Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Aku Ingin Pergi, Tapi Bagaimana ?
*📝** Diary Mentari – Bab 8**
“Kadang yang paling kurindukan adalah hal-hal yang dulu paling ingin kutinggalkan.”***
⸻
Cucian menumpuk karena hujan tak henti tiga hari ini. Halaman rumah becek, lumpur seperti perangkap untuk sandal. Sudah berkali-kali putus hanya karena keluar masuk rumah. Akhirnya aku penuhi halaman depan dengan batu kali. Susun satu per satu, sampai cukup untuk pijakan agar kaki tak lagi tenggelam dalam lumpur.
Rumah kami sekarang memang sudah lebih baik dari sebelumnya. Lantai yang dulunya tanah kini sudah disemen. Dinding anyaman bambu yang dulu bolong di banyak tempat kini hanya setengah, sisanya sudah diganti batako. Atap rumah tak lagi bocor karena sudah diganti genteng. Semua itu berkat Ayah.
Ayah adalah seorang tukang bangunan. Jadi meski hidup kami pas-pasan, Ayah tahu cara membuat rumah kecil ini lebih layak. Renovasi ini tak hanya karena tangannya yang terampil, tapi juga karena gotong royong tetangga. Kampung Karet selalu seperti itu—saling membantu tanpa banyak bicara.
⸻
Listrik kini sudah masuk kampung. Sudah tidak ada lagi momen di mana aku harus menemani Ayah menghidupkan mesin diesel pukul enam sore dan mematikannya pukul empat pagi. Dulu, waktu itu adalah waktu favoritku. Meski cuma beberapa menit, aku merasa dekat dengan Ayah. Duduk di dekat mesin yang berisik, melihat Ayah mengatur kabel dan alat-alat, rasanya seperti punya waktu khusus yang tidak bisa dimiliki orang lain.
Ayah memang sosok yang luar biasa. Selain bekerja sebagai tukang bangunan, ia juga seorang pemangku—pemuka agama Hindu di kampung kami. Waktu Ayah sangat sedikit, tapi hampir semua orang mengandalkannya.
⸻
Hari ini, aku membawa cucian ke sungai. Bakul rotan di tangan, berat oleh baju-baju basah yang belum sempat dicuci. Sungai terlihat lebih deras, mungkin karena air hujan yang turun semalaman. Di bawah pohon beringin besar yang menaungi pinggir sungai, ibu-ibu sibuk mencuci sambil bercanda. Anak-anak bermain batang pisang, berselancar di arus sungai sambil tertawa lepas. Suara riang mereka memenuhi udara.
Suasana kampung Karet memang seperti ini. Hangat. Hidup. Tapi jujur… aku ingin pergi. Bukan karena aku benci tempat ini. Tapi karena aku ingin tahu seperti apa dunia di luar kampung. Seperti apa mandi di kamar mandi yang tidak harus menunggu senja. Mencuci dengan mesin tanpa menggosok dan memeras dengan tangan. Tidur tanpa suara jangkrik dan nyamuk yang menggigit tanpa ampun.
Aku ingin itu semua. Bolehkah?
⸻
Kadang aku lelah menjadi bagian dari cerita sederhana ini. Lezatnya nasi hangat dan kacang saur yang dibagi lima. Ramainya rumah tapi sepinya hati. Bercermin di air sungai sambil menggosok baju, tapi yang kulihat bukan wajah yang bahagia—melainkan wajah yang bertanya, sampai kapan di sini?
Aku ingin tahu rasanya memakai baju bersih dari mesin cuci. Aku ingin punya pakaian yang tidak harus dijemur dua hari karena hujan. Aku ingin punya kamar sendiri. Aku ingin pergi jauh, ke tempat di mana tidak ada orang yang tahu aku siapa, dan aku bisa mulai hidupku sendiri.
⸻
Tapi bagaimana caranya?
Aku masih anak sekolah. Bahkan untuk jajan saja masih bergantung dari hasil menjual daun pakis dan kelapa. Apa aku egois? Meninggalkan Senja, meninggalkan Ayah Ibu yang tak pernah minta dibalas. Meninggalkan kampung ini yang sudah membentukku menjadi kuat.
Tapi kalau tidak pergi, aku takut akan tenggelam di sini. Dalam suara sungai. Dalam keramaian rumah yang makin sempit. Dalam cucian yang tak pernah selesai. Dalam mimpi yang tak pernah sempat kulihat karena mataku terlalu lelah setiap malam.
⸻
Hari ini, aku hanya bisa duduk di batu besar pinggir sungai, mencelupkan kakiku ke air yang dingin. Menatap arus yang terus bergerak cepat ke arah hilir. Mungkin aku seperti air sungai ini. Terbentuk di hulu, tapi tak pernah tinggal diam. Selalu bergerak ke arah yang tak pasti, tapi yakin harus pergi.
“Kalau Mentari bisa pergi, Mentari akan pergi jauh,” kataku dalam hati.
Lalu aku tersenyum, karena aku tahu—semua yang aku tulis hari ini di dalam diary ini, suatu hari akan menjadi jawaban.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.