Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berita Duka
Wang Lei_POV
Suara gedebuk di meja membuatku mengangkat pandangan. Dia menjatuhkan ponsel dengan wajah menegang, membuatku ikut membeku menatapnya. Ada apa?
Lalu saat dia melirihkan sebuah kalimat yang tak ku mengerti, mata cokelat terangnya yang berkaca-kaca akhirnya meneteskan air mata. Aku terus diam menatapnya bingung, sampai dia menutup wajah dengan telapak tangannya lalu menangis terisak-isak.
Bahunya bergetar naik turun, suara tangisnya terdengar memilukan.
"Senorita, kamu kenapa?" tanyaku, tapi dia sepertinya enggan menjawab.
"Apa ada seseorang yang kamu kenal di sana? Keluargamu?" tanyaku lagi, tapi hanya suara desakan napasnya yang terdengar sesak.
"Jiùjiu... āyí... bú zài le...(Paman... Bibi... sudah tiada...)" ucapnya lirih dan parau. Tiba tiba saja membuat hatiku mencelos.
"Kamu pergi dengan paman dan bibimu?" tanyaku dengan suara pelan. Mataku tak sedetikpun teralihkan darinya. Dia mengangguk sekali, masih menutup wajahnya.
Mataku menatapnya lama sebelum menelan kunyahanku, lalu menatap mie yang masih setengah mangkuk. Sebenarnya aku masih merasa lapar, tapi melihat Hanina yang sedang berduka di hadapanku, membuat selera makanku menghilang.
Sungguh aku merasa menyesal telah memberitahukannya sekarang, dia sendiri bahkan belum menghabiskan rotinya, dan sekarang harus berduka dalam keadaanya yang masih lemah. Bodohnya aku...
Menaruh sumpit di atas meja, meneguk bir, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celanaku.
"Pakailah sapu tangan ini.." ucapku sambil menyerahkan sapu tangan itu kearahnya. Namun, gadis berhijab itu tak bergerak, gadis itu masih sesenggukan meratapi duka kehilangannya.
Aku mendengus pelan, menarik kembali sapu tangan yang ternyata terdapat noda darah. Pantas dia tidak mau.
"Aku mengerti perasaanmu, dulu aku juga pernah kehilangan orang yang kusayangi dan rasanya, ya... rasanya seperti yang kamu rasakan hari ini..."
Aku menghembuskan napas perlahan, menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Rasanya ruangan kecil ini mendadak sesak, seolah duka Hanina menular ke udara.
Tiba-tiba suara dering ponsel memecah keheningan. Aku menoleh, dan Hanina pun sedikit terkejut karena ponselku tergeletak di meja, tepat di hadapannya. Layarnya menyala, menampilkan nama si bangsat Zhou kun lagi.
Aku menarik napas cepat, meraih ponsel itu dengan kesal dan langsung mengangkatnya.
"Alo_"
Belum sempat bicara lebih lanjut, suara Zhou Kun langsung menyembur dari seberang.
"Wang Lei! Kau di mana saja?! Kenapa belum sampai juga? Barang seharusnya sudah kau kirim sejam lalu! Kau molor lagi ya?! Hah!"
Aku memejamkan mata lalu mendecak jengkel.
"Iya-iya... Jangan teriak di telingaku, sialan!"
"Cepat! kalau tidak upahmu_"
"Berisik!" 'Tuth.'Panggilan segera ku akhiri.
Mataku kembali menatap Hanina yang masih terisak. Dia sudah mulai tenang, meski sesekali bahunya masih bergetar, wajahnya sembab dan merah. Aku menatapnya penuh pertimbangan. Ingin rasanya tetap di sini, menemaninya sampai benar-benar tenang. Namun pekerjaan itu memaksaku untuk segera pergi.
"Kamu tidak apa apa, kan aku tinggal lagi? Aku akan pulang mungkin malam. Kalau lapar makan saja semua rotinya, ya.."
Hanina tak langsung menjawab. Tapi setelah beberapa detik, dia mengangguk pelan sambil mengusap jarinya ke sudut mata.
Melihatnya lebih tenang, entah mengapa membuatku sedikit lega. Kemudian aku berdiri dan meninggalkan Hanina yang masih duduk di meja makan. Aku pun berjalan ke arah sofa, mengambil jaketku yang terlipat di sana dan segera memakainya.
Sebelum keluar, aku sempat menoleh lagi. DIa masih duduk di sana, kecil dan rapuh, dikelilingi sunyi. Hati ini mendesak untuk kembali, tapi tanggung jawab di luar sana menyeret langkahku pergi.
"Aku usahakan untuk pulang cepat dan membawa makanan halal untukmu,"
Gadis itu menoleh dan mengangguk lemah. Tangannya mengepal di atas pangkuan. Aku tahu perasaan itu hampa, seolah dunia baru saja runtuh dan tak ada yang tersisa. Dulu aku mengalaminya, dan sekarang melihat dia seperti ini... membuat sesuatu di dadaku ikut retak.
"Aku pergi..." ucapku, kemudian kupalingkan pandangan dengan susah payah dan melangkah ke pintu. Membuka dan menutupnya sekaligus menguncinya dari luar.
Dalam keadaan seperti ini bukan berarti aku harus mempercayakannya. Kalau sampai dia kabur dan lapor polisi, bisa berantakan hidupku.
Aku melangkah menaiki motor gagahku, memakai helm lalu meluncur keluar dari pagar. Setelah melewati gang sempit, kendaraanku langsung membelah jalan raya.
Jaketku tertiup angin, wajahku dingin menatap jalanan, tapi pikiranku masih tertinggal di rumah bersama Hanina yang sedang duduk sendiri, menanggung duka berat.
Beberapa menit kemudian, aku membelok ke arah kompleks ruko tua yang jadi markas Bos Lou Sheng. Ada papan nama "Toko Ikan Hias & Cuci Sofa" tergantung di atas pintu, tapi tak semua orang tahu kalau yang dijual di sini bukan sekadar ikan atau jasa cuci.
Motorku akhirnya berhenti dan terparkir di sudut halaman ruko. Setelah melepas helm, langkahku mulai memasuki ruko bergaya tradisional tiongkok, jauh dari kesan modern. Beberapa karyawan yang melihat kedatanganku menyapa dengan senyum ramah, tapi aku tak terbiasa membalasnya, hanya diam dan berlalu ke sudut belakang toko dekat pintu gudang.
Tanganku mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi khusus yang hanya dimiliki orang dalam, dan memindai QR code kecil yang tersembunyi di belakang lukisan Koi, nyaris tak terlihat. Suara klik terdengar pelan, lalu sebuah pintu terbentuk dan terbuka otomatis, memperlihatkan tangga gelap menuju ruang bawah tanah.
Begitu sampai di bawah, ruang operasi utama, memperlihatkan jantung markas. Beberapa orang duduk di depan layar monitor, mengamati peta digital kota dengan titik-titik merah dan hijau yang berkedip mewakili pengiriman barang, pergerakan anak buah, atau patroli polisi yang harus dihindari.
"Akhirnya bocah sialan dateng juga!"
Aku menoleh ke sisi kiri, suara Ah Qiang dia mendekatiku.
"Wang Lei! Anjing kampung!"
Menoleh ke arah kanan, Xiao Meng mendekatiku juga. Mereka berdua berjalan ke arahku dengan wajah memerah lalu memegang tanganku kasar, membawaku ke ruangan pribadi Bos.
Pria itu sedang duduk memutar kursinya kearah dinding yang di hiasi lukisan babi. Tapi bukanya suara berat yang penuh kemarahan, justru suara tawa kerasnya yang menyambutku. Alisku bertaut, heran, ada hal lucu apalagi yang di tertawakannya?
Ah Qiang salah satu bodyguardnya mendekat, lalu menunduk hormat di samping kursinya.
"Lapor, Bos. Kurir Wang Lei sudah tiba." katanya. Tapi suaranya teredam suara cekikian si Bos.
"HAHAHA! kau lihat berita pagi ini? Wakil wali kota digerebek sama istri simpanannya di parkiran! Sialan... sampai celananya kedodoran di tarik istri sahnya! HAHAHA... Lucu ini sangat lucu, perutku terasa di kocok-kocok menertawakanya.. AHAHAHA"
Aku mengedip dan memutar bola mata malas, sedangkan yang lainya terdengar menahan tawa dan kalau di ledakkan, maka akan kena pasal pelanggaran organisasi kriminal Babi Giling.
Bos tertawa terpingkal-pingkal di kursinya yang besar dan mewah. Tetapi bagiku itu tidak lucu sama sekali, karena isi kepalaku bukan tentang celana wakil wali kota, tapi tentang seorang gadis bernama Hanina yang sedang berduka dalam kesepiannya.
"Bos, jeda dulu tertawanya, Wang Lei sudah datang, Bos."
"Oh mana, dia?"
"Di belakang, Bos."
Bos Lou Sheng perlahan memutar kursi menghadapku
"Aha! Wang Lei!" serunya dengan semangat, dia menaruh ponselnya di meja kaca lalu menepuk-nepuk lututnya sendiri sebelum berdiri.
Pria tua bermata sipit itu melangkah mendekat. Di hadapanku adalah pria dengan perutnya yang menonjol seperti wanita hamil tujuh bulan, rambutnya botak setengah, disisir rapi ke belakang, mirip model majalah tahun 80-an. Hari ini dia pakai jas warna hijau stabilo dengan dasi motif macan tutul. Astaga.
"Bos sedang ingin tertawa-tawa hari ini. Tapi kau… kenapa wajahmu muram seperti orang miskin yang tidak kebagian sembako, hah? Haha..." katanya sambil menyipitkan mata ke arahku lalu tertawa keras. Sialan, mentang-mentang bos besar, ngemaki bawahan seenak lututnya.
Aku hanya menatapnya datar.
"Tidak ada yang lucu hari ini, Bos."
"Hah! Kau memang jarang bisa diajak bercanda, Wang Lei. Tapi itu bagus. Dunia kita tidak butuh banyak pelawak."
Dia berbalik, melangkah kembali ke kursinya dan duduk pelan, lalu menunjuk meja di sampingnya, tempat sebuah koper hitam tergeletak.
"Itu barangnya?" tanyaku.
"Ya, ini baranganya..." Bos Lou Sheng mengangguk, sambil menepuk-nepuk koper itu.
"Sebenarnya hari ini aku ingin marah karena kau terlambat, tapi ada sesuatu yang membuatku bahagia hari ini..."
"Apa? Kolor wakil wali kota itu?" tanyaku datar.
Dia terkekeh keras.
"Haha... Bukan, bukan itu, kau akan tahu nanti. Sekarang... kau bersiaplah, jangan sampai membuat clienku menunggu lama lagi ayo sana!"
"Bos, pengawalan bagaimana?"
"Kau akan di kawal dengan Dai Feng, Ah ming dan Lou hu.. Seperti biasa kau yang memimpin mereka."
Dahiku mengkerut, melirik Ah Qiang dan Xiao Meng.
"Kenapa mereka? Biasanya Dua bedebah ini yang mengawalku."
Bos Lou sheng mendengus pelan lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Bos butuh mereka di sini. Kita sedang persiapan transaksi besar minggu depan. Kau tahu, senjata masuk, narkoba keluar, seperti biasa… Tapi hari ini, kau fokus antar koper itu. Yang Amanah, ya."
Aku mengangguk Pasrah. Perintah kali ini terdengar seperti transaksi penyerahan nasi kotak ke panti asuhan. Di luar perkiraanku.
"Baik." jawabku singkat.