Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Masa lalu yang menyakitkan
Alina bergegas turun dari taksi setelah mengantar Aeris, tumit sepatunya beradu cepat dengan aspal saat ia sedikit berlari menuju gedung tinggi yang menjulang di hadapannya.
Napasnya naik-turun. Ia berhenti sejenak di depan pintu ruangannya, mencoba menetralkan degup jantung dan pernapasannya sebelum menekan kenop pintu.
“Apa seperti ini karyawan yang kompeten dan disiplin?”
Suara berat itu membuat Alina menoleh cepat. Tepat di hadapannya, berdiri seorang pria tinggi dengan wajah datar dan sorot mata dingin—Revan.
Alina mendengus pelan, sinis.
“Tapi saya sudah izin dengan... dengan Pak Anton, saya ada urusan —” ujar Alina.
“Sejak kapan lo kerja di sini?” potong Revan sembari mendekat, tatapannya menusuk. Gaya bicaranya pun sudah berubah.
“Gue nggak wajib jawab. Itu privasi gue,” balas Alina ketus.
Revan terkekeh sinis. “Udah bagus lo jauh-jauh dari gue"
Alina menyilangkan tangan di depan dada. “Sorry. Gue udah lama kerja disini. Dan kalau gue tahu lo bakal jadi direktur di sini, nggak bakal gue kerja di tempat ini. Mending gue kerja serabutan daripada harus satu gedung sama lo.” Suaranya tegas, matanya tak gentar menatap balik Revan.
“Udah jatuh miskin, ya?” sindir Revan.
“Dengar-dengar rumah lo juga dijual buat bayarin utang bokap lo.”
“Emangnya kenapa?” balas Alina tajam. “Yang penting kami bayar pakai uang sendiri. Nggak nyusahin orang lain.”
Ia hendak berbalik pergi, namun Revan dengan cepat menahan lengannya. “Gue belum selesai ngomong,” ucap Revan.
“Maaf, gue punya banyak kerjaan. Nggak ada waktu buat dengar ocehan lo,” balas Alina mencoba melepaskan diri.
Revan kembali mendekatkan wajahnya, kini jarak di antara mereka hanya beberapa jengkal. “Biar gue kasih tahu. Gue mau nikah sama Devi. Tapi nyokap gue ngelarang sebelum gue beresin semua urusan gue... sama lo.”
Alina menyentak tangan Revan dengan kasar. Tatapannya membara. “Masalah kita udah selesai lama! Lo mau nikah, silakan. Lo mau nikah sepuluh kali juga, itu urusan lo. Nggak ada sangkut pautnya sama gue!”
“Gue mau tahu anak siapa Aeris!?” bentak Revan.
Alina menghela napas berat. “Kenapa lo pengin tahu banget?”
“Karena gue mau mastiin, anak itu anak gue atau bukan! Kalau bukan, jalan gue buat nikahin Devi bakal mulus, dan orang tua gue nggak perlu repot-repot nyuruh gue tanggung jawab!”
Alina menatapnya dingin. “Bukan anak lo,” jawabnya datar.
Revan menyipitkan mata. “Terus anak siapa? Apa dia anak Leon!?”
“Ya!” jawab Alina cepat.
Revan terkekeh sinis sambil mengangguk-angguk. “Murahan juga lo ternyata. Bikin anak tanpa status pernikahan.”
“Ngaca, Revan! Kayak lo suci aja!” balas Alina tajam.
“Gue nggak pernah ngelakuin itu sama Devi!”
Alina terkekeh pahit. “Bullshit,” katanya, lalu tanpa menunggu respons lagi, ia membanting pintu ruangannya dengan keras.
Di luar, Revan mengusap wajahnya kasar, napasnya memburu. “... Dia tidur sama gue hari itu... tapi bisa jadi setelah itu dia juga tidur sama Leon juga...” Revan mengacak rambutnya frustrasi. “Sial! Bikin kepala gue sakit aja!”
Sementara itu, di dalam ruangan—Alina berdiri mematung. Bahunya bergetar menahan isak. Air mata menetes perlahan di pipinya. Ia menggigit bibir, menahan tangis yang sejak tadi menekan dadanya.
"Maaf, Aeris..." bisiknya pelan.
Ia ingin berteriak di depan wajah Revan bahwa Aeris adalah darah dagingnya. Bahwa hanya Revan satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya. Tapi, Revan sendiri yang bilang ingin menikahi Devi. Alina tidak ingin menjadi penghalang.
Sama seperti dulu, ia memilih menjauh. “Sampai kapan pun… Aeris cuma milikku. Dan hanya aku… satu-satunya ibunya.”
Alina terisak pelan saat kenangan sebelum meninggalkan kota ini kembali menyeruak.
FLASHBACK ON
“Rumah kita sudah dijual, terus kita bakal tinggal di mana?” tanya Alina seraya mengusap keningnya yang berkeringat karena lelah mengangkut barang.
“Kontrakan. Nggak apa-apa kan, Sayang?” jawab Kamelia.
Alina mengembuskan napas kasar. “Ck. Harusnya Mama minta bantuan saja ke Om Gabi. Nggak kayak gini kan jadinya,” protesnya cemberut.
“Kita sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi sama mereka. Ngapain juga minta bantuan ke sana. Lagipula, kalaupun mereka masih punya hati, pasti sudah datang ke sini,” lanjut Kamelia.
Alina akhirnya hanya bisa diam. Mereka tinggal di kontrakan kecil di pinggiran kota. Selama itu, Alina sering menyelinap keluar untuk melihat Revan dari kejauhan.
“Baik-baik saja tuh cowok... di sini malah gue yang menderita buat lupain dia,” gumam Alina saat melihat Revan tertawa bersama Devi di sebuah restoran. Hatinya mencelos. Sudah satu bulan sejak ia resmi bercerai dari Revan.
Hingga suatu hari, ia menyadari sesuatu. “Sudah telat tiga bulan…” gumamnya gelisah.
Ia membeli tiga test pack. Setelah mencoba, jarinya bergetar melihat hasilnya. Dua garis. Positif. Ia mengandung anak Revan.
“Mama!!” teriaknya keras.
“Kenapa teriak-teriak!?” tanya Kamelia.
“Ma… I’m pregnant! Aku hamil!”
“Anak siapa!?” Kamelia terkejut.
Alina berdecak kesal. “Mama pikir lah sendiri!”
Kamelia terdiam sejenak. “Anak Revan?”
Alina mengangguk. Ia bercerita bahwa ia pernah menjebak Revan dengan obat karena tidak ingin bercerai saat itu.
“Aku ingin beritahu dia, Ma. Biar Revan balik lagi sama aku,” kata Alina yakin.
Kamelia menggeleng pelan. “Mama nggak yakin. Tapi ya sudah, ayo kita cari dia.”
•••••
Mereka pergi ke rumah Revan, namun satpam bilang Revan sedang di vila. Alina dan Kamelia pun segera menuju ke sana.
Di vila, pemandangan menyakitkan menyambut mereka di tepi kolam renang. Terlihat Revan yang baru selesai berenang sedang bersama Devi.
"Aku... sangat mencintaimu. Aku nggak biarin kita berpisah, apapun yang terjadi," bisik Revan mesra sebelum mencium Devi dengan dalam.
"Kurang ajar!!" Kamelia hendak melabrak, tapi Alina segera menahan lengan mamanya.
"Nggak usah ganggu mereka, Ma," kata Alina dengan suara bergetar. "Terserah mereka mau ngapain. Revan sudah bukan siapa-siapa aku lagi."
"Tapi bagaimana dengan bayimu!?" tanya Kamelia penuh penekanan.
Alina menatap lurus ke depan, menahan air mata. "Kalau Revan bahagia sama Devi, aku bisa apa? Kita pergi saja, Ma."
"Tapi—"
"Ma, nggak ada gunanya. Dia sudah terlalu cinta sama Devi. Mana mungkin dia mau balik cuma karena seorang anak."
Mereka pun berbalik pergi. Di dalam taksi, pertahanan Alina runtuh. Ia melihat pria yang ia cintai memberikan kasih sayang yang seharusnya miliknya kepada wanita lain.
Kamelia menarik Alina ke dalam pelukannya. "Nggak apa-apa, masih ada Mama... Kita rawat anak kamu bareng-bareng. Biar Mama yang kerja, kamu fokus sama kehamilan kamu."
Alina terisak erat dalam pelukan mamanya. Selama ia memiliki mamanya, ia akan bertahan, meskipun dunia—dan Revan—telah berpaling darinya.
FLASHBACK OFF