Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PANGGILAN DI MALAM HARI
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam ketika suara ketukan keras menggema di pintu Puskesmas. Dina yang tengah beristirahat di ruang jaga terlonjak kaget, lalu bergegas membuka. Dari balik pintu, tampak seorang laki-laki muda dengan wajah panik dan napas tersengal.
“Pak Firman butuh bantuan, Bu Bidan! Sesak nafasnya kambuh! Tolong... tolong Dokter juga ikut ke rumah!”
Dina tertegun. “Sekarang?! Tapi dokter Raka juga sedang pergi ke jorong sebelah buat ngobatin orang juga, Dek!” lanjut Dina sedikit panik sambil tetap menyiapkan tas pertolongan pertama. “Yang ada cuma dokter Kirana!”
Tampak lelaki muda itu terdiam dan berpikir. “Tidak apa-apa Bu Bidan. Yang penting pasien nya ditolong dulu!! Dia udah nggak bisa ngomong!” pemuda itu memelas.
Tanpa pikir panjang, Dina segera berlari ke rumah dinas Kirana yang hanya berjarak beberapa langkah dari ruang jaga.
Dina mengetuk keras. “Dok! Ada pasien gawat! Sesak napas parah! Keluarganya minta kamu ikut ke rumahnya!”
Kirana yang sudah bersiap tidur sontak bangun. Pasien? Setengah sadar, ia langsung menarik jaket, memasang hijab kaos dan menyambar tas medis kecil.
“Mereka tinggal di mana?” tanya Kirana mengiringi langkah Dina ke arah Puskesmas.
“Jorong Kampuang Ateh, sekitar sepuluh menit jalan kaki, tapi...”
“Tapi apa?” tanya Kirana cepat.
Dina menggigit bibir. “Itu rumah laki-laki. Malam-malam begini, perempuan keluar rumah, apalagi datang ke rumah laki-laki — bisa dianggap pelanggaran adat.”
Kirana menahan langkahnya sesaat. Ingatan tentang kemarahan Nyiak Rosma masih segar. Tapi ini soal nyawa. Ia menatap Dina, lalu berkata pelan tapi pasti, “Ini gangguan nafas! Kalau aku tidak datang, dia bisa meninggal, kan?”
Dina mengangguk pelan. “Kalau begitu… Aku ikut!” Dina juga membawa kotak P3K yang tadi sudah disiapkan nya. Lalu menyempatkan untuk mengetik pesan kepada dokter Raka, pimpinan Puskesmas yang sebenarnya juga bertugas jaga malam ini.
Langkah dua perempuan itu cepat dan terengah di jalan tanah yang becek, mengiringi pemuda yang tadi memanggil mereka. Lampu senter dari ponsel menerangi jalanan kecil di antara semak dan rumah-rumah panggung yang sudah gelap. Suara jangkrik memekakkan telinga, dan kabut mulai turun dari bukit.
Rumah Pak Firman terletak di tepi sungai kecil, hanya diterangi satu lampu minyak di teras. Ketika Kirana masuk, aroma apek bercampur asap kayu langsung menyeruak. Di dalam, Pak Firman terbaring di lantai, dada naik turun tak beraturan, wajahnya pucat kebiruan.
“Bismillah,” gumam Kirana sambil membuka tas. Ia memasang oksigen portable yang selalu ia bawa, menyuntikkan bronkodilator, dan mengecek saturasi. Wajahnya tegang, sementara tangannya bergerak dengan cepat dibantu oleh Dina yang mengecek tekanan darah.
Beberapa warga mulai berdatangan, menonton dari ambang pintu dengan wajah penuh tanya. Bisik-bisik terdengar pelan, makin lama makin jelas.
“Itu dokter baru ya? Perempuan? Malam-malam ke rumah laki-laki?”
“Katonyo urang kota tak tahu sopan santun...”
Dina menoleh dengan resah, tapi Kirana tetap fokus.
Setelah lima belas menit, kondisi Pak Firman mulai stabil. Ia bisa bicara pelan, lalu tersenyum lemah. “Terima kasih, Dok...”
Kirana membalas senyum itu. “Besok harus ke Puskesmas ya, saya mau cek ulang.”
Saat mereka keluar dari rumah, puluhan pasang mata menatap mereka dari kegelapan. Salah satu dari mereka, seorang lelaki tua berbaju koko, langsung menyergah.
“Dokter!!”
Langkah Kirana terhenti. “Iya, Pak?” Gadis itu sedikit terkejut dengan nada tinggi pria tua yang memanggil nya itu.
“Berani sekali kamu datang ke rumah lelaki... malam-malam... tanpa izin tetua kampung?!”
Dina yang sebenarnya takut, buru-buru maju. “Pak, kami datang karena ada pasien gawat. Ini soal nyawa!”
Dina tahu, kalau pria tua itu fokus ke kehadiran Kirana. Sementara Dina yang sudah hampir dua tahun di daerah ini, sudah ‘mengaku induk’ (menjadi anak angkat) di sini dan sudah dianggap sebagai warga kampung ini.
Tapi pria itu tak peduli. “Adat di sini bukan mainan! Perempuan keluar malam, apalagi ke rumah laki-laki yang bukan suaminya — bisa dikenai sanksi!”
Kirana diam. Nafasnya berat. Wajah-wajah warga menatap dengan ekspresi antara marah, bingung, dan heran. Tapi sebelum Kirana sempat menjawab, suara berat dari arah jalan memecah kerumunan.
“Tapi, Pak! Kami ini tenaga kesehatan! Tidak akan berbuat macam-macam. Lagian saya ini dipanggil! Bukan ujug-ujug datang ke sini!”
Bisik-bisik terdengar makin keras. Ada yang membenarkan, Ada pula yang tetap kukuh mendukung Pak Tua itu.
“Cukup!!”
Semua kepala menoleh ke asal suara yang datang dari arah perkampungan. Di bawah cahaya remang lampu minyak, dr. Raka datang — mengenakan jaket dan sarung, wajahnya terlihat datar seperti biasa, namun tatapan nya tajam.
“Saya sudah dengar semuanya, Mak Uniang," ucap Raka kepada lelaki tua yang masih tampak marah itu.
"Dokter Kirana hanya bertindak sesuai tugas. Menolong orang yang hampir mati. Kalau karena itu dia dianggap melanggar adat, maka saya juga ikut bersalah.”
“Raka—” Lelaki tua itu tampak terdiam.
“Seandainya saya tidak ke kampung sebelah untuk mengobati pasien lain, tentu saya yang datang ke sini!" sambung Raka. "Dan besok pagi, siapa pun yang tidak setuju jika permasalahan ini selesai sampai di sini, boleh datang langsung ke ruangan saya. Kita bicarakan baik-baik."
Lelaki tua yang dipanggil Mak Uniang itu tidak lagi bisa bicara. Dokter Raka adalah orang yang disegani di kampung ini. Entah berapa puluh kali pria itu menyelamatkan warga dengan cuma-cuma.
"Baiklah!" akhirnya pria tua itu mengalah. "Tapi, saya tidak ingin lagi melihat wanita itu mengobati laki-laki di kampung ini!"
Raka menarik nafas. Ia tahu, apa pun yang akan disampaikan nya, pria tua itu tidak akan menerima. "Nanti kita bicarakan lagi. Yang penting malam ini, saya harus membawa pulang dua staf saya ini kembali ke Puskesmas!"
Suasana hening sejenak. Orang-orang saling pandang. Perlahan, satu per satu orang-orang itu pun membubarkan diri.
Kirana menatap Raka yang berjalan mendekat. “Terima kasih.”
Raka menggeleng. “Jangan ucapkan terima kasih. Saya hanya melakukan tugas saya sebagai dokter dan pimpinan Puskesmas.”
Lalu, sebelum berbalik pergi, ia berkata pelan, “Besok kita bicara di ruang saya. Ada yang perlu saya sampaikan.”
Malam itu, Kirana melangkah di bawah langit Talago Kapur. Jantungnya masih berdebar, bukan hanya karena ketegangan... tapi karena ia merasakan kharisma dari pria dingin yang dari awal pertemuan memandang remeh dirinya.
Sepertinya Kirana mulai mengagumi pria itu.
***