Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9. BERSEDIA
"Sayang, jangan berbicara sembarang. Kamu tahu sendiri kalau inseminasi buatan itu diharamkan dalam agama kita. Anak yang lahir nanti juga tidak akan jelas nasabnya," ucap Teddy yang terkejut akan permintaan istrinya terhadap Fiona.
Bukan hanya Teddy, Damar dan Fiona yang masih berdiri di ambang pintu tak kalah terkejutnya. Namun, keduanya memilih tak bersuara dan hanya saling melempar tatapan.
"Aku tau, Mas. Aku juga tidak meminta Mas Teddy untuk melakukan inseminasi buatan," ujar Agnes menatap suaminya.
"Lalu apa maksud kamu tadi meminta dia untuk menjadi rahim pengganti?'' tanya Teddy.
"Nikahi dia, Mas. Jadikan dia istri kedua Mas sebatas untuk menjadi rahim pengganti. Ceraikan dia setelah dia melahirkan anak untuk kita."
"Agnes...." Teddy terdiam. Ia kehilangan kata. Ia hanya mampu menggelengkan kepalanya untuk menolak permintaan istrinya. Meski wanita yang telah menyebabkan istrinya kehilangan rahim adalah wanita pertama yang mengisi hatinya, namun ia tidak ingin mengambil kesempatan dalam masalah ini. Terlebih ia juga sudah tahu dari Aidan, bahwa Fiona juga akan menikah dalam waktu dekat.
Damar yang sudah merasa tak tahan mendengar ucapan wanita itu, menggenggam tangan Fiona untuk yang pertama kali lalu menariknya kembali masuk ke ruang rawat itu.
Fiona tersentak, sebab selama ini mereka tidak pernah bersentuhan meski hanya sekedar berpegangan tangan. Namun, karena rasa terkejut atas permintaan Agnes membuatnya diam dan pasrah saat Damar menariknya masuk.
Damar baru melepas tangan calon istrinya ketika berdiri di hadapan sepasang suami istri itu. Tatapannya tajam, nafasnya nampak memburu.
"Permintaan kamu itu sangat mustahil. Bagaimana bisa kamu meminta calon istri saya untuk menjadi istri kedua suami mu untuk sekedar memberikan kalian anak!" tukas Damar, dan untuk pertama kali pula ia berkata dengan nada tinggi pada seorang wanita.
Agnes terdiam selama beberapa saat. Sedikit terkejut mengetahui wanita yang telah menabraknya itu ternyata sudah akan menikah.
"Kalian akan hidup bahagia dan akan memiliki anak sebanyak yang kalian mau. Tapi bagaimana dengan aku? Seumur hidup aku tidak akan pernah bisa mengandung lagi." Agnes menatap Fiona yang sejak tadi hanya diam dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Kalian bisa mengadopsi anak. Aku sanggup mengurus segala prosedur dan juga biayanya. Atau suami mu bisa menikahi wanita lain, kalau perlu biar aku yang mencarikannya. Asal jangan calon istriku!" tekan Damar. "Atau ... salah satu anak kami nanti bisa kalian anggap anak juga," ucapnya lagi yang sudah merasa gusar menghadapi wanita itu.
"Tapi aku mau, anak itu berasal dari darah daging suamiku!"
Damar membuang nafas kasar. Untung saja dia wanita. Jika suami dari wanita itu yang menginginkan hal konyol ini, maka sudah ia pastikan pukulan keras mendarat di wajahnya.
"Aku bersedia!" ucap Fiona tiba-tiba, dan membuat tatapan mata tiga orang di ruangan itu seketika tertuju padanya.
"Fio, tarik ucapan kamu barusan. Apa kamu lupa, kita akan menikah?" Damar menatap calon istrinya, antara terkejut dan merasa tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Ia harap hanya salah dengar saja, Fiona tidak benar-benar bersedia memenuhi permintaan Agnes.
"Jika dengan ini aku bisa menebus kesalahanku. Aku bersedia melakukannya, Mas." Fiona menatap Damar, matanya tampak berkaca-kaca, ada rasa bersalah yang teramat besar di dalam sana. Sebab apa yang dia putuskan tidak akan hanya menyakiti Damar, tapi juga dua keluarga yang tengah berbahagia menantikan hari pernikahan mereka. Namun, ia hanya bisa membayar rasa bersalahnya terhadap Agnes dengan cara menjadi istri kedua Teddy sebatas menjadi rahim pengganti.
"Fio...." Damar kehilangan kata.
.
.
.
"Ini namanya penghinaan, Papa tidak terima!" Pak Yahya sangat murka ketika Damar memberitahu tentang keputusan Fiona, yang lebih memilih menerima permintaan Agnes ketimbang menempuh jalur hukum. Dan yang lebih membuatnya murka, Damar mendukung keputusan calon istrinya itu dan bersedia menunggu Fiona.
"Kalau pernikahan ini batal, maka selamanya Papa tidak akan pernah lagi memberikan kamu restu bersama Fiona!" Pak Yahya menunjuk putranya dengan sorot mata yang begitu tajam.
"Pa, tolong hargai keputusan Fiona. Dia melakukan ini sekedar untuk menebus rasa bersalahnya." Damar mengatupkan kedua tangannya di hadapan sang papa.
Pak Yahya berdecih. "Cinta benar-benar sudah membuat kamu buta! Bisa-bisanya kamu masih mengharapkan wanita yang bersedia digauli laki-laki lain. Jika Fiona sudah mengambil keputusan, baiklah maka Papa juga akan membuat keputusan. Pernikahan kalian batal dan jangan harap Papa akan merestui kalian lagi!" Setelah mengatakan itu, pak Yahya pun pergi dari tempat itu.
Bu Winda yang sejak tadi hanya diam, mendekati putranya dan mengusap pundaknya. Ia juga tak menyangka jika Fiona lebih memilih memenuhi permintaan Agnes.
"Walaupun rasanya sakit sekali, tapi aku harus siapa menerima kenyataan. Aku harus siap menerima keputusan Fiona dan harus rela menunggunya kembali tanpa mahkotanya," ucap Damar sembari menatap langkah sang papa.
"Mungkin ini teguran untukku." Aku selalu berharap mendapatkan istri yang sempurna. Yang baik akhlaknya dan bisa menjaga diri. Tapi aku sendiri justru adalah seorang pendosa yang tidak tahu diri. Mungkin Allah ingin menegurku melalui musibah yang menimpa Fiona." Ia sengaja mengeraskan suaranya agar papa mendengar, dan itu berhasil. Pak Yahya menghentikan langkahnya, namun tidak membalikkan badannya.
Bu Winda tersentak mendengarnya. "Damar, apa maksud kamu, Nak?" tanyanya. Selama ini, yang ia tahu putranya adalah laki-laki yang baik, tidak pernah terlibat masalah apapun. Ia juga tidak pernah melihat atau mendengar putranya menjalin hubungan dengan wanita manapun.
Damar menatap mamanya sejenak, lalu berpindah menatap punggung papanya. "Aku tidak sebaik yang Papa dan Mama kira selama ini. Selama berada di luar negeri, aku sering bergonta-ganti pasangan tidur. Bahkan itu berlanjut setelah aku kembali. Setiap kali aku izin keluar malam untuk bertemu teman, sebenarnya aku pergi ke tempat hiburan malam. Dan setelah bertemu Fiona, aku bertekad untuk menghilangkan kebiasaan buruk ku itu. Tapi sepertinya Allah tetap ingin menghukum ku," ungkapnya. Ia terpaksa membongkar aibnya sendiri karena tak ingin sang papa terus-terusan menghina Fiona.
Tangan bu Winda yang mengusap pundak putranya itu seketika terkulai lemas seiring air matanya yang jatuh membasahi pipi. Tak sepatah katapun yang terucap dari bibirnya, ia hanya bisa mengusap dada dan beristighfar dalam hati.
Sementara pak Yahya tampak gemetar di tempatnya berdiri sambil menekan dadanya. Detik berikutnya ia nampak terhuyung.
Damar dengan sigap berlari menghampiri dan menahan tubuh sang papa. Bu Winda yang masih syok itu, semakin syok melihat suaminya. Ia pun segera beranjak menghampiri suaminya dengan sisa tenaga yang ada. Namun, pak Yahya sudah kehilangan kesadarannya.