“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Dibela Sang Suami
Kedatangan Sastrawira langsung menarik perhatian seluruh siswa dan guru di sepanjang koridor sekolah Cendana Maharaja. Gemuruh bisikan terdengar di mana-mana, seolah kehadirannya mengubah suasana sekolah menjadi semakin tegang. Semua mata tertuju padanya, menatap dengan penuh rasa ingin tahu dan kekaguman.
Sastrawira, putra tertua keluarga Hardjosoemarto yang terkenal, melangkah dengan tenang. Wajahnya yang tampan dan postur tubuhnya yang tegap menambah wibawa, membuat banyak siswa merasa pangling. Tak ada yang menyangka bahwa seseorang seberpengaruh dirinya akan datang ke sekolah itu.
"Dia benar-benar Sastrawira?" bisik salah satu siswa. "Gue denger dia datang karena ada hubungannya sama siswi yang ribut tadi di kantin, kalau ngga salah namanya Maha."
"Ya ampun, ini serius banget kalau sampai dia turun tangan, tapi memangnya Maha siapanya dia? Yang gue tahu keluarganya bermasalah sama keluarga Hardjo. Entahlah, kita liat aja apa maksud kedatangannya kesekolah kita." Ucap yang lain.
Namun, Sastra tetap berjalan dengan fokus, tak menghiraukan tatapan orang-orang. Pikirannya hanya terpusat pada satu hal—Maha. Ketika akhirnya ia sampai di depan ruang kepala sekolah, ia menarik napas dalam, dan masuk setelah mendapatkan izin.
"Anak saya tidak bersalah, dari penuturan perempuan itu saja dia lebih dulu mendorong Karin. Saya tidak terima anak saya di beginikan, kalau sekolah tidak bisa mengambil tindakan tegas, biar saya saja yang ambil secara jalur hukum—"
"Atas dasar apa anda berani-beraninya melakukan itu?"
Maha tersentak kaget melihat kedatangan Sastra ke sekolahnya. Aura kekuasaan dan otoritas yang melekat pada Sastra begitu terasa, membuat ruangan itu seolah menjadi lebih kecil. Bahkan kepala sekolah, Pak Darma, menyambutnya begitu hormat.
Sastra melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Ia menatap Maha sejenak, seolah bertanya apakah dia baik-baik saja. Kemudian, dengan sikap tenang, ia mengalihkan pandangannya menuju pak Darma.
"Saya datang sebagai perwakilan dari Maharani," Sastra membuka suara kembali.
Suasana di ruangan itu mendadak tegang setelah kehadiran Sastra. Kepala sekolah, Pak Darma, yang biasanya tegas dan berwibawa, kini tampak lebih berhati-hati, terutama saat menjabat tangan Sastra.
"Selamat siang, Pak Sastrawira," ucap Pak Darma dengan nada penuh hormat. "Terima kasih telah datang mewakili Maharani. Silakan duduk, Pak."
Pak Darma melanjutkan dengan sedikit canggung, "Sebelumnya, Maha mengatakan tidak memiliki perwakilan. Namun dengan kehadiran Anda sebagai walinya, kami merasa senang dan berharap bisa menyelesaikan masalah ini dengan lebih baik."
Sastra menatap Pak Darma dengan tatapan yang tenang, namun sorot matanya memancarkan ketegasan. "Maha memang tidak ingin merepotkan saya, tapi saya tidak bisa membiarkan perempuan yang saya sayangi mendapatkan ketidakadilan seperti ini."
Maha, yang duduk di sampingnya, tiba-tiba melotot, matanya membesar karena terkejut. Kata-kata Sastra tadi—perempuan yang saya sayangi—seolah menggema di telinganya, membuat pikirannya terhenti sesaat. Jantungnya berdetak kencang, dan untuk sesaat, ia kehilangan kata-kata.
Mata Sastra kemudian melirik tajam ke arah ibu Karin yang tampak gusar. "Tindakan hukum?" Sastra tersenyum tipis, namun ada kekuatan yang jelas di balik sikapnya. "Saya rasa, kita semua di sini lebih memilih menyelesaikan masalah ini secara damai. Namun, jika ada yang berniat membawa masalah ini ke jalur hukum, maka saya juga siap. Saya pastikan kami tidak akan tinggal diam."
Perkataan itu begitu lugas dan tegas, namun diucapkan dengan mudah oleh Sastra, seolah tak ada beban. Maha terdiam kaku di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Rasa marah, cemas, dan bingung yang berkecamuk sebelumnya tiba-tiba digantikan oleh perasaan tak menentu.
Sastra tetap tenang, seakan tidak menyadari dampak dari ucapannya pada Maha. Fokusnya masih pada situasi di depan, memastikan bahwa masalah ini akan ditangani dengan adil.
Ibu Karin, yang sebelumnya tampak begitu berani dan menantang, mendadak kehilangan nyalinya. Suaranya mereda, dan sikapnya yang tadinya ingin menuntut habis-habisan berubah drastis. "Baiklah, permasalahan ini kita selesaikan di sini saja. Walaupun anak saya butuh keadilan, tapi saya rasa cukup selesai sampai di sini," katanya, seolah mencoba menutup percakapan yang kini terasa sangat canggung.
Maha, yang awalnya merasa terpojok, kini menyadari bahwa situasinya berubah drastis. Kalau bukan karena kehadiran Sastra, mungkin keadaan akan jauh lebih buruk baginya. Dia tahu, tanpa Sastra, ibunya Karin pasti akan bersikeras untuk membawa masalah ini ke jalur hukum, dan Maha bisa saja menghadapi konsekuensi yang lebih berat. Tapi kini, berkat nama dibelakang Sastrawira, semuanya tampak berbalik.
Sastra menatap ibu Karin dengan dingin, lalu menoleh kearah Pak Darma. "Saya harap setelah ini tidak ada lagi kesalahpahaman. Saya juga berharap sekolah dapat mengambil tindakan tegas terhadap kasus bullying yang terjadi," ucapnya, penuh wibawa. "Dan sisanya, saya mengikuti keputusan sekolah untuk memberikan hukuman apa bagi pelaku, saya yakin banyak saksi yang melihat bahwa Maha adalah korban yang dirundung dan CCTV pasti menjelaskan semuanya."
Pak Darma mengangguk, sedikit tegang di bawah tekanan dari kata-kata Sastra. "Kami akan meninjau kembali CCTV dan memastikan tindakan yang adil diambil," katanya dengan nada serius.
Karin, yang tadinya begitu percaya diri, langsung menatap ibunya dengan panik, berharap ada pembelaan. Namun, ibunya hanya terdiam, tak mampu melawan argumen Sastra yang kuat dan beralasan.
"Baiklah, kita akan menyelesaikan ini sesuai aturan," tambah Pak Darma, suaranya terdengar sedikit tegang meskipun mencoba menenangkan suasana.
Maha menatap Sastra, dia tak bisa mengabaikan bagaimana pria ini selalu bisa memanfaatkan momen-momen seperti ini untuk memperlihatkan kekuasaannya. Seorang Hardjosoemarto yang tampaknya selalu berada di atas angin, dan itu membuat Maha semakin disadarkan bahwa ia bisa jatuh kapan saja dalam jebakan kuasanya.
•••
"Suka ya kamu sama saya, dari tadi ditatap terus?" Sastra tersenyum kecil karena Maha sejak tadi memperhatikannya, Keana yang ikut didalam mobil mewah Sastra tampak menahan tawanya.
"Dih GR banget lo! Yang ada gue enek deket-deket lo Sas." Nyentrik sekali Maha mengatai Sastra, sedangkan sang empu kembali tersenyum kecil.
"Benarkah?" Sastra terkekeh pelan mendengar komentar Maha, sementara Keana yang duduk di belakang mereka hampir tak bisa menahan tawa.
Maha mendengus, lalu memalingkan wajahnya ke luar jendela. "GR banget, gue serius. Udah, cepetan aja anterin gue kerumah Keana!"
Sastra kembali menampilkan raut wajah dinginnya, auranya kembali serius, membuat suasana didalam mobil kembali hening.
Sementara Maha tengah berpikir untuk bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu supaya bisa mencicil hutang-hutang nya walaupun jumlah tiga miliar entah sampai kapan waktu
Maha dapat melunasinya, yang jelas ia tidak mau memiliki hutang dikemudian hari pada Sastra.
"Jangan berpikir yang lain, dan saya tegaskan sekali lagi, kamu tidak perlu menanggung semua ini sendirian," tiba-tiba Sastra berbicara dengan nada serius, tatapannya juga menajam menatap jalanan didepan sana.
"Orang ini bisa baca pikiran ya?" Monolognya menerka.
Ia mencoba menyembunyikan rasa herannya dengan mendengus pelan, "ngga usah sok tau, gue lagi mikirin apa bukan urusan lo."
Keana menatap kedua pasangan itu dengan helaan nafas berat, entah mengapa Maha begitu tidak menyukai Sastra padahal laki-laki itu terlihat sekali sangat menyayangi Maha.
Sastra tidak merespon jawaban Maha, ia membenarkan kaca depan dasboard dan menatap sekilas kearah Keana dibelakang. "Titip istri saya ya Keana, nanti saya jemput dia pukul sembilan malam."
Keana mengangguk pelan, "iya Mas, aku bakal jagain istrimu kok tenang aja." Jawaban Keana sontak mendapatkan lirikan tajam dari Maha, tak suka sahabatnya akrab begitu dengan Sastra, bukan karena Maha merasa cemburu tapi Maha tidak mau Keana terperdaya tipu daya laki-laki ini.
Sastra menoleh sekilas ke arah Maha yang tampak tidak suka, kemudian Sastra hanya mengangguk kecil sebagai respon untuk Keana sebelum melajukan mobilnya sedikit bertambah kencang.
Tidak lama itu akhirnya mereka sampai di depan rumah Keana. Maha segera turun begitu juga dengan Keana dan Sastra yang ikut keluar.
Sastra berjalan mendekat kearah Maha.
"Saya jemput kamu pukul sembilan, sesuai permintaan kamu." Sastra hendak meraih pergelangan tangan Maha namun Maha refleks menarik tangannya menjauh sebelum Sastra sempat menyentuhnya. Tatapannya dingin dan penuh peringatan. "Iya, udah sana lo pergi. Lo kan orang penting." jawabnya cepat, nada suaranya tegas.
Sastra hanya menghela napas pelan, meski raut wajahnya tetap tenang. "Yasudah saya pamit, ingat ya Maha, pukul sembilan malam." Sastra kembali mengingatkan dan mempertegas istrinya, sang empu membuang wajahnya dengan jengah. Sastra masuk lagi kedalam mobilnya, ia melirik sebentar kearah istrinya sebelum pergi dari sana.
Keana segera menggandeng tangan Maha dan membawanya masuk ke dalam rumah yang terasa sunyi. Rumah yang tidak terlalu besar itu tampak begitu kosong, seperti biasanya. Orang tua Keana memang jarang di rumah, lebih banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaan mereka.
“Udah, nggak usah dipikirin,” kata Keana pelan sambil menutup pintu di belakang mereka. “Lo di sini aja dulu. Santai. Mau minum apa?”
“Air es ada ga? Kepala gue rasanya panas banget Kea, butuh yang segar-segar."
Keana mengangguk dan segera menuju dapur. "Oke, gue ambilkan air es dulu ya."
Sementara itu, Maha duduk di sofa, berusaha menenangkan pikirannya yang kembali di kacaukan oleh Sastra.
Beberapa menit kemudian, Keana kembali dengan dua gelas air es yang segar dan beberapa camilan. Dia menyerahkan salah satunya kepada Maha. "Ini, semoga bisa bikin lo lebih relax."
Maha menerima gelas tersebut, "thanks," ia langsung meminum isinya. Sensasi dingin di tenggorokan sedikit membantu meredakan kepanasan yang dirasakannya.
"So you really hate your husband that much?" Tanya Keana yang sudah hapal bagaimana Maha akan tidak menyukai sesuatu yang sangat menganggu nya. (Jadi lo beneran se-benci itu sama suami lo?)
Maha mengangguk pelan, "gimana kalau semisal lo ada di posisi gue? Tiba-tiba bokap lo ngasih tau kalau dia udah nikahin anak perempuannya diem-diem sama laki-laki yang asing di hidup lo, apalagi usia lo masih muda banget? So, what reaction will you have?" (Jadi, apa reaksi lo?).
Keana menatap Maha dengan serius, mencoba memahami perasaan sahabatnya. "Gue ngga bisa bayangin betapa sulitnya itu, Maha. Pasti rasanya campur aduk banget. Gue bakal kabur dari rumah sih."
Maha mengangguk, meresapi dukungan Keana. "Itu sebabnya gue merasa tertekan Kea. Andaikan gue bisa kabur semudah itu kayaknya gue udah kabur deh, tapi gue ngga mau seegois itu juga, walaupun keluarga gue udah gak seutuh dulu. Gue tetep mau pertahanin." Maha terkekeh pelan, guratan kesedihan jelas tercekat namun ia tidak mau menangis.
"Gue sayang sama Papa, gue bener-bener sayang sama Papa walupun dia udah buat anak bungsunya sehancur ini." Maha hanya mengungkapkan keluhannya pada Keana, sebatas itu tanpa ingin bersedih terlalu berkepanjangan.
Keana paham rasanya, memang orang tua itu bisa jadi yang paling membuat hati anaknya patah. "Gue paham perasaan lo Maha, memang sesakit itu," Keana terkekeh pelan, mereka berdua seperti saling mengadu nasib.
"Jadi, apa tindakan yang bakal lo ambil sekarang? Saran gue sih, survive dulu disamping suami lo, maaf ya Maha, tapi kalau dari kaca mata gue, Mas Sastra memang sayang deh sama lo."
Maha menggeleng cepat, "sayang apanya? Baru sehari gue tinggal seatap sama dia aja udah was-was. Coba lo pikir, gimana kalau dia ngelecehin gue?"
Keana tertawa pelan, "gila lo Maha, diakan suami lo. Ngga bakal kaya gitu, gue jamin deh."
Maha hanya bisa menatap Keana dengan skeptis, "ya bisa jadikan. Dia itu cowok dewasa Kea, bisa jadi dia suka jajan." Celetuk Maha, tangannya bergerak mengambil camilan dan memasukannya kedalam mulutnya dengan santai.
Keana menghela nafas panjang, entah harus membuat Maha sadar seperti apa karena pemikiran perempuan ini sungguh diluar prediksi.
"Maha, lo kira semua lelaki otaknya cuma selangkangan doang? Gak juga kali, Lo mikir nya kejauhan. Kita tuh lagi ngomongin seorang Sastrawira loh, putra tertua Hardjo, suami Lo yang sangat terhormat." Keana terdiam sejenak untuk meneguk air di gelasnya hingga tandas.
Keana menatap Maha sejenak sebelum melanjutkan, "Sekarang gue tanya ya, ada ngga suami lo minta 'jatah' atau ngomong soal kewajiban lo buat memenuhi kebutuhan batinnya?"
Maha menggeleng singkat, "kita aja tidur beda kamar, dia sendiri yang lebih dulu ngasih penawaran sama gue."
Keana langsung menepuk jidatnya dengan keras, "Ya ampun, Maha! Sebegitu hormatnya dia sama lo, tapi lo malah nuduh dia cowok yang suka jajan. Lo tuh bener-bener!"
Maha tertawa kecil melihat reaksi sahabatnya. "Ya udahlah, gue cuma ngomong kemungkinan aja. Bukan berarti gue benar-benar nuduh."
Keana menggeleng, tak percaya. "Maha, serius deh, lo harus berhenti berpikir buruk tentang Mas Sastra. Kasihan suami lo kalau terus-terusan dicurigai aneh-aneh."
"Gue ngga bisa, Kea. Jangan berpihak ke Sastra deh! Coba pikirin posisi gue juga."
"Iya, gue ngerti kok. Tapi kenapa ngga bisa? Setidaknya coba berpikir positif dulu tentang suami lo. Hubungan lo ini udah sampai tahap serius. Kan, dulu lo sendiri yang pengen punya cowok serius. Nah, sekarang lo udah dapat, tapi lo malah begini." Keana mendesah pelan, frustasi. "Maha, lo sadar gak sih? Lo gak bakal uring-uringan lagi gara-gara ditinggalin cowok atau takut jadi jomblo lagi. Sekarang status lo udah istri. Kalau udahan pun, bukan lagi cuma soal putus, tapi cerai. Lo bakal jadi janda, tahu ngga? Janda muda, malah," tambah Keana dengan nada menakut-nakuti di akhir kalimat nya.
Keana kembali melanjutkan. "Gue tahu apa yang ada di pikiran lo. Lo mau bikin Mas Sastra ilfeel sama lo, terus berharap dia frustrasi dengan sikap lo dan akhirnya dia mutusin buat ceraiin lo, kan? Gitu, kan?"
Maha memutar bola matanya jengah, Keana memang tahu saja isi otaknya ini, "iya, itu sebabnya gue mau tinggal seatap sama dia."
Keana tersenyum jahil, namun Maha tidak menyadarinya, "berarti kalau gitu lo udah siap menyandang status janda muda dong?"
"Sialan lo Kea!"