Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Peringatan Arvenzo
Malam itu, rumah keluarga Wardhana begitu tenang. Hanya suara jam dinding yang terdengar samar dari ruang tengah. Velora, yang merasa bosan di kamar, turun perlahan ke dapur. Ia butuh sesuatu untuk menenangkan pikirannya mungkin dengan meminum teh hangat, bisa membuatnya tidur lebih cepat.
Namun langkahnya terhenti begitu pintu dapur terbuka. Di sana, di bawah cahaya lampu yang lembut, Arvenzo duduk di kursi tinggi dekat meja bar. Laptop terbuka di depannya, cahaya layar membuat wajah dinginnya tampak lebih tajam. Bahunya tegap, gerakannya tenang, dan sorot matanya serius saat menelusuri layar.
Velora berdiri ragu sejenak. “Kamu belum tidur?” tanyanya akhirnya, mencoba menghilangkan canggung dengan nada seramah mungkin.
Arvenzo tidak menoleh. Ia menutup laptop perlahan sebelum menjawab, suaranya datar. “Belum. Ada laporan yang harus aku baca.”
Velora mengangguk singkat, lalu berjalan ke arah lemari dapur. “Aku mau buat teh. Kamu mau sekalian?” tanyanya sopan, sembari mengambil cangkir.
“Tidak,” jawab Arvenzo cepat. Lalu, setelah jeda singkat, ia menambahkan, “Aku lebih suka kopi.”
Velora berbalik, menatapnya sebentar. “Kalau begitu, biar aku buatkan kopi untukmu.”
Arvenzo mengangkat wajah, menatapnya seolah sedang mengukur kesungguhannya. Sorot matanya menusuk, tapi tidak penuh emosi lebih seperti kebiasaan seorang pria yang terbiasa mengawasi segala sesuatu dengan detail. Akhirnya ia menjawab singkat, “Terserah.”
Velora menelan ludah, lalu mulai menyiapkan bubuk kopi. Suasana hening membuatnya semakin gugup hanya suara sendok beradu dengan cangkir yang terdengar. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena sulit membuat kopi, tapi karena ia merasa benar-benar diawasi. Setelah selesai, ia meletakkan cangkir itu di hadapan Arvenzo.
“Ini. Semoga sesuai seleramu,” katanya pelan.
Arvenzo menatap kopi itu beberapa detik, lalu meraihnya. Ia meneguk perlahan, ekspresinya tetap tenang. Hanya anggukan kecil yang keluar darinya. “Not bad,” gumamnya singkat.
Velora menarik napas lega, lalu duduk dengan cangkir tehnya sendiri. Mereka minum dalam diam. Ada jarak yang jelas, tapi entah bagaimana Velora merasakan momen itu berbeda seolah untuk pertama kalinya, ia benar-benar berbagi ruang tenang dengan pria yang kini jadi suaminya.
...****************...
Pagi harinya, sinar matahari menembus tirai kamar. Velora sudah bersiap lebih awal, hari ini ia harus ke rumah sakit. Dengan langkah ringan tapi sedikit terburu, ia turun menuju garasi.
Di sana, ia tertegun. Arvenzo sudah menunggunya. Pria itu berdiri santai di samping mobil hitamnya, tangan terlipat di dada, wajah dingin tanpa ekspresi.
“Kamu di sini?” Velora membuka suara, setengah terkejut.
Arvenzo menatapnya sebentar, lalu bertanya singkat, “Kamu mau ke rumah sakit?”
Velora mengangguk. “Iya, kenapa?”
Arvenzo menurunkan tangannya, melangkah mendekat dengan aura yang tenang tapi tegas. “Aku antar.”
Velora buru-buru menggeleng. “Tidak perlu. Aku terbiasa berangkat sendiri. Lagi pula aku tidak ingin merepotkan mu.”
Arvenzo berhenti tepat di depannya, sorot matanya dingin tapi tegas.
“Aku tahu kamu terbiasa sendiri. Tapi mulai sekarang, biarkan aku yang mengantarmu. Itu tugasku sebagai suamimu.”
Velora membeku. Kalimat itu sederhana, tapi terdengar lebih seperti aturan keras daripada ungkapan manis. Dadanya berdebar, ia mencoba menahan diri untuk tidak terpancing.
“Kamu terlalu mengatur,” balas Velora akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Aku butuh kebebasan, Arven. Aku tidak suka dikekang!”
Arvenzo mendekat setengah langkah, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. “Aku tidak sedang mengatur. Aku hanya menegaskan. Ada hal-hal yang tidak bisa kamu tentukan sendiri sekarang, Velora. Dan salah satunya adalah siapa yang boleh berada di sekitarmu.”
Velora menelan ludah, kebingungan antara marah atau justru tersentuh. Kata-kata Arvenzo memang keras, tapi ada nada protektif yang sulit diabaikan.
Tanpa menunggu jawabannya, Arvenzo berjalan ke sisi mobil, membuka pintu penumpang. “Masuk!” katanya singkat, tegas, seperti perintah yang tidak memberi pilihan lain.
Velora menatapnya ragu, lalu akhirnya menghela napas dan masuk ke dalam mobil.
Perjalanan dimulai dengan hening. Mesin mobil menderu halus, jalanan masih sepi pagi itu. Velora duduk diam, menatap keluar jendela, berusaha menenangkan diri. Ia merasa sedang terjebak di antara keinginan untuk protes dan rasa aman aneh yang muncul dari sikap keras Arvenzo.
Beberapa menit berlalu sebelum Arvenzo akhirnya membuka suara. “Kamu keberatan aku mengantarmu?”
Velora menoleh cepat, sedikit terkejut karena ia yang memulai percakapan. “Aku hanya belum terbiasa.”
Arvenzo tetap menatap lurus ke jalan, tapi rahangnya mengeras. “Kebiasaanmu berubah sejak kamu menikah denganku. Aku tidak akan membiarkanmu berjalan sendirian, apalagi pulang dengan orang lain.”
Velora menghela napas, menatap pria itu dalam diam. “Kamu selalu terdengar seperti sedang mengontrol segalanya.”
Arvenzo meliriknya sekilas, tatapannya tajam namun cepat kembali ke jalan. “Mungkin. Tapi bukan berarti salah. Aku hanya tidak ingin kamu berada dalam situasi yang tidak aman.”
Velora terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang ia kira. Ia ingin marah karena merasa dikekang, tapi bagian kecil dalam dirinya juga merasa terlindungi oleh suaminya.
Suasana kembali hening. Velora melipat tangannya di pangkuan, sementara Arvenzo tetap fokus mengemudi dengan sikap dingin yang konstan. Namun bagi Velora, hening itu bukan lagi sekedar dingin tapi ada ketegangan yang samar, percampuran antara otoritas dan kepedulian yang membingungkannya.
Mobil hitam milik Arvenzo berhenti tepat di depan pintu utama rumah sakit. Mesin dimatikan, dan sejenak hanya terdengar suara AC yang berhembus pelan. Velora meraih tasnya, bersiap membuka pintu, namun langkahnya terhenti ketika suara berat Arvenzo memecah keheningan.
“Velora.”
Ia menoleh cepat, menatap suaminya. Arvenzo masih duduk tegak di kursi pengemudi, kedua tangannya santai di setir, tapi sorot matanya menusuk dalam.
“Ingat satu hal,” ucap Arvenzo pelan tapi tegas. “Kamu masuk ke sana sebagai istriku. Jangan biarkan siapa pun memperlakukanmu seolah kamu masih sendiri!”
Velora tercekat. Kalimat itu sederhana, tapi terasa berat, seolah ada garis tegas yang baru saja ditarik di antara dirinya dan dunia luar. Ia tidak mampu membalas dengan kata-kata, hanya mengangguk perlahan.
Arvenzo menatapnya sekilas, lalu menambahkan dengan nada lebih datar, “Pergilah. Aku akan menjemputmu lagi nanti.”
Velora menelan ludah, kemudian membuka pintu. Udara hangat bercampur aroma antiseptik khas rumah sakit langsung menyambutnya. Dengan langkah mantap, ia berjalan masuk, meski dada masih terasa berdebar oleh ucapan terakhir Arvenzo.
Begitu melewati lobi, beberapa perawat langsung tersenyum melihatnya. Salah satunya, Sinta, salah satu perawat menghampiri dengan ekspresi ceria.
“Dokter Velora! Selamat ya atas pernikahannya. Maaf sekali kami tidak bisa hadir di resepsi pernikahan Dokter, tapi kami doakan semoga bahagia selalu.”
Velora tersenyum hangat, berusaha menutupi rasa canggung yang masih tersisa. “Terima kasih, Sinta. Itu sudah cukup berarti buatku.”
Ucapan selamat tak berhenti di situ. Dokter Ayu dari spesialis Anak ikut menyalami, kemudian beberapa staf lain satu per satu menghampiri, mengucapkan selamat dengan tulus. Velora merasa hangat, meski sedikit lelah menahan semua senyuman.
Namun, suasana berubah ketika sosok tinggi dengan jas putih melangkah mendekat. Dokter Rayhan, Dokter spesialis bedah. Tatapan matanya berbeda bukan hanya sekadar formalitas rekan kerja. Ada sorot perasaan yang ia sembunyikan, tapi sulit disamarkan.
“Selamat, Velora,” ucap Rayhan lirih, nyaris serak. “Semoga kamu bahagia...”
Velora terdiam sepersekian detik, lalu membalas dengan senyum sopan. “Terima kasih, Dokter Rayhan.”
Tapi di balik tatapan Rayhan, jelas tergambar luka. Ia sudah lama menyimpan perasaan pada Velora, berharap suatu saat bisa menyatakan, namun kenyataan justru menikamnya. Wanita yang selama ini ia kagumi kini resmi menjadi milik pria lain.
Rayhan berusaha tersenyum, tapi ekspresi itu tak sampai ke matanya. Ia hanya mengangguk singkat, lalu melangkah pergi, menyisakan atmosfer berat yang membuat Velora menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum memulai pekerjaannya.
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭