Kesalahan semalam yang terjadi pada Arfira dengan seorang pria yang tidak di kenalnya membuat hidupnya berantakan, dirinya bahkan sampai harus menjebak pria bernama Gus Fauzan, supaya dirinya terbebas dari amarah Abang dan Abi-nya. Namun, takdir tak menghendaki itu, semuanya terbongkar hingga membuat hidup Arfira benar-benar hancur. Sampai dirinya di pertemukan oleh pria yang telah menghancurkan kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Gus Izam menyorot tajam ke arah Arfira yang pada saat itu menundukkan kepalanya, sungguh rasanya geram sekali dengan tingkah adiknya ini. Terhitung sudah hampir sebulan namun dirinya tidak pernah bertemu dengan Arfira, bahkan menghubungi saja cukup susah. Bahkan saat mendatangi gadis itu di butiknya, namun dirinya tidak pernah bertemu dengan adiknya itu.
Bahkan, apartemen yang di tempati oleh gadis itupun Gus Izam sama sekali tidak tau. Ummi bahkan di pondok pesantren sangat cemas dengan anak bungsunya itu.
Sedangkan Arfira, dirinya ciut saat melihat sorot tajam abangnya itu. Ini hal yang paling di takuti olehnya, bahkan sudah mencoba menghindar, namun sialnya dirinya hari ini malah harus bertemu dengan abangnya itu,
"Darimana saja kamu selama ini? Udah hampir sebulan kamu nggak pulang, bahkan di hubungi juga susah. Terakhir Abang di kasih tau sama Alana, katanya kamu cuman jawab singkat doang, dan seterusnya kamu langsung matikan sambungan telponnya." Kata Gus Izam marah.
Arfira mengerucutkan ujung bibirnya. "Abang marah terus, bisakan tanyanya pelan-pelan." Kata Arfira pelan.
Gus Izam menghela nafasnya kasar. Mengucapkan istighfar berulangkali, karena dirinya terlalu kesal pada adiknya itu. Rasanya mau marah saja, sudah sering dirinya datang ke butik ini, tapi Arfira malah tak bisa di temui olehnya.
"Kamu kemana?" Tanya Gus Izam setelah dirinya sudah cukup tenang, melihat keadaan sang adik yang lumayan kurus membuat Gus Izam yakin Arfira tidak baik-baik saja.
"Aku di apartemen bang"
"Ngapain di apartemen? Kamu punya rumah. Ummi dan Abi tungguin kamu. Bahkan kamu kurusan begini, kerja muluh kamu, sampai nggak ingat sama badan." Ketus Gus Fauzan tampak kesal..
Arfira tersentak, dirinya memperhatikan tubuhnya yang memang sedikit menyusut, karena akhir-akhir ini pikirannya sedang tidak baik-baik saja. Dirinya masih memikirkan kejadian di Bali waktu itu, dirinya takut kemungkinan buruk terjadi, bahkan Arfira jarang tidur malam. Makan juga sering terlambat.
"Aku banyak desain baju."
"Mangkanya kerja jangan terlalu di forsir. Kamu mau penyakitan masih muda?" Ucap Gus Izam kesal.
Arfira mengerucutkan ujung bibirnya. "Ya maaf bang, namanya juga lagi sibuk. Abang juga begitu kan, kalau sibuk kerja." Kata Arfira malah membuat Gus Izam semakin melotot.
"Kamu ya, pandai sekali membolak-balikkan, sudah jangan banyak sekali alasan. Malam ini pulang ke rumah." Ucap Gus Izam tegas.
Arfira melotot. "Bang, besok aja. Malam ini aku masih banyak kerjaan, aku mau–"
"Jangan membantah Arfira. Atau Abang tutup butik kamu ini. Dan cita-cita kamu akan hilang karena Abang akan larang kamu." Kata Gus Izam menatap sengit adiknya itu.
Arfira menundukkan kepalanya, sambil menciut takut saat abangnya sudah mengancamnya seperti itu.
"Bang jangan di tutup, nanti kalau di tutup Arfira bakalan stres." Kata Arfira memelas.
Gus Izam berdecih. "Biarin aja, sekalian kamu stres, daripada Abang yang stress mikirin adik kayak kamu yang nyebelinnya minta ampun." Kata Gus Izam kepalang kesal.
Arfira mencebikkan ujung bibirnya. "Abang ih rese" kata Arfira.
Gus Izam menghela nafasnya kasar, bangkit dari duduknya dan tangannya terulur mengacak rambut adiknya sebentar. "Pulang. Kasihan ummi sama Abi. Hari ini Abi sama ummi ada tasyakuran ke rumah sahabatnya, kemungkinan malam baru pulang. Ada Alana di rumah, ada keponakan kamu juga, kamu nggak kangen sama mereka?"
Arfira melengkungkan bibirnya ke bewah. "Kangen.." jujur saja dirinya rindu pada semuanya, termasuk pada keponakannya yang sangat menggemaskan baginya itu. Biasanya Arfira selalu bermain dengan keponakannya itu.
"Mangkanya pulang. Abang tunggu."
Arfira mengangguk kaku.
"Abang berangkat kerja dulu, udah telat."kata Gus Izam langsung mengucapkan salam, dan pergi dari sana.
*
Arfira mendecak geram saat beberapa pesannya malah sama sekali tidak di jawab oleh Gus fauzan.
Bahkan di lihat saja tidak. Dirinya sudah mencoba menghubungi pria itu berulangkali, namun nihil, Gus Fauzan sama sekali tidak menjawab panggilannya. Rasa resah dan gelisah langsung menyeruak di dalam dirinya. Apalagi saat ini dirinya sudah ada di pondok pesantren. Dirinya takut ummi dan Abi-nya marah sampai mengetahui sesuatu tentang dirinya. Padahal Gus Fauzan sama sekali tidak bermasalah, ini salahnya. Bahkan dirinya terkesan ingin menjebak Gus Fauzan yang sama sekali tidak tau apa-apa.
Arfira duduk di tepi ranjang pondok pesantrennya, jemarinya bergetar sambil memegang ponsel yang telah ia coba gunakan untuk menghubungi Gus Fauzan. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan amarah dan kekhawatiran yang mendera. Beberapa kali, ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan hati yang bergolak.
Cahaya layar ponsel menyinari wajahnya yang semakin murung. Pesan demi pesan yang ia kirimkan hanya bertemu dengan keheningan, tidak ada balasan, tidak ada tanda bahwa pesan itu dibaca. "Kenapa dia tidak membalas?" gumamnya pelan, suara itu hampir tercekat oleh rasa cemas yang semakin memuncak.
Ruang kamar yang biasanya memberikan kenyamanan, kini seolah menjadi penjara bagi emosinya yang bergejolak. Arfira mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya, dia takut, takut akan kemarahan ummi dan Abi jika mengetahui apa yang terjadi, takut akan apa yang mungkin terjadi pada dirinya. Mungkin kemurkaan mereka yang akan Arfira dapatkan.
Ia bangkit, berjalan mondar-mandir di dalam kamar yang sempit itu. Setiap langkahnya terasa berat, seakan menggambarkan kegelisahan yang terus menghantuinya. Arfira mencoba sekali lagi, menekan tombol panggilan dengan harapan yang semakin menipis. Nada sambung berbunyi, namun seperti sebelum-sebelumnya, hanya berakhir pada kotak suara.
Dengan rasa frustasi yang memuncak, Arfira melempar ponselnya ke tempat tidur. "Mengapa semua ini harus terjadi?" keluhnya dengan nada suara yang bergetar. Kepalanya terasa pening, dan hatinya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.
Arfira kembali mengambil ponselnya, dirinya mengirimkan pesan pada pria itu.
Arfira |kamu kemana? Kok nggak bales pesan dari aku? Padahal kamu nggak biasanya begini? Ini juga udah malam,| send Fauzan.
Pesan itu sudah centang dua abu-abu, namun sama sekali tidak di buka. Arfira tak pantang menyerah, dirinya kembali menghubungi pria tampan itu.
Sampai beberapa kali panggilan, Arfira sama sekali tidak mendapatkan jawaban dari pria itu.
Arfira mendesah, bibirnya melengkung ke bawah dengan isakan tiba-tiba.
"Kenapa kayak gini... Hiks, kalau aku hamil bagaimana? Siapa yang mau tanggung jawab." Kata Arfira serak sambil menghapus bulir bening yang menetes di pipinya.
Tangannya gemetar melihat sebuah kalender yang biasanya dirinya tandai. Dan kini, dirinya sudah menunggu waktu beberapa hari lagi, untuk memastikan suatu hal.
Bisa jadi cepat, bisa jadi terlambat, namun jika sampai melewati hari yang berlebihan, kemungkinan buruk itu akan terjadi.
Dan Arfira sama sekali tidak siap akan hal itu, dirinya tidak tau siapa pria yang sudah menghamili dirinya.
Sementara di luar Pondok pesantren, seseorang mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. Matanya menatap lekat bangunan kokoh di batasi pagar yang menjulang tinggi itu.
"Entah kenapa, saya tertarik dengan kamu" kata pria itu sambil mengepulkan asap rokoknya.