NovelToon NovelToon
Anak Haram Kaisar

Anak Haram Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kutukan / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rahael

Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.

Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.

Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9: Teror Malam

Setelah pulang dari kota, langit sudah menjadi gelap. Anak bersurai merah muda itu langsung bergegas pulang karena khawatir pada ibunya yang ia tinggalkan sebelumnya.

Namun, yang ia temukan malah ibunya tergeletak dengan napas terputus-putus. Suhu badan yang panas dan beberapa ruam yang muncul di beberapa bagian tubuhnya.

"Ibu?! Ibu, kamu kenapa?!?" Aku mendatangi Delia dengan begitu takut. Raut wajahnya yang ditekuk dan keringatnya yang begitu banyak, Delia tidak bisa menjawab pertanyaanku.

Dengan panik aku langsung berlari ke rumah Ralf dan Mega, menggedor pintunya dengan keras.

"PAMAN! BIBI!! TOLONG!!!" Aku berteriak dengan berderai air mata. Perasaan dingin menyelimutiku.

Glen membuka pintu dan menampilkan raut bingung di wajahnya. "Ada apa Elena?! Kenapa kamu menangis seperti ini!?" Suara Glen yang panik saat melihatku menarik perhatian semua orang yang sedang berkumpul untuk makan malam.

"Lena!? Apa yang terjadi padamu??" Mega mendatangiku dengan raut wajah paniknya. Sedangkan aku, mencengkram lengan baju Mega dengan begitu putus asanya.

"Ibu ... Tolong ibu ... D-dia ... Dia pingsan di rumah ...." Suara ku begitu bergetar, dan cengkramanku semakin erat.

Mendengar ucapanku, Glen dan Hana langsung bergegas ke rumahku.

"Tenanglah Elena, bibi pasti baik-baik saja," ucap Ralf untuk menenangkanku. Kami pun akhirnya menyusul ke rumahku.

Saat sampai disana, Delia sudah di pindahkan ke atas kasur. Sedangkan Hana mengompres kening Delia.

Aku berjalan mendekati tubuh Delia, memegang tangannya dengan erat. "Tubuhnya sangat panas, bibi," ucapku dengan lirih pada Hana.

Hana hanya bisa memeluk erat tubuh kecilku. Ia juga tidak bisa berbuat banyak terhadap orang sakit. Bagi rakyat biasa seperti kami, penyakit sekecil apapun adalah sebuah neraka, dan sekarang hal itu terjadi pada ibuku.

Mataku terus tertunduk dan tidak berani melihat ke arah atas kepala Delia. Jantungku berdegup begitu keras hingga rasanya begitu menyesakkan.

Pada akhirnya aku berusaha untuk menenangkan diriku kembali. Aku harus menjernihkan pikiranku.

Untuk saat inilah aku mempelajari ilmu obat-obatan. Setidaknya ... Setidaknya aku perlu mengetahui apa yang terjadi pada Delia.

Aku mulai memeriksa keseluruhan tubuh Delia dengan cermat. Namun, dalam sedetik tubuhku membeku.

Aku mengenal penyakit ini ....

Aku berjalan mundur dengan perasaan frustasi. Itu adalah penyakit demam berdarah.

Di kehidupan sebelumnya, banyak orang meninggal akibat penyakit ini. Sedangkan di tempat ini, dimana tidak adanya peralatan medis yang memadai dan statusku sebagai rakyat jelata. Ini bagai sebuah hukuman mati.

Bukankah sisa waktu ibu masih banyak? Lalu, kenapa ini bisa terjadi? Apa yang ku lewatkan??

Aku terduduk di lantai sambil menutupi wajahku. Aku bingung. Di dunia ini, obat untuk penyakit ini belum ditemukan. Lalu, bagaiman aku menyelamatkannya?

"Elena? Kamu tidak apa-apa, nak?" Glen menepuk pundakku dengan lembut. Raut wajahnya yang terlihat khawatir itu membuatku tanpa sadar menolehkan mataku ke atas.

'Eror'

'€$×&£'

Apa itu? Kenapa angka dan alasannya tidak jelas?

"Elena, apa kamu mengetahui sesuatu tentang penyakit ibumu?" Glen kembali bertanya, membuat perhatianku teralihkan.

"Pa-paman ... Ibu ... Dia menderita penyakit demam berdarah ...," tuturku dengan lemah.

"...."

Aku tidak tahu harus apalagi setelah ini. Caranya? Apa masih ada harapan? Kenapa Tuhan memberiku kemampuan seperti ini? Apa yang ia ingin aku lakukan dengan kekuatan ini? Aku tidak ingin mengetahui bagaiman cara ibu mati dengan mataku sendiri!

"Nak, sepertinya aku mengenal dokter yang tahu penyembuhan penyakit ini." Ucapan Glen menarik jiwaku kembali dari ruang gelap. Seperti sebuah cahaya, itu mengembalikan cahaya di mataku.

"Apa? Dimana dia paman??" Aku bertanya dengan tidak sabar.

"Itu berada di kota. Tapi, sekarang sudah malam dan jalan akan sangat berbahaya ...." Glen menatap ke arah jendela yang terbuka lalu melanjutkan perkataannya, "... Sepertinya kita harus menunggu hingga pagi tiba."

Aku menggeleng begitu keras. Jika menunggu hingga pagi, bagaimana jika sudah terlambat? Aku tidak mau kehilangan ibu. Orang tua yang sangat menyayangiku di kehidupan kali ini.

"Paman, kumohon!"

Glen merasa begitu bimbang. Namun, ia menghela napas dan menyetujui keegoisanku.

"Ralf, pergilah ke rumah paman Geroge untuk meminjam kereta kudanya." Ralf mengangguk dan langsung berlari dengan cepat ke rumah George.

Sedangkan, Hana memakaikan beberapa pakaian agar Delia tidak kedinginan dalam perjalanan.

Ketika semua sudah siap, aku memaksa untuk ikut dengan Glen dan George.

"Tidak! Itu sangat berbahaya untuk anak-anak!" Glen menolak dengan keras. Tapi, aku juga memaksa ingin tetap ikut.

"Paman, kumohon! Aku sangat khawatir dengan ibu," ucapku.

"Ayah, biarkan aku ikut juga. Aku yang akan menjaga Elena." Ralf mengajukan dirinya pada Glen.

"Apa kamu mengerti dengan apa yang kamu katakan, Ralf?" Glen mengerutkan keningnya. Anaknya juga ikut-ikutan memohon padanya.

"Aku sangat mengerti, ayah!"

Ralf yang begitu gigih akhirnya membuat Glen tidak bisa berbuat apapun. George, Glen, Delia, Ralf, dan aku akhirnya berangkat. Sedangkan Hana dan Mega menunggu di rumah.

Saat itu, semuanya terasa begitu gelap dan sunyi. Hanya terdengar suara tapak kaki kuda yang melaju melintasi jalan malam. Udaranya begitu dingin namun, suhu tubuh Delia tidak kunjung mereda.

Tiba-tiba di tengah jalan seseorang menghadang jalan kami. "Kalian tetap di kereta. Apapun yang terjadi, jangan keluar dari sini!" perintah Glen dengan wajah serius.

Ia menatap ke arah Ralf tanpa berbicara tapi, Ralf seakan mengerti apa yang ingin dikatakan oleh ayahnya.

Glen akhirnya turun dengan pedang yang terlampir di pinggangnya. Ia pada awalnya hanya berbicara santai dengan orang asing itu. Namun, sedetik kemudian Glen tiba-tiba menarik pedangnya dan terjadilah benturan besi tipis itu.

Kereta kuda langsung bergerak dengan cepat meninggalkan Glen di belakang yang terlihat sudah terkepung dengan beberapa orang disana.

"Paman George!! Paman Glen masih disana!!"

"Apa kamu tidak mengerti? Mereka adalah perampok! Kita serahkan saja pada Glen. Walau terlihat seperti itu, dia adalah pendekar pedang di desa kita!"

Walau aku tahu, tapi tetap saja. Aku menolehkan mataku ke arah Ralf. Wajahnya terlihat mengeras.

Melihat hal itu perasaanku begitu rumit, dan perasaan tidak nyaman ini mencekikku. Terlebih dengan semua angka eror yang ada di atas kepala semua orang disini.

Tiba-tiba saja kereta menjadi berguncang keras hingga, terbalik seutuhnya. Saat itu, Ralf dengan refleks melindungi tubuhku dan Delia dengan tubuh kecilnya. Tubuhku terasa begitu sakit dengan beberapa luka gores kecil.

Namun, punggungku terasa dingin ketika melihat keadaan George. Tubuhnya sudah dingin tak bernyawa dengan darah yang mengalir melalui luka sayatan di lehernya. Mata yang terbuka dan wajah yang pucat itu. Itu cukup membuatnya menjadi malam teror bagiku.

"ELENA! BANGUN CEPAT! KITA HARUS PERGI DARI SINI!!" Ralf sudah menggendong Delia di pundaknya, dan menarik lenganku menjauh dari kereta yang sudah hancur itu.

Kami memasuki bagian dalam hutan. Kami terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Jantung kami berdetak begitu cepat.

Di sunyinya hutan, gemerisik daun dan ranting membuat kami terus berlari. Namun, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dan menancap di pundak Ralf.

"RALF!!!" Ia terjatuh ke atas tanah. Aku mendatanginya dengan panik. Darah sudah mengalir dari luka itu.

"Ele...na... Ini tidak masalah ... Lebih baik kamu membawa bibi pergi dari sini ...." Ralf berusaha menahan rasa sakitnya dengan bersandar di bayang pohon.

"A-aku tidak bisa meninggalkanmu disini ... Paman George ... Paman Glen pun ... Tidak ... Tidak ...." Aku begitu panik hingga sulit untuk berpikir jernih.

"Hey! Sadarlah, kamu harus membawa ibumu pergi dari sini. Orang-orang yang merampok kita sepertinya bukan orang biasa," jelas Ralf. Ia mencengkram tangan ku untuk memberiku kekuatan.

Aku menoleh ke arah Delia namun, saat itu tubuhku di buat kaku tidak bisa bergerak.

'5 detik'

'Ditebas'

Benar saja. Belum sempat aku bereaksi, waktunya telah habis dan entah darimana sebuah pedang menebas kepala ibuku dengan begitu mudah.

Darahnya menciprat ke wajahku, dan tubuhku bergetar hebat.

"Kalian sungguh merepotkan hingga kabur ke hutan seperti ini," ucap orang asing yang memakai masker di wajahnya. Ia mengibaskan pedang berlumur darahnya lalu mendekati kami berdua.

Ralf langsung berdiri di depanku dengan pedang di tangannya, mengabaikan rasa sakit di pundaknya.

"ELENA, PERGILAH!!" Ralf berteriak dengan keras padaku.

"Woah, apa kamu sedang bermain menjadi pahlawan untuk tuan putri?" ejek orang itu. Ia menatap remeh ke arah Ralf.

"Berisik, dasar orang tua!" umpat Ralf. Hal itu sukses membuat orang itu geram dan menyerangnya.

Ralf menahan pedang itu dengan susah payah. "CEPAT PERGI!!!"

Aku tersadar dan langsung berlari dari sana. Air mataku tidak mau berhenti saat itu.

"Sudah cukup bermain pahlawannya. Matilah, nak!"

SLASH!

Aku menoleh dan melihat Ralf sudah terkapar dengan darah di tanah. Aku begitu ketakutan.

Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa ini terjadi padaku? KENAPA?!!?

Aku terus berlari tanpa tahu arah tujuanku, hanya berpikir agar bisa lolos dari kejaran orang-orang asing itu.

Namun, seperti takdir tuhan yang kejam. Di ujung jalanku terhampar sebuah jurang dengan arus deras di bawahnya.

"Sudah cukup. Permainan kejar-kejarannya telah berakhir."

Aku menoleh ke arah orang yang mengejarku. Langkahku terus mundur hingga sampai di ujung.

"Tidak ada tempat untuk pergi lagi."

"Sebenernya ... Sebenernya kenapa kalian melakukan ini semua...? Membunuh semuanya ...," tanyaku dengan begitu lirih.

"Jangan salahkan kami. Kami hanya melaksanakan perintah untuk membunuhmu. Sisanya, mereka hanya serangga mengganggu," jawab orang itu dengan begitu santai.

"Apa?"

Kepalaku terasa kosong. Angin malam saat itu tidak lagi dingin di tubuhku.

Jadi ... Semua teror mengerikan malam ini ... semua ini karena ... Aku?

"Jadi, nak. Matilah demi orang-orang disekitarmu." Akhirnya orang itu mengayunkan pedangnya dan menebas dadaku.

Kaki ku terhuyung saat tebasan itu mengenai tubuhku, dan pada akhirnya aku terjatuh ke deras arusnya sungai malam itu.

"Dia terjatuh. Yah, dia pasti sudah mati, bukan? Pekerjaan kita sudah selesai. Ayo kembali," ucap orang itu dan berjalan membelakangi tepi jurang itu.

Di tengah jalan ia kembali melihat tubuh anak yang ia serang tadi masih tergeletak di atas tanah.

"Sayang sekali ...." Ia terlihat kecewa. Namun, di detik selanjutnya ia terdiam ketika menemukan sebuah harapan.

Menarik!

...★----------------★...

Aku tenggelam di dasar sungai yang dingin. Jantungku terasa di tusuk ribuan jarum. Luka akibat tebasan pedang itu juga terasa begitu perih.

Apa dengan menutup mata ... Semua mimpi buruk ini akan berakhir ...? Ibu ... Paman Glen ... Paman George ... Maafkan aku.

Ralf ... Maafkan aku.

To Be Continued

1
Tachibana Daisuke
Terus menulis, jangan kapok ya thor!
Rahael: makasih semangatnya🤗
total 1 replies
khun :3
Ceritanya bikin penasaran thor, lanjutkan!
Rahael: tunggu kelanjutannya ya🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!