NovelToon NovelToon
Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Satu wanita banyak pria / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Mega Biru

Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.

Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.

Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Pagi masih buta ketika rumah besar keluarga Dorjen mulai hidup. Aroma mentega yak dan teh asin sudah memenuhi udara, Ibu Dorjen pun sudah duduk di bangku kayu panjang— Berselimut syal tebal, wajahnya tenang namun penuh wibawa.

Sonam, Norbu, dan Tenzin berdiri berhadapan dengan ibu mereka. Penampilan mereka sudah rapi, ganteng, dan serius—tanda mereka akan membicarakan sesuatu yang penting.

“Kami harus ke Beijing,” Sonam membuka percakapan dengan suara mantap.

“Beijing?” Ibu Dorjen mengernyit. “Tiba-tiba sekali?”

“Ada pertemuan dengan mitra lama. Kontrak ekspor wol dan keju kita akan diperpanjang,” sahut Tenzin.

Ibu Dorjen mengangguk pelan. “Hanya itu?”

“Tidak,” sahut Norbu. “Ada tawaran kerja sama pabrik pengolahan susu juga. Kalau jadi, hasil susu kita tidak hanya kita sendiri yang olah. Keuntungannya bisa berlipat.”

“Kami juga akan mengurus izin distribusi baru. Tanpa itu, pengiriman ke kota-kota besar akan tersendat,” tambah Tenzin.

Ibu Dorjen terdiam sejenak, tampak menimbang-nimbang. Lalu ia mengangguk lagi. “Pergilah. Jaga nama keluarga.”

Sonam menarik napas kecil. “Kami bawa istri kami juga.”

“Untuk apa?” tanyanya tajam. “Kalian ke sana untuk bekerja. Sepertinya perempuan tidak perlu ikut suami yang sedang sibuk.”

Aku yang berdiri agak di belakang refleks menunduk— Mertuaku ini galak banget, sih.

“Ini bukan hanya perjalanan bisnis, Bu,” jawab Norbu. “Kami anggap ini perjalanan bulan madu juga.”

“Bukannya Ibu ingin cepat punya cucu?” tanya Tenzin.

“Cucu?” Kalimat ibu Dorjen membuat ruangan mendadak hening.

Aku membeku di tempat. Ibu Dorjen memandangi ke tiga putranya lama, lalu pandangannya beralih padaku—meneliti, seolah mencoba membaca masa depan di wajahku.

Akhirnya ibu Dorjen menghela napas panjang. “Pergilah.”

“TERIMA KASIH.”

Sonam tersenyum puas, Norbu tampak lega, Sedangkan Tenzin tiba-tiba menggenggam tanganku tanpa sepengetahuan yang lainnya, karena setengah tubuh kami tertutup meja makan.

**

**

Setelah melalui perjalanan udara, akhirnya aku dan ke tiga suamiku sampai di Beijing, China.

Setengah mampus, aku menyembunyikan rasa takjubku saat menapakkan kaki di negeri yang belum pernah kuinjak ini.

Hoki betul hidupku ini—Gak pernah terpikirkan nasibku akan seperti ini. Boro-boro berpikir untuk bisa jalan-jalan ke luar negeri, mimpiku yang ingin jalan-jalan ke Bali aja gak pernah kesampaian. Tapi sekarang? Dengan mudahnya aku bisa terbang ke negeri orang.

Beijing menyambutku dengan wajah yang sama sekali berbeda dari Tibet. Kota ini terasa padat, banyak gedung tinggi, dan isinya bergerak cepat—seperti gak pernah benar-benar bernapas.

Mobil yang kami tumpangi sedang meluncur masuk ke area hotel yang berdiri menjulang di tengah distrik bisnis, bangunannya modern dengan dinding kaca berkilau yang memantulkan cahaya senja.

Begitu turun dari mobil, udara dingin bercampur aroma aspal dan parfum kota langsung menyergap inderaku. Lobi hotelnya luas dan megah, langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu kristal besar yang menggantung seperti hujan cahaya.

Lantainya marmer mengilap, setiap langkah sepatuku memantulkan bayanganku sendiri—membuatku merasa kecil di tempat semewah ini, namun aku terlihat keren karena dikelilingi tiga suami yang bersikap seperti bodyguardku sendiri.

Aku refleks merapatkan jaket, merasa sedikit canggung setengah bangga. Tenzin berjalan di sampingku, lalu tangannya menyentuh punggungku pelan, gestur kecil yang entah kenapa membuat langkahku lebih ringan.

“Kamu lelah?” tanya Tenzin rendah, hampir tenggelam oleh suara koper yang ditarik tamu lain.

Aku menggeleng. “Sama sekali enggak.”

Norbu menyejajarkan langkah. “Kamu pernah ke sini, Baby?”

Aku menggeleng lagi. “Ini pertama kali.”

“Cepat naik.” Sonam masuk ke dalam lift terlebih dulu, diikuti kami semua.

Lift kaca membawa kami naik perlahan. Dari dalam, aku bisa melihat Beijing terbentang di bawah; gedung-gedung tinggi berbaris rapat, lampu jalan mulai menyala satu per satu, seperti bintang buatan manusia.

“Ini kamar kita,” ujar Sonam saat berdiri di depan kamar hotel.

“Kita satu kamar?” tanyaku.

“Ya iya lah, kita kan suami istri,” jawab Norbu.

“Ayo masuk.” Tenzin membuka pintu kamar, membuatku terdiam.

Kamar hotelnya luas, bernuansa hangat dengan dominasi kayu gelap dan lampu temaram. Jendela besar memenuhi satu sisi dinding, memperlihatkan panorama kota yang sudah berkilauan meskipun suasana masih senja.

Tempat tidurnya lebar, rapi, dengan seprai putih bersih yang terlihat terlalu sempurna untuk kusentuh. Di sudut ruangan, sofa empuk menghadap meja kecil dan jendela—tempat yang rasanya cocok untuk merenung, atau sekadar mengamati kota asing ini.

“Ini buat kita?” tanyaku pelan, masih setengah gak percaya.

Sonam menutup pintu setelah aku melangkah masuk. “Untuk kita semua.” Tiba-tiba Sonam memelukku dari belakang, membuatku tersentak tak nyaman.

“Sonam, jangan begini.” Aku berusaha melepas tangannya yang melingkar di pinggangku.

“Kenapa?” Sonam malah melabuhkan dagunya di pundakku.

“Kamu gak malu? Tenzin sama Norbu ngelihatin kita,” sahutku gak nyaman, berusaha melepas dekapan Sonam lagi, tapi dekapannya malah semakin erat.

“Kenapa harus malu? Tenzin dan Norbu juga suamimu, kan?” sahut Sonam.

“Benar, tidak usah malu-malu. Biasa saja,” tambah Norbu.

Mataku berpindah menatap Tenzin untuk melihat reaksinya. Tetapi, dia hanya diam, bahkan mengalihkan pandangan ke kaca jendela.

Tenzin cemburu gak, sih?

“Apa datang bulanmu sudah selesai?” bisik Sonam di telingaku, tentunya di hadapan Tenzin dan Norbu.

“Sudah,” jawab Tenzin.

“BENARKAH?” Sonam dan Norbu terkejut kompak.

“Sudah selesai kan, Sweety?” Tenzin menatapku, menunggu jawaban.

Hening—Aku membisu karena bingung sekaligus takut harus menjawab kenyataan.

“Benar sudah selesai?” tanya Sonam yang masih memelukku dari belakang.

“Kamu tau dari mana?” Norbu bertanya pada Tenzin.

“Kemarin aku lihat istri kita buang sampah pembalut. Istri kita sendiri yang bilang datang bulannya sudah selesai.”

Jawaban Tenzin membuatku melongo. Sumpah— Aku gak pernah bilang gitu, kan?

“Waw! Serius?”

Norbu tampak senang, sedangkan Tenzin menjawab dengan anggukan.

“Akhirnya bulan madu kita akan terealisasi.” Sonam memelukku semakin erat, lanjut mencium pipiku tanpa permisi. “Malam ini giliranku, kan?” bisiknya di hadapan ke dua adiknya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!