Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Sudah Pa, sudah..." Ghina menahan tangan Ahmad suaminya ketika hendak menghajar Abdullah. Ahmad marah, kecewa dan syok ketika tahu bahwa putra satu-satunya bukan hanya mengecewakan orang tua, tapi Dila yang lebih tersakiti dan menjadi korban.
"Kenapa kamu tidak memberi tahu ketika hendak menikah Dul? Kamu sudah tidak membutuhkan kami orang kamu, begitu?!" Ahmad tidak menyangka jika anak yang ia didik dengan baik, tapi bisa tega dengannya, Ahmad merasa tidak dianggap. Melakukan pernikahan jangankan ia diundang diberi tahu pun tidak.
"Karena kelakuan kamu, Papa sudah menyakiti Dila, tahu tidak, Dul! Jika Papa tahu kamu sudah menikah mana mungkin kami menjodohkan kalian?!" Bentak Ahmad.
"Pa..." Ghina menuntun suaminya keluar dari kamar Abdullah, maksudnya memanggil papa Ahmad agar bertanya baik-baik bukan emosi begini, jika dibiarkan, kesehatan Ahmad yang menjadi taruhan.
"Papa malu sama Umar, Ma. Bagaimana ini?" Ahmad bingung tidak mungkin menceritakan kepada besan dalam keadaan sakit seperti sekarang.
"Sebaiknya jangan cerita dulu Pa, mungkin saja Dila pulang ke rumahnya" Ghina menyarankan kepada suaminya agar mengerahkan orang-orang nya untuk mencari Dila.
"Ide yang bagus, Ma" Ahmad sampai tidak bisa berpikir kerena terbawa emosi.
Sementara itu Abdullah, keluar dari kamar dengan motor besarnya hendak ke kediaman mertua. Dalam perjalanan ia berharap Dila memang pulang ke sana.
Deg-degan yang dirasakan Abdullah begitu tiba di latar rumah bata merah tanpa plester, itulah kediaman pak Umar. Entah bagaimana caranya untuk bertanya tentang Dila ketika tatapan matanya tertuju kepada pria yang duduk di atas kursi roda, tepatnya di teras rumah.
"Nak Abdullah..." Pak Umar tersenyum kepada menantunya itu.
"Bagaimana keadaan Bapak?" Abdullah segera angkat telapak tangan mertua pria yang dipangku di atas lutut, menciumnya hormat. Abdullah kemudian berjongkok di depan Pak Umar, sebenarnya takut untuk menatap matanya, tapi memberanikan diri.
"Kamu sendirian, Dila kok tidak diajak?" Tanya pak Umar, lagi-lagi pertanyaan itu menyesakkan dada Abdullah.
"Dila tidak bisa ikut Pak, karena sekarang bekerja lagi, sebenarnya sudah saya larang, tapi nekat" Abdullah terpaksa mengarang cerita, terasa berat untuk jujur tentang kepergian Dila, selain takut juga mengkhawatirkan kondisi pak Umar.
"Anak itu memang biasa mandiri Dul, walaupun kamu larang bekerja pasti akan nekat. Maafkan anak Bapak kalau tidak berkenan di hati kamu" pak Umar bercerita, ketika masih sekolah SMA pun Dila bekerja sore hari di fotokopi.
Abdullah mengangguk, andai saja pak Umar tahu apa yang terjadi dengan putrinya, Abdullah yakin pipinya akan kena gampar lagi.
"Ada Nak Abdullah, kok tidak masuk..." bu Aminah yang baru dari warung segera mendorong roda pak Umar ke dalam diikuti Abdullah.
"Ibu dari mana?" Abdullah pun melakukan hal yang sama dengan pak Umar yaitu salim tangan.
"Dari warung Dul, sebentar ya, lanjut saja ngobrolnya" bu Aminah ke dapur hendak membuat minum. Hanya dalam waktu lima menit sudah kembali membawa teh hangat.
Abdullah tidak bisa lama-lama di rumah itu, setelah meneguk teh hangat sembari berbincang-bincang tentang Dila dan kesehatan pak Umar kemudian pulang.
"Ma, boleh tidak kalau aku mengajak istri pertama aku kesini?" Tanya Abdullah ketika sore harinya sedang ngobrol kepada mama.
"Tidak bisa!" Ahmad tiba-tiba muncul melarang tegas. "Kamu sudah siap kepala kamu dipenggal Pak Umar?!" papa Ahmad menatap tajam putranya itu.
"Kata Papa kamu benar Dul, jangan dibawa kesini" Ghina berkata lembut.
"Otak kamu itu letaknya dimana Dul, didengkul? Pak Umar sudah merelakan segalanya untuk keluarga kita. Dulu ginjalnya, dan sekarang putrinya dengan harapan hidup bahagia, tapi kamu justru menyakiti hati Dila berkali-kali," Ahmad berkali-kali mengucap Istigfar agar tangannya tidak melayang ke wajah putranya.
"Baik Pa, Ma. Kalau gitu aku mencari Dila dulu" Abdullah tidak kuat lama-lama berada di tengah-tengah keluarganya yang masih memanas, terutama papa Ahmad.
Abdullah pun kembali melanjutkan perjalanan, tapi dia bingung hendak mencari Dila kemana. "Apa aku mencari ke tempat kerja saja" gumamnya, seketika ia ingat Dila pernah mengatakan jika bekerja di salah satu catering. Entah dimana lokasinya, Abdullah belum mengetahui.
Abdul pun menghentikan motornya ketika sudah tiba di dekat rumah. Bukan bermaksud pulang, tetapi membuka Google mencari catering yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Ada empat catering di sekitar rumah, lagi-lagi Abdullah bingung entah mau memilih yang mana. "Apa mungkin catering Eco yang Dila maksud" Abdullah pernah memesan makanan di catering itu ketika ada acara ulang tahun perusahaan Barra.
Terpaksa empat catering Abdullah datangi semua, tiga diantaranya hanya catering rumahan kecil-kecil, dan tidak ada pekerja yang bernama Dila. Yang terakhir, Abdullah mendatangi Catering Eco selain besar juga terkenal.
"Ada yang bisa saya bantu Tuan?" Tanya satpam yang berjaga di pintu masuk.
"Saya ingin bertemu bu Lia" jawab Abdullah, lebih baik menemui bu Lia yang sudah ia kenal ketika memesan makanan beberapa bulan yang lalu.
"Silakan duduk Tuan, saya panggilkan Mbak Lia" satpam pun meninggalkan Abdullah. Tidak lama kemudian satpam kembali, tapi bukan bersama Lia melainkan seorang pria muda.
"Saya mewakili bu Lia Tuan, ada yang mau dipesan?" Imam langsung saja bertanya, karena ia pernah bertemu tamunya itu beberapa kali ketika memesan makanan di catering dengan jumlah yang banyak.
"Maaf, kali ini saya bukan mau memesan makanan," Abdullah menanyakan apakah ada pekerja wanita yang bernama Nadila Putri.
"Oh, Nadila itu calon istri saya itu Tuan..." Imam percaya diri.
"Calon istri?" Abdullah terkejut bukan main.
"Masih samar-samar Tuan, baru pendekatan" Imam tersenyum simpul.
"Boleh saya bertemu dengannya?" Abdullah tidak mau menggubris Imam yang menurutnya ngawur. Mana mungkin Dila mau dengan pria selain dirinya karena istrinya itu sangat mencintainya.
"Sudah dua hari ini Dila tidak masuk kerja Tuan..." jujur Imam. Imam pun sebenarnya sejak kemarin menunggu Dila. Bahkan ia hubungi handphone Dila, tapi tidak aktif.
Abdullah pulang dengan tangan kosong, tapi berharap ketika tiba di rumah nanti Dila sudah kembali. Kecewa yang Abdullah dapat, ketika tiba sampai tujuan pun sepi, tidak ada tanda-tanda Dila pulang. Abdullah masuk ke kamar Dila, tatapan matanya tertuju pada koper, ia bergerak maju memeriksa isi koper tersebut masih penuh, itu artinya Dila tidak membawa pakaian.
"Kenapa baju Dila tidak dimasukkan ke lemari? Monolog Abdul. Abdullah membuka lemari yang masih kosong, seketika ingat saat pertama kali Dila menginap di kamarnya. Dia marah tidak mengizinkan istrinya yang baru sah itu menyimpan pakaian di lemari, bahkan mau ke kamar mandi pun ia larang.
"Maafkan aku Dila..." sesal Abdullah, menangis tergugu memeluk koper. Menenggelamkan wajahnya di sana, ia abaikan walaupun panggilan telepon bergetar terus-menerus.
...~Bersambung~...
pokoknya ditunggu banget kelanjutannya author
semngattttt
Faiz, sementara ajak Dila ke rumah orang tuamu agar Dila menemukan kebahagiaan & kedamaian dirinya & keluarganya