bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
amira dipenjara
Seorang polisi mengangkat telepon dan menghubungi kantor Andika Pratama.
"Benar ini dengan Tuan Andika?"
"Ya, ada apa?" jawab suara di seberang.
"Maaf, Pak. Di sini ada seorang wanita yang mengaku sebagai istri Anda."
"Siapa namanya?"
"Amira, Pak. Apakah benar dia istri Anda?"
"Benar," jawab Andika tanpa ragu.
"Kami mohon maaf, Pak. Kami menahan istri Anda. Kami akan mengantarnya pulang sekarang juga," ucap polisi penuh hormat.
"Tidak usah. Bila perlu, jangan pernah keluarkan dia lagi dari sana," ucap Andika santai.
"Serius, Pak?"
"Serius. Kalau dia keluar, nanti bikin onar lagi."
Telepon ditutup.
Andika bersandar di kursinya sambil tersenyum.
"Akhirnya malam ini tenang. Tidak ada lagi wanita gila itu," gumamnya.
Di kantor polisi, Amira menatap polisi dengan mata berbinar.
"Pak, jadi kapan suami saya menjemput saya?"
"Jadi kamu istri palsu Tuan Andika, ya?" sindir polisi.
"Eh, kok Bapak tahu?" Amira buru-buru menutup mulut, sadar dirinya keceplosan.
"Pesan dari Tuan Andika: kamu tidak boleh dikeluarkan. Bila perlu, kamu selamanya tinggal di penjara."
"Brak!" Amira menghantam meja hingga retak.
"Heh! Ganti rugi! Itu meja mahal, harganya sejuta!" bentak polisi.
"Maaf, Pak. Aku tak sengaja. Jadi laki-laki sialan itu mau aku busuk di sini, ya? Awas dia, kalau aku keluar, akan kupotong jadi bakwan!" geram Amira.
"Sudah, jangan banyak omong. Masuk ke sel!" ucap polisi.
Amira digiring masuk ke dalam sel tahanan. Begitu pintu jeruji besi tertutup, tatapan sinis dan liar langsung menyambutnya.
"Anjing, Andika! Gua dimasukin ke sel laki-laki? Apa maksudnya ini? Apa gua mau diperkosa tahanan pria? Hah, nggak semudah itu, Ferguso," gumam Amira sambil menatap tajam ke sekitar.
Wajah cantiknya dan tubuh rampingnya langsung menjadi pusat perhatian. Beberapa pria mendekat, mata mereka penuh nafsu, seolah sudah merencanakan pesta liar di kepala mereka.
Seorang pria botak dengan tato menyelimuti lengannya maju pertama. Ia mengangkat tangan hendak menyentuh dagu Amira.
Belum sempat jari itu menyentuh kulitnya—
Bugh!
Tinju keras Amira mendarat tepat di hidungnya. Darah langsung mengucur.
"Serang dia!" teriak salah satu tahanan lain.
Amira berdiri sigap, kuda-kuda siap. Satu pria mencoba menyerangnya dari kanan—
Dia menghindar lincah, lalu—
Bugh!
Tinju mendarat di ulu hati pria itu. Terjengkang. Menggeliat kesakitan.
Tak butuh waktu lama. Enam pria terkapar dalam waktu singkat. Semua merintih. Sel hening.
Amira berdiri di tengah, matanya membara.
"Siapa lagi yang mau maju? Sini! Gua bikin pecel semua! Tau nggak kenapa gua masuk sini? Karena gua motong-motong lelaki hidung belang kayak kalian!"
Amira berdiri di tengah sel, menatap tajam seluruh penghuni yang kini hanya bisa menunduk.
“Kalian semua tidur di pojokan sana. Jangan ada yang berani dekati gue. Awas kalau ada yang nekat!” ancamnya, suaranya tajam, penuh wibawa.
Tak satu pun berani melawan. Mereka segera bergeser ke sudut sel, memeluk lutut masing-masing.
“Awas ya, kalau ada nyamuk yang gigit gue, gue tampar kalian semua!” lanjut Amira dengan nada galak.
Dengan santai, ia mengumpulkan semua selimut di dalam sel. Dia lipat, tumpuk, dan jadikan alas empuk untuk tidurnya sendiri. Setelah puas dengan “kasur” darurat itu, Amira membaringkan diri dan... ngorok. Dengkuran kerasnya menggema sampai ke pos jaga di luar sel.
Salah satu tahanan, pria kurus berkepala plontos, dengan sigap berdiri di dekatnya. Ia mengipasi Amira penuh hormat. Jika ada nyamuk mendekat, segera diusirnya secepat mungkin. Ia seperti pelayan pribadi yang setia.
Di pojok sel, seorang pria berwajah asing menatap Amira dalam diam.
“Kenapa wajahnya mirip Nyonya Helena…” gumamnya pelan, mata tak berkedip.
Sementara itu, para tahanan lain hanya bisa terbaring lemas. Tubuh mereka penuh lebam setelah jadi samsak hidup Amira. Tapi tak ada satu pun yang berani protes.
Yang benar-benar terganggu justru para sipir di luar sel. Mereka hanya bisa menghela napas panjang mendengar dengkuran yang memekakkan telinga itu, sambil berpikir, "Ini narapidana atau ratu tidur, sih?"
...
Di sebuah ruangan remang, Herman duduk sambil memainkan cincin emas di jarinya. Wajahnya datar, namun mata tajamnya memancarkan kepuasan. Ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Gimana? Apa dia udah jadi santapan para tahanan?” tanyanya dingin, suaranya pelan tapi mengandung racun.
Di ujung sambungan, seorang polisi terdengar letih.
“Pak... dia malah lagi tidur ngorok. Saya sendiri jadi nggak bisa tidur.”
Herman mengangkat alis. “Hah? Terus gimana dengan tahanan lainnya? Masa mereka nggak ngapa-ngapain? Harusnya udah puas lah mereka!”
“Boro-boro, Pak. Mereka malah babak belur. Cewek itu... gila. Satu sel dihajar semua.”
Herman menggeram, mencengkram ponsel. “Tahanan sekarang payah! Masa lawan perempuan aja gak becus?!”
“Itu kenyataannya, Pak. Kami juga nggak nyangka...”
Hening sejenak. Herman lalu menyeringai. “Kalau begitu, gue kirim orang gue. Dia yang kasih pelajaran buat si Amira.”
“Eh, nggak bisa masukin orang sembarangan, Bos. Ini penjara, bukan warung kopi.”
“Dua juta semalam,” ucap Herman pelan tapi mantap
Terdengar gumaman ragu di seberang. “Mmm… oke. Deal. Kabari aja Bos orangnya siapa.”
"gimana pak?" tanya Melisa pacarnya Dani yang dipukuli Amira
"besok akan ku kirimkan orang kepenjara besok kamu tenang saja," ucap Herman
..
Pagi tiba, sinar matahari menerobos jeruji sel, menyinari wajah-wajah lelah para tahanan. Suara keras terdengar.
“Plak!”
Sebuah tendangan mendarat di perut pria botak yang semalaman duduk di dekat Amira.
“Gua bilang apa semalam? Jangan ada yang deketin gua!” hardik Amira dengan mata menyala.
Pria botak terbatuk pelan, menahan sakit. “Maaf, Bos… semalam gua jagain Bos dari nyamuk. Gua nggak tidur semalaman,” jawabnya polos.
“Suruh siapa?” bentak Amira lagi, alisnya terangkat.
“Suruh Bos sendiri… katanya, jangan sampai ada nyamuk yang gigit.”
Amira terdiam sesaat, nyaris tertawa. Tapi dia tahan. Wajahnya tetap galak, walau dalam hati geli sendiri.
Seorang pria tinggi besar memasuki sel dengan langkah berat dan tatapan mengintimidasi. Otot-ototnya menonjol, wajahnya penuh bekas luka. Dialah Jamal. Hampir semua narapidana di lapas mengenalnya—preman paling ditakuti yang jasanya sering digunakan untuk menggebuki siapa pun yang dianggap musuh.
Begitu Jamal melangkah masuk, para tahanan langsung menyingkir. Tak ada yang berani berdiri di dekatnya.
“Mana yang namanya Amira?” suaranya dalam, seperti gemuruh.
“Eh, ada apa, Bos?” tanya si pria botak, cemas.
“Aku mau patahkan lehernya. Kalian semua terlalu lemah.”
“Dia… dia di sana, Bos,” ucap si botak sambil menunjuk sudut sel.
Para tahanan bersorak dalam hati. Akhirnya, gadis cantik itu akan mendapatkan balasannya. Mereka bersiap—kalau Jamal berhasil menjatuhkan Amira, mereka akan ikut mengeroyok, bahkan melecehkannya.
Jamal melangkah dengan niat membunuh. Dia berdiri di hadapan Amira yang masih tidur pulas, tubuhnya terbalut selimut.
“Hei, jalang sialan… bangun kau!” bentaknya kasar.
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus