NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rokudenashi - The Shape of Rain

"Dagingnya gosong di luar, tapi masih beku di dalam!" Natasya tertawa terbahak-bahak, lalu melanjutkan, "Sumpah, itu steak paling mengerikan yang pernah kulihat. Rasanya kayak makan arang campur es batu! Rasanya dia mau mengacaukan perayaan dengan kejutan seheboh itu."

Bu Indeng mengangguk membenarkan. "Dagingnya sampai mengeluarkan asap tebal, alarm asap berbunyi kencang sekali. Kami semua panik, mengira ada kebakaran."

Caroline tidak bisa menahan tawanya lagi. Membayangkan Pratama, dengan segala ketenangannya, bisa membuat kekacauan sebesar itu di dapur sungguh menghibur. Tapi dia tidak bisa memikirkan ekspresi yang tepat, mungkin wajah kebingungan atau cengo?

Caroline tertawa hingga perutnya sedikit sakit. "Jadi... dia cuma bisa membuat bubur ayam?" tanyanya di sela tawa.

Natasya mengangguk mantap. "Benar! Hanya bubur ayam! Kalau Kak Pram mau coba masak yang lain rasanya semua pelayan pasti ada salah satunya memanggil Kak Frans biar kelakukan biang kerok itu dihentikan. Daripada nanti harus bersih-bersih dan membuang makanan."

Ternyata ada sisi Pratama yang sama sekali tidak ia bayangkan. Awalnya ia kira, bubur itu memang sengaja dibuat karena dia baru pulih dari sakitnya. Ternyata lelaki itu hanya spesialis disana.

Natasya, yang kini cekikikan sambil membuka bungkusan camilannya. Mengunyah tanpa henti sambil berbagi pada pelayan di sebelahnya. “Bu Ndeng! Makan lagi. Gaji buta dariku.” Lalu dia menyodorkannya pada Caroline. “Kak, makan satu kantong keripik ga bakal bikin gendut, kok.”

Caroline menggelengkan kepalanya. Tangannya mengambil satu keripik saja. “Ga gendut, tapi bikin tenggorokan sakit.”

“Ih! Udah kayak Ibuku saja. Duh janganlah begitu, tinggal minum air garam pun beres,” katanya penuh nada persuasif. Tetapi tetap tak digubris Caroline.

"Oh ya," Natasya tiba-tiba teringat lagi sesuatu, setelah menghabiskan camilannya. "Berkasnya aku hampir lupa. Sebentar.”

Di dalam tumpukan snack, mata Caroline membola karena adik manis ini mengeluarkan sebongkah kertas tebal. Penelitian itu bisa-bisanya dimasukkan dalam tumpukan snack. Di sisi lain, Tasya menjelaskan alasannya. “Kalau sampai Kak Pram liat, dia bakal manggil dan nanya-nanya kayak dosen pembimbing. Lebih malah! Aku sembunyiin biar dia ga banyak nanya dan komentar makalahku.”

Dia menyerahkan keripik seolah-olah itu harta satu-satunya ke Bu Indeng. “Simpan ya, Bu. Tasya mau ke atas bareng Kak Ine.”

Mereka menaiki tangga dengan perlahan. Setelah sampai di lantai atas, Natasya membawa Caroline menuju koridor yang sama dengan tempat kamar Caroline dan ruang kerja Pratama berada.

"Kamarku agak di ujung soalnya disana ada jendela besar, jadi aku bisa melihat bintang lebih mudah dan tidak terganggu kebisingan," dia menunjuk pintu lain di ujung koridor. "Di sebelah kananku itu Gudang dan tempat cuci baju, sebelah kiri kamarku itu ruang bersama."

Ternyata ruang yang ia masuki sebelumnya ruang kerja kedua Pram, lebih pribadi. Sedangkan disini memang untuk ruang kerja siapapun. Di meja lebih banyak lagi buku dan kertas. Sebuah kursi putar ergonomis, rak buku tinggi yang penuh sesak, dan benang rajutan mendominasi ruangan.

"Itu benang rajutanku, lagi malas kubersihkan." Natasya berjalan langsung ke sebuah sudut meja yang di penuhi tumpukan berkas dan menggeletakkan berkas penelitiannya. Di dalamnya juga ada data hasil pengumpulan datanya.”

Caroline mendekati meja, matanya menjelajahi tumpukan kertas. Tangannya terulur, menyentuh salah satu tumpukan. Tekstur kertas itu, dengan cara berkas itu ditumpuk agak mirip dengan peletakan bendanya dulu. Dia melihat judul-judul di beberapa berkas: "Analisis Senyawa Flavonoid", "Ekstraksi Senyawa Keton dari Tumbuhan Tropis", "Potensi Antioksidan..."

Mata Caroline menyipit. Ini penelitiannya?

“Kak Pram lemah untuk biokimia. Dulu dia hanya mencak-mencak dan bahasannya tidak nyambung karena lebih ke teknisnya. Salah satu alasanku meminta bantuan Kak Ine itu karena dokumen ini.” Natasya yang fokus ke judul berkas baru melihat ekspresi Caroline yang berubah. "Kenapa, Kak?"

Caroline tertegun. Judul-judul itu, kata-kata ilmiah itu—ia mungkin pernah mempelajari atau mendengar tentangnya. Namun, tidak ada kilas balik yang kuat, tidak ada perasaan bahwa ia yang mengerjakan itu. Rasanya seperti membaca sebuah buku pelajaran yang topiknya ia kuasai, tapi bukan bagian dari pengalaman hidupnya.

"Aku... tidak tahu," Caroline mengaku. "Aku kenal kata-kata ini, tapi aku tidak ingat mengerjakannya. Memang namaku yang tertulis sebagai penulisnya, tapi aku merasa bukan aku yang mengerjakannya."

Natasya, yang tadinya antusias digantikan oleh kerutan khawatir. "Kalau tidak tahu, ga usah disimpen dalam hati. Anggap aja itu salah ketik atau apalah."

"Sudah, sudah!" Natasya menutup berkas dengan buku tebal berdebu. "Kita terlalu serius di sini. Menurutku baca ginian malah bikin stress. Bagaimana kalau kita mampir ke kamarku? Aku punya banyak boneka lucu di sana. Eh, film kartun juga mau? Aku punya koleksi yang banyak banget, deh!"

Rasa hampa karena tidak mengenali pekerjaannya sendiri memang mengganggu, namun tawaran Natasya jauh lebih menarik daripada terpenjara dalam keraguan. "Kamarmu?" tanya Caroline, sedikit tertarik. "Juga ada boneka?"

Natasya mengangguk antusias. "Yaps! Doraemon, Pokemon, Barbie, Pikachu... banyak deh! Semuanya aku beli dengan sisa uang jajan," tambahnya dengan nada bangga, seolah sedang memamerkan prestasi ia sendiri.

Natasya lagi-lagi menarik tangan Caroline menuju kamarnya di ujung koridor. Pintu kamar Natasya terbuka, menampakkan dunia yang kontras dengan ruangan-ruangan lain di rumah itu. Kamar itu dipenuhi dengan warna-warna cerah, poster yang dia sebut sebagai harta karunnya yang utama, dan tumpukan kaset berserakan di sudut.

Benar saja, di salah satu sisi ranjang yang besar terdapat tumpukan boneka berbagai ukuran dan karakter yang ditata menggemaskan.

"Taraaa!" seru Natasya, melompat ke atas ranjang dan menjatuhkan diri di antara boneka-boneka itu. "Ini istanaku! Kakak bisa duduk di sini, atau di sana," Natasya menunjuk sebelahnya atau kursi empuk di sudut ruangan.

Caroline melangkah dengan hati-hati. Dia memilih untuk duduk di pinggir ranjang, bersebelahan dengan tumpukan boneka. Kamar ini terlalu penuh tapi tidak berantakan parah.

"Kartun apa?" Natasya beranjak, mengambil remote control yang tergeletak di nakas. "Aku punya semua episode SpongeBob, Avatar, atau Tom n Jerry."

Caroline tersenyum kecil. Pilihan-pilihan itu asing baginya, nada suara Natasya yang penuh semangat tidak menyeretnya sedih karena tidak mengetahuinya. "Kamu pakarnya," jawab Caroline. "Ambil yang menurutmu paling bagus."

“Hmm… ini nanti dimasukkan kemana?” tanyanya.

Natasya memberikan penjelasan singkat pada Caroline. Dari sini, dia tahu bahwa kotak hitam ini bisa bercerita dengan memasukkan piringan berkilau ini. Tasya segera menyalakan televisi dan memilih salah satu episode SpongeBob SquarePants. Suara tawa karakter kartun yang konyol langsung memenuhi ruangan. Natasya ikut tertawa terbahak-bahak sambil memukul bantalnya.

Caroline awalnya hanya mengamati, memahami lelucon yang ada disana. Perlahan, senyum tipis mulai muncul di bibirnya. Dia tidak mengerti sepenuhnya, tapi melihat tingkah tidak masuk akal karakter itu terasa asik.

Natasya sesekali menoleh ke arah Caroline, melihat senyum tipis itu berkembang menjadi tawa kecil. Matanya berbinar. Dia mencari akal untuk membuat Kakak Iparnya tertawa lagi. "Itu si Patrick, Kak Inee! Dia memang suka bikin ulah," jelas Natasya, menunjuk karakter bintang laut berwarna pink yang baru saja menelan seluruh burger dalam satu gigitan. "Kadang dia polos banget, tapi kadang nyebelin!"

“Menurutku sarkasnya juga, dia bisa mengejek hanya dari bahasa tubuhnya atau kata kata di luar ekspektasi,” balas Caroline. Matanya tidak beralih dari sana.

Saat episode berlanjut, Caroline mulai menangkap pola lelucon dan ekspresi wajah karakter. Ada momen ketika SpongeBob tertawa dengan suara yang aneh atau Squidward yang kesal setengah mati diganggu kedua tetangga bisingnya itu. “Harusnya dia pindah saja dari sana,” usulnya.

Natasya berdecak, “Ck, ada episodenya dimana Tuan Tentakel ini pindah. Lalu hasilnya lebih kacau habis, aku nanti tampilkan adegannya!”

Saat Caroline disuguhkan adegan itu, dia memukul bantal tanpa sadar. “Wah, konyol sekali!”

"Kak, mereka kan memang konyol!" seru Natasya, yang sepertinya salah mengira ekspresi Caroline sebagai ekspresi kaget. "Tapi makanya itu lucu! Kakak ingat waktu kita pernah maraton SpongeBob semalaman sambil makan mie instan sampai pagi? Kak Pram sampai marah-marah karena kita berdua bangun kesiangan!"

Caroline menoleh ke Natasya, matanya sedikit membulat. Maraton SpongeBob? Mie instan? Pratama marah-marah? Gambaran itu agak kabur, tapi dia justru merasakan sesuatu yang aneh. Ada rasa bersalah samar, namun juga kehangatan dari kenangan di tubuhnya.

"Mie instan?" ulang Caroline, mencoba memastikan.

Natasya mengangguk penuh semangat. "Iya! Pakai telur sama sosis! Makanan surga itu dibilang racun sama Kak Pram. Dia kan suka cerewet kalau soal makanan, padahal Cuma tahu cara bikin bubur!" Natasya cemberut.

Caroline tersenyum lebar, senyum yang lebih tulus kali ini. "Dia memang cerewet, ya?"

Natasya mengangguk mantap. "Banget! Makanya aku lebih suka cari aman sama Kakak. Kakak ga pernah nolak buat aku ajak apapun."

Duduk di kamar yang penuh warna ini, di samping Natasya yang ceria, Caroline merasa bahagia sekali. Dia sudah tertawa lebih sepuluh kali. Juga dari anak ini, dia yang tidak ingat detail pekerjaannya mulai mendapatkan gambaran akan pemilik tubuh sebelumnya sebagai seorang kakak ipar yang menyenangkan, seorang yang suka begadang dan melakukan hal konyol. Identitas itu, meskipun sederhana, terasa jauh lebih nyata dan nyaman daripada label "peneliti bahan alam" yang disematkan padanya.

Terutama, karena hal ini dia dapatkan bukan hanya dari cerita. Namun langsung merasakannya sendiri. Dia diajak untuk memahami siapa dirinya yang ia ketahui sebagai pemilik tubuh yang ia tinggali.

Dari Pram, dia belajar bahwa sesuatu harus dilakukan perlahan dan yang penting dia bahagia dahulu. Dan dari adiknya, dia diajak langsung ke dalam rutinitas lamanya tanpa mempermasalahkan ketidaktahuannya.

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!