Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Sudah sebulan sejak Alya membuka kelas luring pertamanya, dan dalam waktu singkat, namanya menyebar. Bukan karena sensasi, tapi karena keberanian. Ia dikenal bukan sebagai “istri kedua Dimas Arsyad” lagi, tapi sebagai Alya Mareska — pendiri komunitas “Suara Kedua” yang kini berkembang pesat di berbagai kota.
Tak lama setelah itu, sebuah undangan datang. Dari Forum Perempuan ASEAN, yang akan digelar di Kuala Lumpur. Topik yang diminta: “Dignity Beyond Marriage: Cerita Perempuan dari Sudut Tak Terlihat.”
Alya sempat ragu. Tapi Rey yang mendampinginya saat itu, dengan tenang berkata, “Kamu tidak harus hebat di panggung itu. Cukup jadi dirimu yang asli. Itu sudah lebih dari cukup.”
Kuala Lumpur, Malaysia.
Gedung pertemuan internasional tampak megah. Alya mengenakan setelan gamis putih tulang dengan selendang motif batik biru tua, lambang dari kampung halamannya. Wajahnya tenang, tapi telapak tangannya dingin. Rey berjalan di sampingnya, tak berkata banyak, hanya sesekali menatap seolah berkata: “Kamu bisa.”
Saat naik ke podium, ratusan mata tertuju padanya. Di deretan depan, hadir aktivis, politisi perempuan, bahkan media internasional.
Alya menghela napas panjang. Lalu mulai bicara.
“Namaku Alya. Aku dulu istri kedua. Tapi bukan itu identitasku.
Aku pernah diam. Bertahun-tahun. Bukan karena tak punya suara, tapi karena aku takut suaraku akan membuat orang lain tidak nyaman.
Tapi kenyataan jauh lebih menyakitkan daripada ketidaknyamanan orang lain:
Ketika perempuan dijadikan pilihan, bukan pasangan. Ketika cinta dinilai dari urutan, bukan ketulusan.”
“Hari ini, aku berdiri bukan untuk melawan pernikahan, tapi melawan ketidakadilan dalam relasi yang dibungkus dengan nama suci.
Aku berdiri untuk perempuan yang tak bisa bicara. Untuk diri masa laluku.
Dan untuk perempuan masa depan yang harus tahu: mereka boleh memilih, dan itu bukan dosa.”
Tepuk tangan tak langsung bergemuruh. Tapi kemudian, satu per satu berdiri. Dan Rey, di pojok ruangan, menunduk dalam, menahan haru.
Malam hari.
Rey mengajak Alya berjalan di taman kota yang sejuk dan diterangi lampu-lampu kecil. Ia menggenggam satu amplop.
“Alya…” katanya pelan. “Ini bukan lamaran. Tapi ini kejujuran.”
Ia menyerahkan amplop itu. Alya membuka dan membaca:
Kontrak Kerja
Project: Sekolah Perempuan Asia Tenggara
Posisi: Direktur Program Regional — Alya Mareska
Alya menoleh, terkejut.
“Aku dan beberapa kolega di lembaga regional ingin kamu yang pimpin. Gajinya tidak besar, tapi pengaruhmu... akan lebih luas. Akan ada tim di Vietnam, Filipina, dan Indonesia.”
Alya mengatupkan bibirnya. Matanya mulai berkaca.
“Kenapa kamu melakukan ini, Rey?”
Rey menatapnya lekat. “Karena kamu lebih dari perempuan yang pernah terluka. Kamu adalah perempuan yang membuat luka itu jadi pelita. Dan aku ingin dunia tahu itu.”
Hening menggantung di antara mereka. Rey tak menuntut jawaban. Ia tahu Alya butuh waktu.
Dimas berdiri di depan rumah tua di sudut Kebayoran. Di dalam rumah itu tinggal seorang perempuan muda bernama Nira, mantan staf bagian keuangan perusahaan miliknya dulu. Ia baru bercerai, dengan satu anak laki-laki kecil yang sakit bawaan lahir.
Dimas tak datang dengan niat apapun. Ia hanya ingin membantu—diam-diam. Ia membiayai pengobatan si kecil, tanpa menyebut nama. Ia mulai memperbaiki hidup, bukan demi citra, tapi karena akhirnya ia sadar: kebaikan sejati bukan tentang terlihat, tapi tentang niat.
Ketika Nira tahu siapa yang membantu, ia hanya menunduk.
“Kenapa Anda lakukan ini, Pak Dimas?” tanyanya hati-hati.
Dimas menjawab pelan, “Karena aku dulu melukai seseorang yang seharusnya aku lindungi. Sekarang aku ingin memastikan luka itu tidak menular ke orang lain.”
Kembali ke Alya
Ia kembali ke Indonesia dengan hati yang ringan tapi penuh tanya. Selama seminggu, ia tak membalas pesan dari Rey maupun Dimas. Ia butuh waktu. Namun malam itu, di kamar kecilnya, ia menulis satu surat. Bukan untuk dikirim. Tapi untuk dibaca keras-keras kepada dirinya sendiri.
“Untuk Alya yang dulu,
Terima kasih telah bertahan.
Kini, kamu tak perlu lagi meminta dipilih.
Karena kamu telah memilih dirimu. Dan dunia memilih mendengarkanmu.
Jika cinta datang lagi, biarlah ia berjalan seiring.
Tapi kamu tak akan pernah lagi berjalan di belakang siapa pun.
Kamu—akhirnya—menjadi tokoh utama dalam hidupmu sendiri.”
Suatu hari nanti, Alya mungkin akan mencintai lagi. Mungkin Rey, mungkin bukan. Tapi siapapun dia, Alya akan mencintai dari tempat yang utuh—bukan dari luka.
Dan Dimas? Ia tak lagi menjadi tokoh antagonis. Ia adalah cerminan dari banyak lelaki yang belajar… meski terlambat. Tapi belajar tetaplah awal dari perubahan.
*
Matahari pagi di Jogja menelusup lewat jendela rumah kontrakan kecil tempat Alya kini tinggal. Ia baru saja tiba dari Filipina setelah menyelesaikan pelatihan regional pertamanya. Di ruang tengah, ada dua koper, beberapa buku kerja, dan satu surat tergeletak di bawah pintu.
Tanpa nama pengirim.
Tulisan tangannya ia kenali sejak dulu.
Dimas.
Alya menatap amplop itu beberapa detik. Nafasnya pendek. Ia belum pernah menerima surat dari Dimas secara pribadi sejak mereka berpisah secara resmi. Email, iya. Tapi ini... tulisan tangan.
Ia duduk. Membuka surat itu perlahan.
Untuk Alya, perempuan pertama yang mencintaiku dengan seluruh nafasnya.
Mungkin ini surat terakhir yang akan kamu terima dariku. Aku menulis ini karena aku tak ingin pergi tanpa berpamitan, tanpa mengatakan satu hal terakhir:
Aku mencintaimu—dan aku tahu aku mengatakannya di saat kamu sudah tidak membutuhkannya lagi.
Minggu lalu, aku divonis mengidap penyakit degeneratif langka. Harapan hidupku tak lebih dari setahun. Sementara aku belum menebus separuh kesalahan yang aku buat padamu.
Tapi aku tak menulis ini untuk mengundang simpati. Aku menulis ini sebagai warisan kejujuran.
Kamu selalu bilang sama aku “Kebenaran tak harus menyenangkan. Tapi harus hadir.” Maka inilah kebenaranku,
Aku memilih Livia bukan karena cinta, tapi karena takut.
Takut pada tuntutan keluarga. Takut pada citra.
Takut bahwa seorang perempuan sepertimu—bebas, berani, tak tunduk—tidak akan bisa dikendalikan.
Dan aku sadar, cinta bukan soal siapa yang bisa dikendalikan, tapi siapa yang bisa dipercaya untuk berdiri sejajar.
Kamu seharusnya tak pernah jadi madu. Kamu seharusnya jadi cahaya di meja utama.
Tapi aku—aku yang mengecilkan-mu, agar egoku tak terasa rendah.
Jika suatu hari kamu bahagia dengan orang lain, jangan takut untuk benar-benar mencintai.
Jangan biarkan luka dariku menodai cinta berikutnya.
Rey, jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan berdiri bersamamu, bukan di depanmu.
Maaf, Alya. Bukan karena aku mencintaimu di akhir, tapi karena aku tak cukup lelaki saat kamu mencintaiku di awal.
Dimas.
Surat itu diletakkan Alya di atas meja. Ia tidak menangis. Tapi hatinya terasa kosong, seolah diisi ulang dengan perasaan yang belum sempat ditata. Bukan karena ia masih mencintai Dimas, tapi karena ia akhirnya tahu bahwa luka yang dulu menahannya... telah meminta maaf sendiri.
Beberapa hari kemudian.
Rey mengajaknya ke sebuah tempat di Ubud, Bali. Ia bilang, “Ini bukan liburan. Ini undangan untuk memilih masa depan.”
Alya diam. Tapi ia ikut.
Di sebuah vila kecil yang dikelilingi sawah, Rey menunjukkan pada Alya sebuah peta program kerja mereka untuk tiga tahun ke depan: pendidikan perempuan desa, rehabilitasi janda korban kekerasan rumah tangga, dan beasiswa anak-anak perempuan untuk melanjutkan sekolah.
“Jika kamu setuju,” kata Rey perlahan, “kamu tak hanya akan jadi direktur program. Kamu akan jadi wajah perubahan.”
Alya menatap semua itu. “Kenapa aku?”
Rey menjawab lembut, “Karena kamu tahu rasanya dipatahkan—dan kamu tidak pernah membalas dengan menghancurkan orang lain.”
Lalu Rey menyerahkan sebuah kotak kecil. Alya tertegun. Tapi bukan cincin di dalamnya. Melainkan sebuah liontin kayu kecil berukir:
"Sama-sama berjalan, sama-sama belajar."
“Ini bukan lamaran, Alya,” kata Rey. “Ini hanya tanda bahwa aku siap melangkah sejajar. Jika suatu hari kamu siap untuk yang lebih dari itu, aku akan tetap di sini.”
Alya menunduk. Nafasnya bergetar.
“Aku belum bisa berjanji untuk mencintai siapa pun lagi sepenuhnya…” ucapnya lirih.
Rey mengangguk. “Tak masalah. Yang penting kamu sudah memilih untuk melangkah.”
---
Malam harinya, Alya duduk di beranda. Ia menatap bulan yang menggantung terang, dan menulis di jurnalnya,
“Dimas mungkin tidak akan ada saat buku pertamaku diterbitkan.
Tapi suratnya menjadi halaman pengantar paling jujur tentang luka dan penyesalan.
Rey belum menjadi pasangan hidupku. Tapi ia telah menjadi pasangan langkah.
Dan aku?
Aku bukan lagi perempuan yang disisihkan.
Aku adalah Alya. Perempuan yang berdiri, memilih, dan mencipta jalan sendiri.”
*
Dalam bab ini, kita belajar bahwa kadang cinta datang terlambat, dan penyesalan datang saat semuanya sudah terlalu sunyi. Tapi hidup tak menunggu. Ia terus berjalan, dan kita bisa memilih untuk tumbuh—tanpa menunggu siapa pun menebus masa lalu.