Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.
Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.
Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 : Dibawah Lampu Taman, Cinta Dan Kebohongan Bertabrakan
Freya berjalan cepat melewati jalan kecil yang memisahkan rumahnya dengan taman kota. Suasana malam itu cukup tenang, hanya terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin malam. Lampu taman yang redup menciptakan bayangan panjang di tanah basah. Tak banyak orang yang berkeliaran. Hanya ada Freya dan ketegangan dalam dadanya yang ikut melangkah bersamanya.
Ketika sampai di taman, ia langsung melihat sosok Shani duduk di kursi besi, di bawah lampu taman yang menghadap ke kolam. Hoodie abu-abunya masih sama. Ia seperti belum sempat menggantinya sejak siang tadi. Tapi sebenarnya, itu Hoodie yang baru.
Freya berjalan mendekat. Hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Maaf, menunggu lama," ucap Freya pelan.
Shani menoleh, lalu memberi isyarat agar duduk di sampingnya. Ia tidak langsung bicara, hanya menggenggam jemarinya sendiri, menunduk, seakan mencoba mengatur napas atau menyusun keberanian. "Aku minta maaf," kata Shani tiba-tiba. Freya menatapnya, menunggu. "Aku sudah terlalu lama diam... terlalu lama membohongi diriku sendiri, dan mungkin juga membohongi kamu," lanjut Shani.
Freya tetap tak menyela. Ia tahu Shani sedang berjuang dengan kata-katanya sendiri. "Aku sempat ragu dengan diriku sendiri, atau bahkan perasaanku. Alasanku menggantung perasaanmu, alih-alih menolakmu, karena aku melihat kau dan aku memiliki kesamaan. Kita berdua mengerti tentang rasa sendiri. Aku berkali-kali menimbang untuk memberikan jawaban padamu. Dan, malam ini aku pikir aku harus mengatakannya." Ujar Shani.
Freya menatap Shani, mendengarkan tanpa memotong satu kata pun. Suara angin malam seperti berhenti sebentar. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri beradu dengan ketegangan yang belum luruh. Shani menoleh, menatap Freya lebih dalam. "Aku tidak ingin menggantungmu lagi, Frey. Karena itu jahat. Karena itu membuatmu menunggu sesuatu yang mungkin tak pernah pasti."
Freya masih diam. Matanya menyipit pelan, bukan marah, tapi penuh harap. Shani berdiri kemudian berlutut di hadapan Freya. Menggenggam tangan gadis itu dengan erat. "Aku menyukaimu." Suara Shani nyaris seperti bisikan, namun jelas. "Aku tidak tahu sejak kapan, tapi perasaan itu tumbuh... dengan cara yang tidak bisa kutolak. Dan aku takut. Bukan takut mencintaimu, tapi takut… tidak bisa melindungimu setelah kamu tahu siapa aku sebenarnya."
Freya menarik napas pelan. Hatinya nyeri, sekaligus hangat. Shani melanjutkan, "Ada hal-hal yang masih belum bisa aku ceritakan sekarang. Tapi itu bukan karena aku ingin menjauh. Justru sebaliknya. Aku ingin kamu tetap dekat, agar kamu bisa melihat semuanya sendiri, dan memutuskan… apakah aku pantas kau percaya."
Freya mengangguk pelan. "Aku tidak butuh semua jawabanmu malam ini, Shani. Aku hanya butuh satu kalimat kalimat yang sudah kau ucapkan sebelumnya. Dan, aku ingin kamu mengulanginya lagi." Pinta Freya.
Shani tersenyum lemah. "Aku mencintaimu." Ucap Shani, jujur.
"Aku juga." Balas Freya. Keduanya saling merangkul dibawah sinar lampu taman. Pelukan itu tidak lama, tapi cukup untuk menghapus keraguan yang telah menumpuk selama berbulan-bulan di antara mereka.
Freya memejamkan mata. Dadanya terasa ringan. Ia tak peduli apakah dunia di sekelilingnya sedang kacau. Tak peduli dengan pesan misterius, rekaman yang beredar, atau tentang apapun. Saat ini, yang ia tahu hanyalah satu hal—ia memilih untuk percaya. "Makasih, udah nerima gadis kayak aku." bisik Freya pelan di bahu Shani.
"Kamu gadis yang spesial."
Shani mengeratkan pelukannya.
"Ekhm! Enak banget, ya. Yang baru jadian." Freya dan Shani terlonjak pelukan mereka terlepas. Azizi dengan senyuman jahil menghampiri mereka. "Sorry, kalau ganggu. Orang tuamu menelpon, Frey. Aku bilang kalau kau pergi keluar sebentar. Tapi aku tunggu tidak datang juga. Yaudah, susul kesini." Ucap Azizi.
"I-iya, gak papah." Ujar Freya sedikit tersipu.
"Aku antar pulang." Tawar Shani.
"Tidak usah, rumahku juga dekat dari sini. Kamu pulang aja, sampai jumpa besok." Ucap Freya. Ia berpamitan pada Shani, meninggalkan Shani yang masih berdiri sampai bayangan Freya dan Azizi benar-benar hilang.
Setelah itu, seseorang keluar dari kegelapan. Orang itu sejak tadi ada di sana. Bersembunyi dalam bayang pepohonan. Dan, setelah Freya dan Azizi pergi, orang itu dengan santai menghampiri Shani yang masih tidak melepaskan pandangannya dari jejak Freya. Setelah dekat, orang itu memeluk tubuh Shani dengan lembut dari belakang.
"Selamat ya, kamu dan dia sudah resmi jadian. Meski hanya sebuah sandiwara." Ucapnya sedikit tertawa.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya, Gracia." Ucap Shani tanpa menoleh. "Kau menjebakku sampai membuatmu hamil, lalu sekarang kau melibatkan orang yang tidak tau apapun." Lanjutnya.
"Aku hanya membuat semuanya terlihat menarik saja. Sejak dulu aku memang tidak menyukai gadis itu. Aku dan dia tidak ada bedanya, tapi kenapa hanya dia yang selalu disanjung di seluruh sekolah. Tapi aku, meski semua orang tidak berkata langsung di depanku, tapi aku tau diam-diam mereka mencibirku. Bukankah itu tidak adil." Ucap Gracia.
"Itu karena dirimu sendiri yang suka pergi ke Club. Sehingga mereka menilaimu sebagai gadis yang buruk." Balas Shani.
"Mereka hanya melihat dari satu sisi, lalu dengan mudah menilai aku seolah aku adalah gadis paling buruk, begitu maksud kamu? Aku berusaha untuk menjadi lebih baik. Tapi sedikitpun tidak ada orang yang mengerti. Aku muak dengan semuanya. Jadi, aku putuskan untuk membuat semuanya menjadi menarik dengan mengorbankan dirimu sendiri. Memberitahu semua orang bahwa aku sedang hamil, membuat mereka menerka-nerka siapa yang sudah menghamiliku. Orang-orang bodoh seperti mereka tidak akan pernah menyangka, kalau orang yang menghamiliku, adalah Siswa terpintar di seluruh sekolah." Ujar Gracia.
Shani bungkam. Ia tidak tau harus bersikap seperti apa. Ia telah kalah dalam permainan yang sengaja Gracia buat untuk menjebaknya. Dan yang lebih jahat, Ia melibatkan Freya yang tidak tau apapun dalam permainan bodoh ini. Pada akhirnya Shani sudah bisa menebak, Freya akan sangat membencinya ketika mengetahui semua ini.
...***...
Keesokan paginya, suasana di sekolah kembali dingin, meski matahari bersinar terang. Freya dan Shani belum sempat bicara sejak tadi malam. Mereka sepakat untuk tak langsung menggembar-gemborkan hubungan mereka, demi menjaga ketenangan suasana.
Suara bel istirahat pertama menggema. Siswa-siswa mulai keluar dari kelas. Beberapa mengobrol di koridor, beberapa langsung ke kantin. Freya masih duduk di bangkunya, memandangi halaman sekolah lewat jendela. Matanya kosong, pikirannya masih terjebak pada kata-kata Shani tadi malam. Tapi sekarang, semua terasa rumit lagi. Ada sesuatu dalam nada Shani tadi malam... sesuatu yang belum sempat Freya pahami sepenuhnya.
Dari kejauhan, ia melihat Shani berjalan pelan di arah lapangan. Sendirian. Tanpa hoodie abu-abu itu. Freya ingin menghampiri, tapi kakinya ragu. Ia memilih tetap duduk. Ada perasaan aneh yang muncul—semacam firasat buruk yang tidak bisa ia abaikan.
"Hei, Frey."
Freya menoleh. Azizi sudah duduk di kursi sebelahnya dengan wajah tenang tapi matanya menyiratkan sesuatu. "Kamu nggak apa-apa, kan? Tadi malam kamu... ya, terlihat bahagia. Tapi sekarang malah kayak orang kehilangan arah."
Freya tersenyum tipis. "Aku bahagia. Tapi rasanya... nggak sesimpel itu."
Azizi tidak langsung menjawab. Ia tahu, ini bukan saatnya melempar candaan. "Kalau kamu butuh seseorang buat dengerin, aku selalu ada. Tapi... aku juga punya sesuatu yang harus kamu tau."
Freya menatapnya dengan dahi mengernyit. "Apa?"
"Aku di lamar, Frey." Ucap Azizi terlihat bahagia.
Freya terlihat tercekat, ia tidak tau kalau Azizi sudah memiliki kekasih hati. Karena selama ini, gadis itu tidak pernah sedikitpun membicarakan tentang orang yang membuatnya jatuh cinta. "Dilamar? Sama siapa?" Tanya Freya.
"Inget gak, sama Danni." Ucap Azizi.
Freya mencoba mengingat, ia merasa tidak asing dengan nama itu. "Danni...maksudmu Zeng Danni. Cowok blasteran Cina yang dulu sering kamu pukulin waktu kecil?" Terka Freya.
Azizi mengangguk-angguk. "Iya, bulan lalu orang tuaku bilang kalau aku di jodohkan dengannya. Dan Minggu kemarin dia datang sendiri untuk melamarku." Ucap Azizi. Tidak bisa di pungkiri gadis itu terlihat bahagia.
"Sejak kapan kamu cinta sama dia?" Tanya Freya.
"Sejak kita sama-sama remaja. Dulukan kamu tau sendiri, dia itu gendut, manja, dan lembek. Tapi sekarang dia ganteng banget, keren juga." Ucap Azizi.
"Aku sudah lama tidak bertemu dengannya, jadi aku sedikit lupa." Ucap Freya.
"Dia bilang, besok dia akan pindah ke sekolah ini. Siapa tau Kita bisa double date." Ucap Azizi.
"Aku tidak yakin Shani akan mau. Aku dan dia hampir sama. Kami tidak terlalu mengerti tentang menjalin hubungan." Ucap Freya.
"Tidak masalah, jika kamu mau." Freya dan Azizi sama-sama menoleh. Dari arah pintu, Shani berjalan menghampiri mereka. Ia membawa kantong makanan yang entah apa isinya. "Aku tidak melihat kamu di kantin. Di perpustakaan juga tidak ada. Jadi aku menduga kamu ada di kelas. Aku belikan ini." Lanjut Shani.
"Makasih..." Ucap Freya tersenyum.
"Tunanganmu akan pindah kesini, besok?" Tanya Shani menoleh pada Azizi.
"Iya, dia teman masa kecilku dengan Freya. Kalian bisa berkenalan nanti." Ucap Azizi.
"Dengan senang hati." Balas Shani.
Suara bel berbunyi, pertanda pelajaran selanjutnya akan di mulai. Terdengar bunyi yang ramai di lorong sekolah, pertanda para murid hendak kembali masuk kedalam kelas. "Aku ke kelas dulu, ya. Kita pulang bersama nanti." Ujar Shani.
"Iya, sampai jumpa nanti." Ucap Freya. Karena kelas Shani dan Freya berbeda, Shani berpamitan pada kekasihnya sebelum murid-murid di kelas itu masuk kedalam.