Di kehidupan sebelumnya, Nayla hidup dalam belenggu Adrian.
Tak ada kebebasan. Tak ada kebahagiaan.
Ia dipaksa menggugurkan kandungannya, lalu dipaksa mendonorkan ginjalnya kepada saudari kembarnya sendiri—Kayla.
Ia meninggal di atas meja operasi, bersimbah darah, dengan mata terbuka penuh penyesalan.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua.
Di kehidupan ini, Nayla bersumpah: ia tidak akan jatuh di lubang yang sama.
Ia akan membuka topeng dua manusia berhati busuk—mantan kekasih dan saudari tercintanya.
Namun kali ini... apakah ia bisa menang?
Atau akan ada harga baru yang harus ia bayar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julie0813, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Tamparan Ini untukmu, Pria Brengsek
Aura pria itu begitu kuat, bahkan dari jarak sejauh ini pun membuat Nayla merasa tegang luar biasa. Ia berusaha sekuat mungkin tetap tenang, agar tak membuat kesalahan sekecil apa pun.
Yang penting—tolak Rayyan, nyatakan sikap, buat Adrian senang, maka ia pasti akan mengizinkannya kembali bersekolah.
Di kehidupan sebelumnya, tepat di tempat ini, ia dan Rayyan pernah berpelukan di taman—dan pemandangan itulah yang dilihat langsung oleh Adrian.
Sebagai konsekuensinya, malam itu Adrian meluapkan amarahnya pada Nayla di kamar tidur, tanpa memberikan satu pun penjelasan. Setelah itu, ia bahkan mengurung Nayla berhari-hari. Izin bersekolah pun baru Nayla dapatkan setelah mengancam dengan nyawanya sendiri.
Nayla tidak ingin mengulang luka itu. Tidak lagi.
“Nggak mungkin!” Rayyan mengernyit tak percaya.
“Na, ada apa denganmu? Kita dulu sudah sepakat... Apa yang barusan kamu lakukan itu semua cuma pura-pura?”
“Iya.” Nayla mengangguk. Wajahnya yang bersih dan cantik kini penuh ketegasan.
“Aku cuma tak ingin mengecewakan Kak Kayla. Tapi, Rayyan... sejak ulang tahunku yang ke-18, aku sudah menjadi istri Tuan Adrian.”
Mendengar itu, wajah Rayyan langsung menggelap.
“Jangan bilang... kamu benar-benar menyukai Adrian?”
“Iya.” Nayla menatapnya lurus, tanpa ragu sedikit pun.
Rayyan terlihat terpukul. Ia menunjuk Nayla dengan ekspresi terluka.
“Kita pernah berjanji saat kamu 17 tahun, ingat Nay? Kita akan bersama selamanya! Kamu berubah... Kamu bahkan tidak menjaga harga dirimu sendiri! Adrian sudah seperti itu padamu, dan kamu—tidak! Aku harus bicara dengan Paman, biar kamu dibawa pulang sekarang juga!”
Nayla menarik napas. Wajahnya sedikit berubah, tapi tetap tenang.
“Terima kasih atas perhatianmu, tapi tidak perlu. Sekarang sudah malam, Adrian pasti sedang mencariku. Sampai jumpa.”
Ia hendak berbalik, namun Rayyan dengan cepat menangkap pergelangan tangannya.
Nayla memutar bola matanya diam-diam—Pria ini terlalu pandai berakting, kenapa nggak langsung jadi bintang film saja?
“Tolong lepaskan, Rayyan.” ucap Nayla datar tanpa menoleh.
Namun Rayyan tak juga melepas genggamannya. Matanya tampak sedih, namun nada suaranya penuh keterpaksaan.
“Nayla, aku nggak percaya kamu suka Adrian... Kamu pasti dipaksa, kan?!”
Dan sebelum Nayla bisa bereaksi, Rayyan membalikkan tubuh dan hendak mendekat untuk menciumnya.
Refleks, Nayla mengayunkan tangannya.
Plak!
Suara tamparan terdengar nyaring.
Kepala Rayyan menoleh ke samping, diam membeku beberapa detik, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan.
Ia benar-benar tidak menyangka—Nayla berani menamparnya.
Nayla sendiri pun sedikit tercengang. Ia tak berani menatap ekspresi Rayyan, buru-buru berbalik dan melangkah pergi.
Tapi dalam hatinya... luar biasa lega.
Tamparan itu memang untukmu, dasar pria brengsek!
Taman kembali sunyi.
Di sudut gelap, Adrian masih berdiri diam. Ia melirik sekilas ke arah Rayyan yang masih terpaku dengan wajah suram, lalu tanpa berkata sepatah kata pun, berbalik dan berjalan pergi. Asistennya mengikuti di belakang dengan sikap penuh hormat.
Sementara itu, Rayyan menahan amarah yang membara di dada.
Padahal rencananya sudah disusun rapi bersama Kayla—begitu dia dan Nayla “berduaan” di taman, Kayla akan memberi tahu Adrian bahwa Nayla menghilang, memancing Adrian untuk datang dan menyaksikan “adegan mesra” itu dengan matanya sendiri.
Tapi mengapa Nayla tiba-tiba berubah?
Bukankah dulu Nayla selalu menuruti semua ucapannya?
Rayyan hanya bisa berharap Adrian belum sempat melihat apa pun. Ia mengusap pipinya yang masih panas dan sedikit bengkak, lalu menggeram pelan dan pergi dari taman belakang dengan wajah kelam.
Saat Nayla kembali ke aula pesta, ia bertemu dengan Kayla yang sebelumnya tampak penuh harap.
Namun begitu melihat Nayla sendirian kembali, wajah Kayla langsung berubah.
“Kamu sudah kembali, Nay?” tanyanya cepat, dengan nada agak gugup.
Mendengar itu, mata Nayla langsung berkaca-kaca. Ia menggigit bibir, memasang ekspresi seolah-olah sangat terluka.
“barusan Rayyan coba menciumku, kak...Aku takut… jadi refleks menampar dia. Kak, kamu kira… dia akan membenciku?”
“Tentu tidak, tentu tidak.” Kayla buru-buru menenangkan sambil menahan ekspresi kaget.
“Tapi… Rayyan sekarang di mana?” tanyanya sambil melirik ke belakang Nayla.
“Aku nggak tahu…” Nayla menggeleng pelan.
“Kalau begitu, kamu cari Tuan Adrian dulu, ya?” Kayla menepuk lembut punggung Nayla, matanya sedikit gelisah.
“Rayyan biar aku yang urus. Jangan takut.”
“Iya, Kak.” Nayla mengangguk manis, wajahnya polos seperti gadis yang baru saja terluka perasaannya.
Namun baru beberapa langkah meninggalkan Kayla, ia langsung berpapasan dengan Adrian.
Pria itu berjalan mendekat, tubuhnya tinggi besar, menutupi seluruh pencahayaan di belakangnya. Wajahnya dingin, nyaris tak terlihat emosi apa pun, tapi justru karena itulah… kesan kuasanya semakin kuat.
“Kamu dari mana?”
Suara itu rendah namun mengandung tekanan.
Nayla merinding seketika, tubuhnya refleks menggigil sedikit.