Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
...༄˖°.🎻.ೃ࿔*:・...
Namun kakinya tak sengaja tersandung sesuatu, hingga...
Byur!
Evanda maupun Evelyn sama-sama terkejut. Mereka langsung berdiri melihat Aurora yang meminta tolong. Wajar saja, gadis itu tidak pernah berenang.
"Mommy—"
"Penjaga!" seru Evanda menyela Evelyn.
Salah satu penjaga langsung datang dengan langkah lebar.
"Cepat, selamatkan gadis itu!"
Tanpa diperintah dua kali, pria dengan tubuh tinggi kekar itu langsung menceburkan diri ke dalam kolam untuk menolong Aurora.
"Uhuk uhuk!" Aurora ter batuk-batuk. Dia merangkul pundak bodyguard tersebut ketika tubuhnya melayang. Hidung dan tenggorokannya terasa sakit akibat kemasukan air.
"Astaga, itu akibatnya kalau kamu ceroboh!" ujar Evanda. Dia berdecak kesal melihat Aurora berusaha berdiri dengan tubuh basah kuyup.
"Maaf, Mommy," lirih Aurora.
Seorang pelayan datang membawa handuk untuk Aurora.
"Mari, Nona," ujar pelayan tersebut seraya menggiring tubuh Aurora menjauh dari sana.
"Merepotkan sekali!"
Gerutuan Evanda itu bisa Aurora dengar dengan jelas. Hatinya sakit karena Evanda sama sekali tidak khawatir dengan dirinya.
"Aku baik-baik saja, terimakasih," ucap Aurora pada pelayan. "Kamu boleh pergi. Aku akan ke kamar."
"Tapi, Nona..."
"Tidak apa-apa." Aurora tersenyum meyakinkan. Setelahnya dia melangkah menaiki anak tangga satu-persatu dengan pelan.
Ia menggigit bibir bawahnya dengan keras hingga terluka. Antara menahan dingin dan tangis. Aurora tidak mengerti, kenapa rasanya sesakit ini, harusnya dia sudah terbiasa, tapi kenapa rasanya tetap sakit?
Aurora menarik nafas pendek seraya menutup mata sebentar untuk menenangkan diri.
"Jangan menangis! Aku tidak boleh cengeng!" batinnya.
Ia menyadari bahwa kehidupan barunya bukan hanya tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang mengukir tempat di dalam keluarga suaminya. Dalam setiap tatapan, dalam setiap interaksi, ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang tangguh, bukan sekadar gadis lemah yang bisa dipandang sebelah mata. Ia ingin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keluarga ini, mewarnai setiap momen dengan keberanian dan ketegasan.
Mungkin perjalanan ini tidak akan selalu mudah. Akan ada tantangan, keraguan, dan mungkin juga air mata. Namun, Aurora berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terpuruk dalam kelemahan. Setiap langkah yang diambilnya akan menjadi langkah menuju transformasi yang lebih baik. Ia ingin menantang diri untuk tumbuh, untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang kini menjadi rumahnya.
"Dunia ini penuh dengan kemungkinan," ucapnya dalam hati. Aurora bertekad untuk menjelajahi setiap sudut kehidupan barunya dengan semangat yang membara. Ia percaya, bahwa di balik setiap tantangan, terdapat pelajaran berharga yang akan membentuknya menjadi sosok yang lebih kuat dan berani.
Tanpa sadar, karena kelelahan atau sakit, Aurora ketiduran hingga sore hari. Dan ketika bangun, kepalanya berdenyut sakit.
Imun tubuhnya memang tidak sekuat itu. Meski sering kali dihantam pekerjaan rumah yang berat, Aurora tetap akan merasakan lelah setelahnya, bukannya semakin sehat karena sering bergerak, Aurora akan kesakitan akibat kelelahan.
Ceklek
Mata sendu nya memandang Skala yang baru saja membuka pintu. Pria itu terlihat lelah, jas hitam nya dia lepas, juga lengan kemeja putih yang digulung hingga siku, namun dasi hitam masih berada pada tempatnya.
"Maaf, aku ketiduran," ujar Aurora. Dia takut Skala marah. Dia juga takut kalau Skala berfikir yang tidak-tidak.
"Bagaimana jika kita pindah?" Skala berjalan mendekati istrinya setelah mengunci pintu.
"M-maksudnya?"
"Ah, bukan pindah. Kita akan tinggal di rumah baru, hidup berdua tanpa ada yang mengganggu. Bagaimana menurutmu?" Sebelah alis Skala terangkat.
Aurora semakin bingung, ada apa dengan Skala? Kenapa tiba-tiba ingin pindah dari rumah ini?
"Aku..." Aurora meneguk saliva nya. "... tidak tau ..."
"Apa ada masalah?" tanya Aurora.
"Kitten." Suara Skala terdengar rendah dan berat.
"Ya?" Aurora reflek menyahut. Sedetik kemudian dia terdiam. "Kitten? Anak kucing? Mereka kenapa?" Gadis itu langsung beranjak mendekati Skala dengan raut khawatir.
Skala mendengus. "Besok kita keluar dari rumah ini. Aku sudah mencari rumah untuk kita tempati." Ia berbalik menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti ketika Aurora menghalanginya.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Aurora.
Skala menatap mata teduh itu dengan dalam. Mata itu terlalu polos menatapnya, tidak ada sorot tegas sama sekali, yang ada hanyalah sorot mata lemah. Seperti anak kucing yang kehilangan dunia nya.
"Tentu ada." Skala menundukkan kepalanya sejenak. "Jangan biasakan dirimu diinjak-injak oleh orang lain. Aku tidak suka gadis lemah."
Setelah mengatakan itu, Skala melewati Aurora dan masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan Aurora terdiam kaku di sana.
Mata hazel yang memancarkan cahaya kini mulai sedikit redup. Namun, anehnya, ucapan Skala yang baru saja terucap tidak menorehkan luka di hati. Sebaliknya, dia merasakan seolah Skala sedang mendorongnya untuk terus melangkah maju, untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
Ada kehangatan dalam kata-kata Skala, meskipun mungkin disampaikan dengan ketulusan yang keras. Setiap ungkapan yang keluar dari bibir Skala seolah mengandung makna yang lebih dalam, memotivasi dan mendorongnya untuk tidak terpuruk dalam keterpurukan. Dia menyadari bahwa ada kekuatan dalam kata-kata tersebut, kekuatan yang mampu mengangkatnya dari kegelapan yang perlahan menyelimuti.
Aku tidak suka gadis lemah.
Aku tidak suka gadis lemah.
Suara Skala terus terngiang-ngiang dalam benak Aurora.
"Kalau begitu, aku harus jadi kuat, supaya Skala menyukaiku. Benar, kan?" ucap Aurora dalam hati.
Aurora menghela nafas pelan. Dia berbalik, namun...
Bruk!
Untung saja Skala menahan pinggangnya, kalau tidak, Aurora bisa terjatuh mengenaskan.
Mata Aurora terbelalak melihat dada bidang Skala tepat di depan matanya. Tangan mungilnya juga bisa merasakan betapa dinginnya kulit Skala.
"Kamu demam?"
Suara bariton itu membuat Aurora mendongak menatap sang suami. Terlihat Skala mengerutkan keningnya saat merasakan suhu tubuh Aurora.
"A-apa?" Aurora mendadak linglung dalam posisi seperti ini. Seumur hidup, baru kali ini dia melihat laki-laki bertelanjang dada tepat di depan matanya.
Seolah tidak peduli dengan reaksi Aurora, Skala menempelkan telapak tangannya ke leher gadis itu membuat Aurora seketika merinding.
"Demam," lirih Skala. Sedetik kemudian dia menggendong Aurora untuk direbahkan di atas kasur. Tentu saja Aurora kaget, namun dia tidak sampai berteriak.
"Aku baik-baik saja!"
"Tidak."
Skala meraih ponselnya dan menelpon dokter agar datang memeriksa Aurora.
"Skala, aku benar-benar tidak apa-apa. Ini sudah biasa bagiku," ucap Aurora, dia beranjak duduk dan menatap Skala yang sibuk memakai baju.
"Sudah biasa?" Kening Skala mengerut.
Aurora mengangguk kaku. "Y-ya..."
"Tidak perlu berlebihan, nanti aku akan minum obat, lalu demamnya akan turun," lanjut Aurora.
"Tidak bisa. Aku sudah menelpon dokter," balas Skala dengan acuh. Ia beralih mengusap rambutnya dengan handuk kecil sembari berjalan mengambil sebotol air yang sudah disediakan di dalam lemari kecil.
"Minumlah agar tidak dehidrasi."
Tak menolak, Aurora meminumnya dengan cepat, karena dia memang merasa haus. Ia mengusap bibirnya setelah selesai minum.
"Kamu sudah makan siang?" tanya Skala seraya menutup botol tersebut, lalu dia letakkan ke atas nakas.
Reflek, Aurora memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi, lalu ia menggeleng pelan. Dia kan ketiduran, mana sempat makan siang? Terlebih sekarang hampir jam makan malam, ia jadi semakin lapar.
Tanpa berkata apapun, Skala keluar dari kamar meninggalkan Aurora yang kebingungan.
"Kenapa dia jadi semakin aneh seperti ini?" gumam gadis itu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Beberapa menit kemudian Skala masuk membawa nampan di tangannya. Wajahnya tetap datar, seperti tidak memiliki gairah.
Aurora sampai terkejut, bahkan dia hampir turun dari ranjang kalau Skala tidak memperingati.
"Apa yang kamu lakukan? Aku bisa ambil sendiri nanti," ucap Aurora panik sendiri. Dia takut Evanda melihat Skala membawa-bawa nampan seperti ini. Bagaimana kalau mertuanya tidak menyukainya lagi?
"Diam dan buka mulutmu." Skala menyodorkan sesuap nasi dan lauk setelah meniupnya agar sedikit dingin.
Hati Aurora berdesir. Selama inj dia tidak pernah mendapat perhatian semanis ini dari siapapun. Tiba-tiba matanya memanas karena terharu. Dengan perlahan dia membuka mulutnya dan mengunyah dengan mata berkaca-kaca menahan tangis. Bukan tangis karena sedih, melainkan terharu karena akhirnya dia bisa merasakan apa yang adiknya rasakan.
"Terimakasih," lirihnya.
Skala hanya diam dan terus menyuapi Aurora, meskipun banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Hati Aurora terlampau lembut hingga membuatnya mudah tersentuh dengan perlakuan baik apapun.
Hati Skala bergetar melihat kelembutan Aurora, dan dalam keheningan itu, ia berjanji untuk selalu ada, menjadi sosok yang dapat diandalkan.
Aurora, dengan matanya yang berkilau, menatap Skala dengan penuh rasa terima kasih. Meski tak sepatah kata pun terucap, interaksi mereka dipenuhi makna yang lebih dalam.
bersambung...
lanjuuuut