Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Langkah kaki Raya terasa berat menapaki jalan setapak menuju perkebunan teh yang masih berkabut. Meski wajah cantiknya tampak tenang, sesungguhnya ia sedang berjuang sekuat tenaga menahan getar di sekujur tubuhnya. Dinginnya pagi tak sebanding dengan gejolak di dadanya.
Pikirannya melayang, terseret kembali pada kejadian beberapa saat lalu yang meruntuhkan tembok pertahanannya.
Beberapa saat lalu
Bruk!
Suara tubuh yang menghantam tanah becek itu memecah kesunyian pagi yang dingin.
"Ibu, Om-nya jatuh!" seru Lili yang masih berdiri di balik jendela yang berembun.
Bocah kecil itu bergerak secepat kilat. Ia berlari keluar rumah, menyelinap melewati ibunya yang masih berdiri mematung di ambang pintu seperti sebuah patung tak bernyawa. Lili segera berjongkok di sisi tubuh Leo yang tak berdaya, tangan kecilnya mengguncang bahu pria itu dengan panik.
"Om... Om... Bangun!" panggil Lili, suaranya mulai bergetar. Ia menoleh ke arah pintu dengan mata berkaca-kaca. "Ibu... Om-nya nggak mau bangun!"
Raya menarik napas panjang, mencoba menguatkan hatinya. Ia melangkah mendekati putrinya, mencoba meraih jemari mungil itu. "Lili, ayo bersiap. Nanti kamu terlambat ke sekolah," ucap Raya datar, berusaha membawa Lili masuk.
Namun, Lili tetap mematung. Kakinya seolah terpaku pada tanah yang berlumpur. "Ibu, ayo kita tolong Om-nya dulu. Om sakit, Bu... badannya panas sekali," mohon Lili dengan suara serak.
"Lili... kamu harus pergi ke sekolah," tegas Raya lagi, suaranya mulai meninggi.
"Nggak mau! Lili nggak mau sekolah!" bantah bocah itu, sesuatu yang jarang sekali ia lakukan.
"Lili!"
"Ibu kenapa sih? Kenapa Ibu jahat sama Om Leo? Memangnya Om Leo salah apa?" Tangis Lili pecah. Ia tidak tahu, dan memang belum saatnya tahu, betapa pria ini pernah menghancurkan dunia ibunya hingga berkeping-keping.
Lili menatap ibunya dengan tatapan kecewa. "Padahal dulu Ibu sendiri yang bilang, kita nggak boleh mengabaikan orang lain meskipun hidup kita susah. Tapi kenapa sekarang Ibu begini?"
Kalimat polos itu menghantam ulu hati Raya, jauh lebih menyakitkan daripada perlakuan keji Leo bertahun-tahun lalu.
"Ibu... kalau Om nggak cepat ditolong, nanti Om Leo bisa mati... Lili nggak mau Om Leo mati! Huaaaaa!" Tangis Lili semakin kencang. Ia kembali berjongkok, mencoba sekuat tenaga menggoyangkan tubuh besar Leo yang sudah tampak sepucat mayat.
Raya memejamkan matanya erat, membiarkan dadanya sesak oleh pergulatan antara benci dan kemanusiaan. Ia menarik napas panjang, mencoba membuang sisa-sisa egonya demi mata sembab putrinya.
"Baiklah..." ucap Raya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
Dengan sisa harga diri yang ia kesampingkan, Raya membungkuk. Dengan susah payah, ia membopong tubuh besar Leo, pria yang paling ia benci di dunia ini, masuk ke dalam rumah sederhananya.
Setelah berhasil menyeret raga Leo yang berat melintasi ambang pintu, Raya membaringkannya di atas tikar anyam di tengah ruangan. Suasana rumah yang biasanya hangat kini terasa mencekam bagi Raya. Dengan perasaan campur aduk, antara jijik dan terpaksa, ia mulai membuka kancing pakaian Leo yang basah kuyup dan penuh noda lumpur.
Namun, saat helai kain itu tersingkap, tangan Raya mendadak kaku. Napasnya tertahan di kerongkongan.
Tubuh Leo yang dulu ia kenal sangat bersih dan selalu wangi parfum mahal, kini berubah drastis. Kulitnya tak lagi polos, berbagai guratan tinta warna-warni memenuhi lengannya. Namun, kejutan yang sesungguhnya menghantam saat Raya memiringkan tubuh pria itu untuk melepas sisa pakaian nya.
Di punggung lebar itu, terpampang sebuah tato wajah wanita yang sangat ia kenali. Wajahnya sendiri.
Raya merasa mual. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat hingga terasa perih, berusaha mati-matian menahan gejolak amarah yang membuncah di dadanya. Rasanya ia ingin berteriak, ingin memaki raga yang tak berdaya itu, dan bertanya.
"Berani-beraninya kau mengukir wajahku setelah membuat hiduku seperti di neraka?" Tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin Lili melihat kobaran kebencian di dalam dirinya.
Tepat saat itu, langkah kecil Lili terdengar mendekat dari arah dapur. Bocah itu membawa baskom plastik berisi air hangat dan sehelai handuk kecil.
"Ibu, ini airnya," ucap Lili polos.
Dengan gerakan secepat kilat, Raya menarik selimut tipis untuk menutupi tubuh Leo hingga ke leher. Ia tidak boleh membiarkan Lili melihat tato itu. Ia tidak ingin putri kecilnya bertanya mengapa wajah ibunya ada di punggung seorang asing. Ia belum siap menjelaskan bahwa pria yang terkapar tak berdaya ini adalah akar dari segala luka, dan sekaligus alasan Lili ada di dunia ini.
Raya memaksakan sebuah senyum tipis, meski matanya masih menyiratkan sisa badai.
"Taruh di sini saja, Nak. Biar Ibu yang urus Om Leo," kata Raya, suaranya diusahakan selembut mungkin.
"Lili cepat ganti baju ya, lalu berangkat sekolah. Lihat, matahari sudah mulai tinggi."
Lili mengangguk patuh. Wajah mungilnya kini tampak jauh lebih cerah. Rasa takutnya hilang berganti lega karena ibunya ternyata tidak sejahat yang ia duga tadi. Tanpa banyak tanya lagi, Lili berlari menuju kamarnya untuk bersiap-siap.
* * *
Kini, di tengah kebun teh yang sunyi, Raya hanya bisa menatap tangannya yang tadi sempat menyentuh kulit panas Leo. Ia benci kenyataan bahwa ia masih merasa kasihan, tapi ia lebih benci lagi menyadari bahwa Leo membawa "dirinya" di punggungnya selama ini.