Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.
Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!
Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!
Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 — Rahasia yang Mulai Retak
Pagi itu udara sekolah terasa berbeda. Entah karena festival musik semalam yang sukses besar, atau karena bisik-bisik kecil yang mulai beredar di lorong sekolah.
“Eh, katanya Pak Yudhistira keliatan nungguin Yunita habis pentas, loh.”
“Masa? Lah, ngapain guru killer itu deket-deket Yunita?”
“Gak tau. Mungkin ada hubungan spesial kali~”
Gosip itu menyebar seperti api di padang rumput. Bahkan sebelum jam pelajaran pertama dimulai, hampir semua siswa kelas dua sudah tahu versi mereka sendiri dari cerita itu.
Sementara itu, di meja paling depan, Yunita hanya bisa menunduk dengan wajah panik.
Ia berusaha fokus pada buku catatan, tapi kalimat di dalamnya seolah menari-nari mengejek "hubungan spesial… hubungan spesial…"
“Gawat banget nih,” bisik yunita pada Rara di sebelahnya.
“Lo kenapa sih? Mukanya kayak orang ketahuan nyolong cokelat di minimarket.”ujar Rara
“Rara, ini serius! Kalau gosipnya makin nyebar, gimana coba?” resah Yunita
“Ya dibilang aja gak bener.” ujar Rara
“Masalahnya… sedikit bener.” jawab Yunita
Rara nyaris terbatuk.“S…sedikit?! Yunita, jangan bilang—”
“Sstt! Jangan ngomong keras-keras!” Yunita buru-buru menutup mulut sahabatnya. “Nanti kedengeran Pak Yudhistira!”
Dan seolah semesta mendengar, pintu kelas terbuka.
“Selamat pagi.” Suara bariton khas itu membuat seluruh ruangan langsung sunyi.
Semua murid menegakkan punggung, jantung mereka serempak berhenti berdetak.
Guru killer mereka datang Pak Yudhistira.
Yunita menelan ludah. Tatapan mata suaminya menelusuri seisi kelas, lalu berhenti padanya hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat pipi Yunita memanas.
“Bukunya dibuka halaman 42,” ucap Yudhistira tenang.
Dan pelajaran pun dimulai.
Namun kali ini, suasana aneh terasa di udara.
Setiap kali Yunita menjawab pertanyaan, teman-temannya saling pandang dengan ekspresi penuh curiga.
Setiap kali Yudhistira lewat di dekat mejanya, ada bisik-bisik kecil:
“Tuh liat, liat! Didekati!”
“Dia senyum loh! Guru killer bisa senyum!”
Yunita nyaris mau pingsan di tempat.
Ketika bel istirahat berbunyi, ia langsung berlari ke taman belakang sekolah, mencari udara segar.
Baru saja ia duduk di bangku taman, seseorang datang membawa dua kaleng minuman dingin.
“Kayaknya lo butuh ini,” suara itu familiar
Reza.
Yunita menatapnya kaget. “Reza? Kamu ngapain di sini?”
“Nemu kamu kabur dari kelas, ya aku ikutan. Lagian, kayaknya kamu butuh teman ngobrol.”
Yunita menghela napas. “Iya, sedikit pusing aja. Gosip di sekolah makin parah.”
Reza duduk di sampingnya, menatap Yunita lama. “Tentang lo dan Pak Yudhistira, ya?”
aku
Yunita terlonjak. “Kamu tahu juga?!”
“Yunita, satu sekolah tahu.”
Ia tertawa pelan, tapi matanya tidak bercanda.
“Cuma… aku gak percaya sih. Lo kan dulu hampir—”
Reza berhenti, menatap tanah.
“Ah, lupakan.”
Yunita menatapnya dengan rasa bersalah. “Reza, aku… aku gak mau kamu salah paham.”
“Gak apa. Gue cuma heran aja, guru itu keliatan… peduli banget sama lo.”
Hati Yunita mencelos. Ia tidak bisa menyangkal iya, Yudhistira memang peduli, meskipun dengan caranya yang dingin dan tenang.
Tapi sebelum ia sempat menjawab, suara berat terdengar dari belakang mereka.
“Reza.”
Mereka berdua menoleh.
Yudhistira berdiri di sana dengan ekspresi datar, tapi matanya tajam seperti pisau.
“Kalian seharusnya di kantin, bukan di area taman belakang.”
“Maaf, Pak,” jawab Reza cepat. “Kami cuma—”
“Saya tidak tanya alasan. Silakan kembali ke kelas.”
Reza menatap Yunita sebentar, lalu berdiri. “Baik, Pak.”
Setelah Reza pergi, hanya tersisa mereka berdua. Suasana mendadak terasa menekan.
“Bapak marah?” tanya Yunita pelan.
“Aku guru di sekolah ini, Yunita. Tidak seharusnya muridku terlihat terlalu… dekat dengan murid laki-laki lain, apalagi di tempat sepi.”
“Tapi Reza cuma teman!”
“Teman tidak menatapmu seperti itu.”
Yunita menatap Yudhistira tak percaya. “Pak Yudhistira, jangan bilang Bapak cemburu lagi!”
“Aku tidak cemburu.”
“Tapi mukanya tuh, Pak, kayak mau gigit seseorang.”
Yudhistira mendesah, lalu berkata lirih, “Aku hanya tidak mau orang salah paham. Kalau mereka tahu yang sebenarnya…”
Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Tapi Yunita tahu, maksudnya pernikahan mereka.
Yunita menunduk. “Aku juga takut, Pak.”
“Maka dari itu, hati-hati.”
“Tapi kalau aku harus terus jaga jarak sama semua orang, nanti aku dikira sombong.”
“Biarkan mereka kira begitu. Lebih baik disalahpahami daripada rahasiamu terbongkar.”
Ada diam panjang di antara mereka.
Sampai Yunita akhirnya berkata pelan, “Bapak tuh… aneh. Dingin banget di sekolah, tapi di rumah suka nyuapin aku roti.”
Yudhistira menatapnya lama, lalu berkata pelan tanpa sadar, “Kalau aku nyuapin kamu di sekolah, apa kamu masih mau?”
Mata Yunita melebar.“Pak! Mau bikin gosip makin heboh, ya?! Astaga, aku bisa drop out nanti!”
Dan untuk pertama kalinya hari itu, senyum tipis muncul di wajah Yudhistira.
-----
Malam di Rumah
Rumah kecil mereka terasa tenang malam itu.
Tapi Yunita masih gelisah. Ia bolak-balik di ruang tamu, memikirkan gosip yang beredar.
“Pak, kalau gosip itu sampai ke telinga kepala sekolah gimana?”
“Sudah aku urus. Kepala sekolah tahu aku tidak main-main dengan profesionalitas.”
“Tapi kalau ada yang foto kita bareng di luar?”
“Kita hati-hati.”
Yunita mendengus. “Bapak tuh kayak agen rahasia aja.”
“Lebih baik begitu daripada pernikahan kita jadi topik trending di grup WhatsApp wali murid.”
“HAHA, iya juga.”
Mereka tertawa kecil.
Namun tawa itu tak berlangsung lama.
Ponsel Yunita bergetar pesan dari Reza.
Reza: “Aku cuma mau bilang, lagu itu memang buat kamu. Aku nggak bisa bohong lagi.”
Yunita menatap layar lama, bingung harus membalas apa. Tapi belum sempat mengetik, suara Yudhistira terdengar dari belakang.
“Dari siapa?”
Refleks, Yunita menutup ponselnya. “Nggak, cuma temen!”
“Reza?”
Yunita menelan ludah. “Eh… iya.”
Yudhistira tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil gelas, minum perlahan, lalu menatap Yunita dalam diam.
Tatapan yang tidak marah, tapi cukup untuk membuat jantung Yunita berdetak cepat.
“Aku nggak bisa ngatur siapa yang menyukaimu, Yunita. Tapi aku bisa pastikan satu hal.”
“Apa?”
“Selama kamu masih jadi istriku, aku tidak akan membiarkan siapa pun memperlakukanmu seolah kamu milik mereka.”
Yunita terdiam. Pipinya memanas, tapi matanya juga sedikit berkaca.
“Pak… kenapa sih ngomongnya selalu bikin hati deg-degan.”
“Karena kamu belum terbiasa dicintai dengan tenang.”
Dan saat itu, Yunita benar-benar kehabisan kata.
Ia hanya bisa menatap pria itu lama, sambil berkata pelan,
“Bapak tuh… terlalu tenang buat aku yang barbar.”
“Berarti kita saling melengkapi.”
Malam itu, keheningan di ruang tamu diisi hanya oleh detak jantung dua orang yang mulai memahami bahwa cinta yang mereka jalani mungkin aneh, tapi nyata.
---
Keesokan Harinya
Pagi yang tenang berubah jadi kekacauan total.
Yunita baru saja sampai di gerbang sekolah ketika Rara berlari panik menghampirinya.
“YUN! ADA YANG PARAH!”
“Hah? Apaan?”
“Ada yang posting foto kamu di forum sekolah! Kamu lagi jalan bareng Pak Yudhistira semalam!”
Yunita langsung pucat. “APA?!”
“Dan caption-nya bilang, Guru dan murid pacaran diam-diam?”
Dunia seolah berhenti.
Yunita hampir menjatuhkan tasnya, tangannya gemetar. “Ya Tuhan… gimana ini?”
Belum sempat ia berpikir, seseorang menepuk bahunya dari belakang.
Suara itu tenang tapi tegas.
“Kamu ikut aku ke ruang guru sekarang.”
Yunita menoleh Yudhistira berdiri di sana, dengan wajah dingin tapi matanya jelas menyimpan badai.
Ia berjalan cepat, diikuti Yunita yang gugup setengah mati. Begitu pintu ruang guru tertutup, Yunita langsung bicara cepat:
“Pak, aku sumpah nggak tahu siapa yang—”
“Tenang.”
“Tapi, Pak! Kalau kepala sekolah lihat—”
“Aku sudah tahu siapa yang ambil foto itu.”
Yunita menatapnya kaget. “Bapak tahu?”
“Kamera pengawas sekolah menangkapnya. Seseorang dari kelas lain dan aku sudah bicara pada pihak sekolah untuk menanganinya.”
“Tapi gosipnya udah nyebar, Pak…”
“Biar aku yang urus.”
Untuk pertama kalinya, Yunita melihat Yudhistira benar-benar marah.
Namun bukan padanya tapi pada keadaan.
“Aku tidak akan biarkan siapa pun menjatuhkan nama baikmu, Yunita.”
Kata-kata itu membuat Yunita terdiam.
Ia menatap pria itu lama, lalu tersenyum kecil, walau air mata menggantung di ujung matanya.
“Pak…”
“Hm?”
“Bapak tahu nggak, gara-gara Bapak aku jadi takut sekaligus tenang.”
“Kenapa begitu?”
“Soalnya aku tahu, kalau ada Bapak, semua hal gila di hidupku entah kenapa selalu bisa kelihatan sederhana.”
Yudhistira menatapnya lama.
“Kalau begitu, jangan takut lagi. Ini baru awal dari perjalanan kita.”
Dan tanpa mereka sadari, dari luar jendela ruang guru seseorang sedang memotret mereka diam-diam.
Reza.
Tatapannya dingin, wajahnya menegang.
“Jadi ini alasannya, Yunita…” gumamnya lirih.
Ia menatap layar ponselnya, memperbesar gambar itu Yunita dan Yudhistira berdiri berdekatan di ruang guru.
“Kamu nggak cuma dekat… kamu milik dia.”Reza mengepalkan tangan, sementara dari dalam ruangan, Yudhistira menatap ke arah jendela, seolah merasakan sesuatu yang tidak beres.
Mata mereka nyaris bertemu dua lelaki, satu rahasia besar, dan badai yang sebentar lagi akan datang.
Bersambung…
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏