Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Sabtu pagi di rumah pasangan Zayden seharusnya menjadi waktu yang tenang untuk bersantai. Bayangan Keira tentang hari Sabtu ideal adalah bangun siang lalu maskeran sambil nonton drama Korea seharian. Namun harapan itu musnah seketika saat dia masuk ke ruang laundry.
Teriakan melengking Keira kembali mengguncang pondasi rumah mewah itu. Kali ini levelnya lebih tinggi dari teriakan kehilangan sepatu kemarin.
"ARKAN ZAYDEN! SINI LO! CEPETAN!"
Arkan yang sedang asyik menyiram tanaman di taman depan sambil bernyanyi lagu dangdut langsung tersedak air dari selang. Dia mematikan keran air dan berlari tergopoh-gopoh ke dalam rumah. Pikirannya sudah traveling ke mana-mana. Apa ada maling? Apa ada kecoa terbang? Atau jangan-jangan Keira kepleset sabun?
Arkan mendobrak pintu ruang cuci dengan gaya heroik.
"Ada apa Ra? Kebakaran? Gempa bumi?" tanya Arkan panik.
Keira berdiri mematung di depan mesin cuci. Tangannya memegang sehelai kemeja kerja berbahan sutra miliknya. Kemeja itu dulunya berwarna putih bersih nan elegan. Sekarang warnanya berubah menjadi merah muda mencolok dengan bercak-bercak merah tua yang abstrak.
Keira menoleh perlahan. Matanya menyala merah, senada dengan bercak di bajunya.
"Ini apa Arkan? Tolong jelaskan pakai logika manusia sebelum gue jadiin lo tumbal proyek," desis Keira menyeramkan.
Arkan menelan ludah. Dia mengenali kemeja itu.
"Oh itu. Bagus kan warnanya? Jadi lebih girly gitu. Kemarin gue inisiatif nyuciin baju lo sekalian sama kaos bola gue yang warna merah. Gue pikir bakal aman. Ternyata luntur dikit," jawab Arkan dengan senyum tanpa dosa yang dipaksakan.
"Luntur dikit mata lo soek! Ini hancur total Arkan! Ini kemeja mahal! Gue beli pake gaji pertama gue! Dan lo cuci bareng kaos bola lo yang dekil itu?" Keira maju selangkah demi selangkah. Aura membunuhnya semakin pekat.
Arkan mundur teratur sampai punggungnya menabrak mesin pengering.
"Tenang Ra. Jangan emosi dulu. Itu namanya seni tie dye. Lagi ngetren tau di kalangan anak muda. Lo pake itu ke kantor pasti dikira abis dari Paris Fashion Week," elak Arkan berusaha membela diri.
"Seni gundulmu! Gue nggak mau tau! Gantiin! Sekarang!"
Keira melempar kemeja basah itu tepat ke wajah Arkan. Plak. Suaranya terdengar nyaring dan basah.
Arkan mengambil kemeja itu dari wajahnya. Baunya wangi deterjen tapi nasibnya memang tragis.
"Iya iya gue ganti. Nanti sore kita ke mall. Gue beliin sepuluh kemeja putih buat lo. Merk apa aja terserah. Sama pabriknya sekalian kalau perlu," janji Arkan cepat sebelum nyawanya melayang.
Keira mendengus kasar. Napasnya masih memburu. "Awas ya kalau bohong. Gue botakin rambut lo pas tidur."
Keira melangkah keluar dari ruang cuci sambil menghentakkan kaki. Arkan mengelus dadanya lega. Hampir saja dia jadi duda di minggu pertama pernikahan. Niat hati ingin jadi suami rajin yang membantu pekerjaan rumah tangga tapi malah berakhir bencana.
Ternyata mencuci baju tidak semudah mencuci mobil.
Sesuai janji Arkan sore harinya mereka pergi ke sebuah pusat perbelanjaan besar di Jakarta Pusat. Namun ada yang aneh dengan tingkah Arkan hari ini. Sejak keluar dari rumah mata Arkan terus bergerak gelisah melihat spion tengah dan spion samping.
"Lo kenapa sih? Sakit leher? Dari tadi nengok kanan kiri mulu kayak kipas angin," tanya Keira heran.
Arkan langsung menyetir dengan fokus ke depan. "Nggak apa-apa. Gue cuma waspada. Jakarta kan rawan begal. Apalagi gue bawa bidadari di sebelah gue. Takut diculik," gombal Arkan garing.
Padahal sebenarnya Arkan sedang memastikan tidak ada mobil sedan hitam yang mengikuti mereka. Sejak dia melihat Clara di depan kantor Keira kemarin insting waspadanya meningkat tajam. Dia tidak mau mengambil risiko.
Sesampainya di mall Arkan menepati janjinya. Dia membiarkan Keira memborong kemeja kerja di butik langganannya. Arkan yang membayar semuanya tanpa protes sedikit pun. Bahkan dia yang membawakan semua tas belanjaan Keira seperti asisten pribadi yang setia.
"Udah puas Nyonya? Masih ada yang mau dibeli? Toko berlian mungkin? Atau mau beli eskalatornya sekalian?" sindir Arkan saat melihat tangan Keira sudah penuh dengan paper bag.
Keira tersenyum lebar. Marahnya soal baju luntur sudah hilang tak berbekas. Wanita memang makhluk sederhana. Dikasih belanja langsung jinak.
"Udah kok. Gue bukan cewek matre yang mau morotin harta lo. Ini kan ganti rugi," kata Keira.
"Ya udah yuk makan. Gue laper. Gue pengen makan yang pedes-pedes biar semangat hidup gue balik lagi abis liat tagihan kartu kredit," ajak Arkan.
Mereka memutuskan makan di sebuah restoran Sate Taichan yang sedang hits di lantai dasar. Sate ayam yang dibakar putih lalu disajikan dengan sambal rawit super pedas dan perasan jeruk nipis.
Mereka duduk berhadapan. Di meja sudah tersaji lima puluh tusuk sate taichan dan dua piring lontong. Asap sate mengepul membawa aroma gurih yang menggoda.
"Berani tantangan nggak?" tanya Arkan sambil menuangkan sambal yang banyak ke piringnya.
"Tantangan apa?" Keira menaikkan alis.
"Lomba makan pedes. Siapa yang minum duluan dia kalah. Yang kalah harus mijitin yang menang nanti malem selama satu jam. Full service," tantang Arkan percaya diri.
Keira tertawa meremehkan. Arkan tidak tahu kalau Keira adalah ratu pedas. Lidahnya sudah kebal dengan cabai setan level maksimal.
"Oke. Deal. Siapin jari lo buat mijit gue nanti," Keira menuangkan sambal lebih banyak dari Arkan. Warnanya merah menyala mengerikan.
Mereka mulai makan. Arkan menyuapkan tusuk pertama. Matanya langsung melotot. Pedas. Sangat pedas. Rasanya seperti ada kembang api meledak di mulutnya. Tapi demi gengsi laki-laki dia menahannya.
Keira makan dengan santai. Dia menikmati setiap gigitan. Wajahnya tetap tenang seolah sedang makan permen.
Lima menit berlalu. Wajah Arkan sudah merah padam seperti kepiting rebus. Keringat sebesar biji jagung bercucuran di pelipisnya. Bibirnya dower dan bengkak. Tangannya gemetar ingin meraih gelas es teh manis yang berembun di depannya.
Keira masih santai. Dia baru menghabiskan setengah gelas sambal.
"Lo... huh... hah... nggak pedes Ra?" tanya Arkan dengan napas terengah-engah.
"Nggak tuh. Ini mah manis. Kurang nendang," jawab Keira sambil mengunyah lontong.
Pertahanan Arkan runtuh. Perutnya mulai melilit. Mulutnya terasa terbakar. Persetan dengan harga diri. Dia menyambar gelas es teh manisnya dan meneguknya sampai habis dalam sekali napas.
"AAAAHHH! PEDES BANGET GILA!" teriak Arkan akhirnya sambil mengipas-ngipas lidahnya.
Keira tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. "Hahaha! Lemah! Baru segitu doang udah nyerah. Siap-siap ya nanti malem pijitin gue. Pundak gue pegel banget nih bawa belanjaan tadi."
Arkan cemberut sambil mengelap keringatnya dengan tisu. Wajahnya yang memelas membuat Keira merasa gemas. Tanpa sadar Keira mengambil tisu bersih dan menyeka keringat di dahi Arkan.
"Makanya jangan sok jagoan. Udah tau nggak kuat pedes masih aja nantangin," omel Keira lembut.
Arkan terdiam merasakan sentuhan tangan Keira di dahinya. Jantungnya berdesir lagi. Dia menatap mata Keira yang sedang fokus membersihkan keringatnya. Ada rasa hangat yang menjalar di dada Arkan mengalahkan rasa panas sambal di mulutnya.
"Ra," panggil Arkan pelan.
"Apa?"
"Makasih ya," ucap Arkan tulus.
Keira menarik tangannya canggung. "Makasih buat apa? Buat bersihin keringat lo yang banjir ini?"
"Buat mau nikah sama gue. Walaupun gue nyebelin," lanjut Arkan serius.
Keira tertegun. Kenapa suasananya jadi melankolis begini. Dia tidak biasa menghadapi Arkan mode serius.
"Lo kesambet setan cabe ya? Ngomongnya ngelantur. Udah ah abisin satenya. Sayang kalau dibuang," Keira mengalihkan pembicaraan sambil memalingkan wajahnya yang memanas.
Arkan tersenyum tipis. Dia membiarkan Keira salah tingkah. Ternyata menggoda istrinya itu memang candu.
Malam harinya mereka sampai di rumah sekitar pukul sembilan malam. Arkan memarkirkan mobilnya di garasi. Saat mereka berjalan menuju pintu depan langkah Arkan terhenti.
Di depan pintu utama tergeletak sebuah kotak kardus kecil berwarna hitam. Tidak ada nama pengirimnya. Hanya ada pita merah yang terikat rapi.
Perasaan Arkan langsung tidak enak.
"Eh ada paket. Lo belanja online lagi Ra?" tanya Arkan berusaha terdengar santai tapi matanya waspada.
Keira menggeleng. "Nggak kok. Tadi kan udah belanja di mall. Mungkin hadiah susulan dari temen lo kali."
Keira hendak membungkuk untuk mengambil paket itu tapi Arkan menahannya dengan cepat.
"Biar gue aja yang buka. Lo masuk duluan gih. Bukain pintu. Gue kebelet pipis nih," kata Arkan beralasan. Dia tidak mau Keira melihat isi paket itu kalau ternyata isinya sesuatu yang buruk.
"Ih manja banget. Ya udah sini kuncinya," Keira mengambil kunci dari tangan Arkan dan membuka pintu. Dia masuk ke dalam rumah.
Setelah memastikan Keira masuk Arkan buru-buru mengambil kotak hitam itu. Dia membawanya ke tong sampah di samping garasi. Dengan tangan gemetar dia membuka pita merah itu.
Di dalamnya ada sebuah benda kecil. Sebuah sepatu bayi rajut berwarna biru. Hanya sebelah. Dan di bawahnya ada secarik kertas dengan tulisan tangan yang sangat Arkan kenal.
Untuk langkah kecil kita di masa depan. Aku tidak akan membiarkan wanita lain mengambil tempatku dan anak kita. - Clara
Dunia Arkan serasa runtuh. Napasnya tercekat. Clara benar-benar serius dengan klaim kehamilannya. Sepatu bayi ini adalah pesan teror yang nyata. Dia ingin memberitahu Arkan bahwa dia mengawasi mereka. Bahwa dia bisa menjangkau rumah mereka kapan saja.
Arkan meremas kertas itu hingga hancur. Rahangnya mengeras menahan amarah. Dia merasa bodoh. Bagaimana dia bisa sebodoh ini dulu berhubungan dengan wanita seobsesif Clara.
"Arkan! Ngapain di luar lama banget? Katanya kebelet pipis?" suara Keira terdengar dari ambang pintu.
Arkan tersentak. Dia buru-buru memasukkan sepatu bayi dan kertas itu ke saku celananya lalu menutup kotak kardus kosong itu dan membuangnya ke tong sampah.
Dia menarik napas panjang mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat normal. Senyum palsu kembali dia pasang.
"Iya ini baru kelar buang sampah paketnya. Isinya sampah doang ternyata. Orang iseng," dusta Arkan sambil berjalan menghampiri Keira.
"Sampah? Kurang kerjaan banget ngirim sampah dipitain," komentar Keira heran.
Arkan merangkul bahu Keira dan menggiringnya masuk. Dia memeluk bahu istrinya lebih erat dari biasanya. Seolah takut Keira akan hilang jika dia melepaskannya.
"Dunia emang banyak orang gila Ra. Makanya lo harus deket-deket gue terus biar aman," kata Arkan.
Mereka duduk di sofa ruang tengah. Arkan menyalakan TV tapi pikirannya tidak di sana. Dia harus bertindak cepat. Dia harus memindahkan Keira ke tempat yang lebih aman atau menyewa pengawal pribadi tanpa sepengetahuan Keira.
"Arkan. Tangan lo dingin banget. Lo sakit?" tanya Keira khawatir. Dia memegang tangan Arkan yang berkeringat dingin.
Arkan menoleh menatap wajah Keira yang polos. Dia tidak tega memberitahu kebenaran yang mengerikan ini. Dia tidak mau melihat wajah Keira terluka atau ketakutan. Biarlah dia menanggung beban ini sendirian untuk saat ini.
"Gue nggak apa-apa. Cuma efek sambal tadi kayaknya. Perut gue mulai bergejolak," Arkan beralasan lagi.
"Tuh kan gue bilang juga apa. Lo sih bandel. Sini gue buatin teh anget campur madu. Biar enakan," Keira berdiri hendak ke dapur.
Arkan menahan tangan Keira. "Nggak usah Ra. Di sini aja. Temenin gue."
Arkan menarik tangan Keira hingga gadis itu jatuh duduk kembali di sebelahnya. Arkan menyandarkan kepalanya di bahu Keira. Dia memejamkan mata mencari ketenangan.
"Lo kenapa sih manja banget malem ini? Kesambet setan sate taichan?" omel Keira tapi dia tidak menyingkirkan kepala Arkan. Tangan Keira justru bergerak kaku mengusap rambut Arkan.
"Diem bentar Ra. Gue capek. Biarin gue ngecas energi di bahu lo yang sempit ini," gumam Arkan.
Keira mendengus tapi membiarkannya. "Sempit juga lo nyender. Dasar aneh."
Malam itu Arkan berjanji dalam hati. Dia tidak akan membiarkan Clara menyentuh seujung kuku pun dari Keira. Jika Clara ingin bermain api Arkan akan menjadi pemadam kebakarannya. Atau jika perlu dia akan menjadi api yang lebih besar untuk membakar habis semua ancaman itu.
Tapi Arkan lupa satu hal. Rahasia yang disimpan rapat pun suatu saat pasti akan tercium baunya. Dan ketika Keira tahu tentang kebenaran ini ledakannya akan jauh lebih dahsyat daripada sekadar baju luntur atau sambal pedas.
Keira menatap layar TV yang menayangkan berita malam. Namun hatinya bertanya-tanya. Kenapa Arkan terlihat begitu ketakutan tadi saat membuka paket itu? Apa yang sebenarnya disembunyikan suaminya? Instingnya sebagai seorang istri mulai menyala sinyal bahaya.