Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanggung jawab Zayn
Tanpa menunda waktu, Zayn duduk di ruang tamu sederhana rumah ibu Alisha, rumah mertuanya. Ia membuka ponsel canggihnya, memberi beberapa instruksi singkat pada Arvin, asisten pribadinya yang setia.
“Arvin, aku ingin semuanya beres hari ini. Adik Alisha harus segera mendapat penanganan medis terbaik. Hubungi dokter spesialis anak, buat jadwal pemeriksaan di rumah sakit paling bagus. Pastikan ruang rawat VIP disiapkan. Tidak ada alasan untuk menunggu.” ucapnya dengan suara datar, namun terdengar tegas, penuh kuasa.
Arvin, yang sudah terbiasa dengan ritme kerja cepat Zayn, segera mengangguk. “Baik, Tuan. Saya akan urus semuanya secepat mungkin.”
Alisha menatapnya dengan mata melebar. Ia bahkan belum sempat bicara panjang lebar mengenai kondisi adiknya, namun Zayn sudah lebih dulu mengambil langkah. Hatinya berkecamuk. Ia ingin berterima kasih, tapi juga takut jika nantinya sikap Zayn ini semakin menjerat hatinya lebih dalam.
“Zayn… kau tidak perlu sampai seperti ini. Aku… aku bisa berusaha sendiri,” ucapnya pelan, mencoba menahan gejolak hatinya.
Zayn menoleh padanya, sorotnya dalam, dingin, tapi entah kenapa terasa hangat saat berbicara padanya. “Alisha, mulai sekarang kau tidak sendiri lagi. Kau istriku. Dan keluargamu… adalah keluargaku juga.”
Ucapan itu membuat dada Alisha terasa sesak. Ia terdiam, tidak mampu membalas apa-apa.
Tak butuh waktu lama, beberapa mobil mewah berhenti di depan rumah sederhana ibu Alisha. Para tetangga yang sejak tadi mengintip lewat jendela dan pagar kayu, senakin ramai berbisik-bisik.
“Eh, itu mobil siapa? Hitam semua, besar-besar juga!”
“Astaga, mereka seperti pejabat. Jangan-jangan ada operasi tangkap tangan?”
“Bukan… itu sepertinya tamunya Alisha. Tapi kok… banyak sekali bawaannya?”
Benar saja, beberapa pria bertubuh tegap turun dari mobil, semuanya mengenakan stelan jas hitam rapih. Mereka menurunkan barang-barang dari bagasi. Sembako bertumpuk-tumpuk, beberapa karung beras, beberapa dus minyak goreng, hingga berbagai kebutuhan dapur lainnya. Lalu menyusul perabotan baru. Lemari kayu, kasur empuk, hingga sofa sederhana namun tetap mewah jika dibandingkan dengan isi rumah ibu Alisha sebelumnya.
Ibu Alisha yang duduk di kursi rotan tua sampai menutup mulutnya dengan tangan, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Astaga, ini… ini apa-apaan, Nak?” tanyanya gemetar pada Alisha.
Alisha sendiri sudah hampir menangis. Ia merasa terharu tapi juga sangat canggung. “Bu… ini… ini dari Zayn. Dia ingin membantu kita,” jawabnya dengan suara serak.
Zayn sendiri berdiri tegak di halaman rumah, tangan di saku celana, memperhatikan semua proses itu dengan ekspresi datar namun penuh wibawa. Para tetangga yang berkerumun di kejauhan semakin riuh berbisik.
“Ya Tuhan, siapa pria tampan tinggi itu?”
“Katanya suaminya Alisha…”
“Hah?! Suami? Aku pikir Alisha hanya bekerja di butik kota, kok bisa dapat suami seperti itu?”
“Pantas saja… mobilnya saja seharga beberapa kali lipat mobil di RT sini.”
Gosip pun langsung menyebar, dari satu mulut ke mulut lain. Nama Alisha mendadak jadi tranding topik.
Sementara itu, Arvin melapor lagi. “Tuan, semua kebutuhan ibu dan keluarga Nyonya Alisha sudah dicatat. Mulai hari ini, saya akan pastikan mereka tidak kekurangan apapun. Tim medis akan datang sore ini untuk melakukan pemeriksaan awal sebelum membawa adik Nyonya Alisha ke rumah sakit.”
Zayn hanya mengangguk. “Baik. Pastikan semua berjalan lancar.”
Alisha melangkah mendekat, suaranya bergetar. “Zayn… kau benar-benar tidak harus melakukan semua ini. Aku takut orang-orang salah paham…”
Zayn menoleh padanya lagi, kali ini dengan senyum tipis yang jarang sekali ia tunjukkan. “Biarkan mereka salah paham. Yang penting keluargamu aman. Aku tidak peduli pada gosip.”
Kalimat itu menghantam hati Alisha lebih keras dari apapun. Ia menunduk, tak berani menatap terlalu lama pada sorot tajam di hadapannya itu. Dalam hati, ia bergumam lirih, Zayn, kenapa kau begitu baik padaku… padahal kita hanya sepakat menikah tanpa hati?
.....
Sore itu, halaman rumah sederhana ibu Alisha masih ramai. Tetangga yang sejak siang berkumpul, dibuat semakin penasaran melihat keluar-masuknya beberapa pria bersetelan rapih, sibuk membawa peralatan medis dan koper besar.
Sebuah mobil dengan logo rumah sakit ternama berhenti di depan rumah. Dari dalam keluar dua dokter muda bersama seorang perawat. Mereka langsung menuju kamar kecil di mana adik Alisha, Bima, berbaring pucat dengan selimut tipis.
Alisha yang sejak tadi gelisah segera menyambut. “Ini adikku, Dok. Dia sering demam tinggi, juga mudah pingsan jika kecapekan, terkadang di sertai batuk juga.” Suaranya tercekat, matanya memerah.
Dokter itu mengangguk sopan. “Tenang, Nyonya. Kami akan periksa dulu.” Ia melirik ke arah Zayn, yang berdiri bersandar di pintu kamar dengan tangan terlipat, ekspresi dinginnya membuat suasana semakin tegang. “Tuan, sesuai permintaan Anda, kami akan melakukan pemeriksaan lengkap.”
Zayn hanya mengangguk kecil. “Pastikan tidak ada yang terlewat.”
Suasana kamar mendadak berubah hening. Alat-alat medis dikeluarkan, suara stetoskop dan tensimeter bergantian terdengar. Alisha duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan adiknya yang lemah. Tatapannya penuh doa, berharap ada keajaiban.
Ibu mereka berdiri di belakang, sesekali mengusap dada, tak percaya semua ini bisa terjadi begitu cepat. “Ya Tuhan, ternyata Engkau kirim penolong melalui suaminya Alisha,” gumamnya lirih, hampir menangis.
Setelah hampir setengah jam, dokter menyudahi pemeriksaan. “Kondisi adik Anda perlu penanganan lebih lanjut. Ada gangguan pada sistem darah yang harus segera ditindak. Kami sarankan rawat inap di rumah sakit. Jangan khawatir, semua fasilitas sudah kami siapkan.”
Alisha tertegun. “Rawat inap… secepat itu?”
Dokter mengangguk. “Semakin cepat, semakin baik. Tuan Zayn sudah menanggung seluruh biaya. Jadi, tolong siapkan barang-barang penting, malam ini juga kita bisa langsung bawa pasien.”
Alisha menoleh ke arah Zayn. Pria itu hanya memandanginya sebentar, tenang, seakan semua sudah ia rencanakan.
“Percayalah, Alisha. Aku tidak akan membiarkan adikmu menderita lebih lama,” ucapnya pelan namun tegas.
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga di pipi Alisha. Ia menunduk, suaranya bergetar. “Zayn… aku… aku tidak tahu harus bilang apa lagi. Terima kasih… terima kasih banyak.”
Zayn melangkah mendekat, tangannya terulur, menyeka air mata itu dengan ibu jarinya. Gerakan yang sederhana, namun sukses membuat dada Alisha bergemuruh. “Jangan menangis. Aku tidak suka melihatmu lemah.”
Sekejap, dunia terasa berhenti. Jarak di antara mereka begitu dekat, napas mereka nyaris bertemu. Alisha ingin berpaling, tapi tatapan Zayn terlalu kuat menahannya.
“Kenapa kau melakukan semua ini untukku?” bisiknya lirih, nyaris tidak terdengar.
Zayn menatapnya dalam, matanya memantulkan kesungguhan yang sulit dipercaya. “Karena aku suamimu. Itu alasan yang cukup.”
Hati Alisha bergetar hebat. Perjanjian pernikahan mereka kembali terlintas—hubungan yang katanya hanya sebatas status, tanpa melibatkan perasaan. Namun, sikap Zayn yang begitu melindungi dan tanpa pamrih perlahan meruntuhkan benteng yang ia bangun sendiri.
Alisha menunduk, berusaha mengendalikan hatinya. “Tapi… aku takut, Zayn. Semua ini terlalu besar untukku. Aku hanya… wanita biasa. Aku tidak terbiasa dengan dunia dan caramu memperlakukanku seperti ini.”
Zayn menghela napas, lalu meraih tangannya, menggenggam erat jemari lentik itu. “Dunia boleh berbeda, tapi hati kita tetap sama. Aku tidak peduli sederhana atau megah, Alisha. Yang kupedulikan hanya kau.”
Degup jantung Alisha seakan melompat tak karuan. Kata-kata itu menusuk dalam, membuatnya ingin percaya, sekaligus takut pada kenyataan.
Di luar rumah, para tetangga yang masih berkerumun semakin ribut melihat iring-iringan mobil medis bersiap menjemput Bima. Beberapa dari mereka bahkan sengaja berbisik keras-keras.
“Eh, ternyata benar tuh, suaminya Alisha orang kaya raya!”
“Bukan kaya lagi, ini seperti pejabat atau pengusaha besar!”
“Ya Tuhan, Alisha pintar sekali bisa mendapatkan suami seperti itu. Padahal rumahnya biasa saja.”
Bisikan itu sampai ke telinga ibu Alisha yang hanya bisa menggeleng, antara malu dan bangga. Ia tahu hidup anaknya akan berbeda mulai hari ini.
Di dalam kamar, Alisha menggenggam tangan Zayn lebih erat, seakan mencari kekuatan. “Aku… aku hanya ingin adikku sembuh. Jangan lakukan ini karena kasihan padaku, Zayn. Aku takut kau nanti menyesal.”
Zayn menatapnya lama, lalu mendekatkan wajahnya sedikit. “Aku tidak pernah menyesal memilihmu. Ingat itu.”
Hati Alisha mencelos. Kata-kata itu membuatnya nyaris percaya bahwa semua ini bukan hanya sekadar perjanjian.
Saat itu, dokter kembali masuk. “Maaf, kami harus segera membawa pasien. Apakah keluarga sudah siap?”
Alisha mengangguk cepat, menatap Zayn yang tetap berdiri kokoh di sampingnya. Dalam hati, ia berbisik lirih, Andai semua ini bukan hanya sandiwara…