba menemukan kenyamanan dalam luka yang berbeda.
Ciuman itu lebih dalam, lebih lambat, dan lebih nyata. Bukan akting. Tapi pelarian. Dan Emma ... tak lagi menolak.