Gyan Abhiseva Wiguna tengah hidup di fase tenang pasca break up dengan seorang wanita. Hidup yang berwarna berubah monokrom dan monoton.
Tak ada angin dan hujan, tiba-tiba dia dititipi seorang gadis cantik yang tak lain adalah partner bertengkarnya semasa kecil hingga remaja, Rachella Bumintara Ranendra. Gadis tantrum si ratu drama. Dia tak bisa menolak karena perintah dari singa pusat.
Akankah kehidupan tenangnya akan terganggu? Ataukah kehadiran Achel mampu merubah hidup yang monokrom kembali menjadi lebih berwarna? Atau masih tetap sama karena sang mantanlah pemilik warna hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Bentuk Marah
Semalam itu bukan mimpi Achel bertemu kedua orang tuanya. Gyan yang baru saja memindahkan Achel ke kamar, mendengar Achel memanggil mami papinya. Sontak hati Gyan terenyuh. Ditatapnya wajah Achel dan sebuah keputusan dia ambil, yakni menghubungi Regara juga Reyn.
Selama video call, Gyan selalu mengarahkan kamera kepada Achel. Di mana tak ada pembicaraan apapun, hanya lelehan air mata dari seorang Reyn Ranendra. Gyan sedikit terkejut ketika Achel membuka mata untuk beberapa detik. Matanya memicing ke arah ponsel yang menunjukkan wajah kedua orang tuanya.
"Mami, Papi, Achel kangen kalian."
Setelah mendengar kalimat itu sambungan video diakhiri oleh kedua orang tua Achel. Dan gadis itupun kembali memejamkan mata.
Bukan tanpa alasan Gyan mendidik Achel seperti ini. Fakta baru terungkap. Setelah kembali dalam kondisi mabok, ada bungkus rokok di dalam tasnya serta alat kontrasepsi. Sungguh di luar dugaan. Ditambah, ada bercak merah di leher putih Achel seperti tanda cinta.
Bukan hanya kedua orang tua Achel yang murka. Semua keluarga Ranendra benar-benar marah. Bahkan, Erzan memberikan pilihan kepada Achel.
"Mau Wawa bunuh pacar kamu itu atau kamu yang pergi ke negara lain?"
Achel memilih opsi yang kedua. Alhasil dia dikirim ke Singapura dan diurus oleh Gyan. Dan lelaki yang dititipi gadis itupun seringkali memijat pangkal hidungnya. Lelaki lajang harus mengurus gadis nakal.
.
Achel benar-benar marah kepada Gyan. Tak ada tegur sapa walaupun mereka berpapasan. Bahkan dengan sengaja Achel melanggar semua aturan dan jadwal yang sudah Gyan beri. Sebagai bentuk marahnya.
Sehari, dua hari, masih Gyan pantau. Tak Gyan tegur. Masih dibiarkan. Namun, semakin dibiarkan anak itu semakin menjadi hingga membuat darah Gyan mendidih.
Pintu apartment sudah dibuka. Achel terkejut ketika melihat Gyan sudah memasang wajah yang sangat menyeramkan. Dia mencoba bersikap santai. Padahal, hatinya sudah bergemuruh hebat.
"Dari mana lu?"
"Dari mana kek, udah gede ini!"
Jawaban Achel membuat Gyan begitu murka. Gebrakan meja dapat Achel dengar. Dan lelaki itu sudah berjalan menghampirinya. Menatapnya dengan sangat tajam.
"Jawab sekali lagi?" pinta Gyan dengan nada penuh kekesalan.
"Achel udah gede, Kak!!" Memberanikan diri meninggikan suara tepat di depan Gyan. Senyum kecil pun terukir di wajah lelaki tersebut.
Gyan menarik tas Achel hingga sang empunya tas melebarkan mata. Gyan sudah menunjukkan dua benda yang membuat Achel terdiam seribu bahasa.
"Udah gede kan? Pasti udah hebat dong," ejek balok Gyan.
Mereka kini duduk berhadapan. Rokok dan korek api yang Gyan temukan di dalam tas Achel sudah ada di atas meja. Gyan juga mengeluarkan bungkus rokok yang sama, tapi masih tersegel. Menggesernya ke hadapan Achel.
"Hisap rokok itu di depan mata gua."
Deg.
"Apa lu perlu alkohol juga? Biar semakin terlihat hebat."
Ya, selama seminggu ini setelah selesai kuliah Achel akan ke tempat bebas merokok. Di situlah satu batang rokok dia hisap. Dia teringat akan ucapan teman dari pacarnya, jika rokok bisa sedikit menghilangkan beban. Dicobanya walaupun pertama-tama dadanya sesak dan malamnya tak bisa tidur karena terus terbatuk.
"Kenapa diam? Lakuin! Gua pengen liat!!!"
Mata Achel mulai berair mendengar kalimat yang sama seperti yang pernah sang wawa ucapkan. Achel menunduk dalam. Kepalanya menggeleng pelan.
Suasana mendadak hening. Namun, tatapan Gyan terus tertuju pada Achel yang mulai terisak. Tak ada rasa iba di sana.
"Milih hisap rokok itu di depan gua atau lu pergi dari apartment gua."
Dua buah pilihan yang terlontar membuat kepala Achel menegak. Wajah Gyan benar-benar serius. Apalagi kedua tangannya sudah dia lipat di depan dada.
"Gua hitung sampai tiga atau lu keluar dari--"
Achel meraih bungkus rokok dan mengambil satu batang rokok. Lalu, membakarnya. Sebelum dia menghisap rokok tersebut, dia menatap ke arah Gyan yang masih dalam posisi dan ekspresi yang sama. Perlahan rokok itu diarahkan ke bibirnya. Menyesapnya dengan air mata yang sudah jatuh. Lalu, membuangnya dengan begitu berat.
Hendak menghisap kembali rokok dengan air mata yang semakin deras mengalir, segera dirampas dan diremas rokok yang masih menyala itu oleh Gyan.
"Jangan jahatin diri lu lagi, Chel."
Tangis Achel pun pecah dan Gyan segera memeluk tubuh gadis itu. Isakan lirih terdengar sangat jelas. Menangis di dalam dekapan Gyan sampai dia puas meluapkan.
.
Perlahan mata Achel terbuka. Dilihatnya Gyan yang sudah ada di samping tempat tidur.
"Hari ini jangan ke kampus dulu. Lu masih demam."
Setelah menangis di dalam dekapan Gyan, tubuh Achel demam. Dan gadis itu sering mengigau.
"Tapi, ada u--"
"Jangan bandel, Achel!"
Akhirnya Achel pun diam ketika Gyan sudah menekan setiap kata yang terucap. Gyan menatap Achel dengan begitu dalam. Tangisan Achel semalam yang membuat bajunya basah menimbulkan sebuah getaran yang berbeda. Gyan menilainya jika itu adalah getaran iba.
"Gua ke kantor sebentar. Terus kita ke rumah sakit." Achel terhenyak akan ucapan Gyan.
"Achel cuma demam. Achel--"
"Cek paru-paru sama kondisi jantung lu," potong Gyan dengan sangat serius. Mulut Achel pun terbungkam.
Gyan mengkhawatirkan sesuatu. Di mana maminya Achel memiliki riwayat penyakit Aritmia. Gangguan irama jantung. Dia takut merokoknya Achel seminggu kemarin berdampak pada jantung gadis tersebut. Gyan sudah tak ingin ada air mata yang menetes lagi di keluarganya.
.
Di rumah sakit Gyan sudah meminta dokter terbaik untuk mengecek kondisi Achel. Demam yang disebabkan karena Achel kelelahan. Dan ketika dicek paru-paru, kondisi paru-paru gadis itu sedikit berubah warna. Gyan menghela napas kasar dan menatap ke arah Achel yang mulai menunduk dalam. Sedangkan kondisi jantung Achel normal.
Mereka sudah kembali ke apartment, dan Gyan meminta Achel untuk duduk sebentar di ruang makan.
"Kembalilah pada Achel yang gua kenal dulu." Sebuah kalimat yang membuat matanya nanar.
"Sedewasa apapun lu, di mata gua dan keluarga, lu tetap anak kecil yang harus dijaga dan lindungi. Tak ada yang boleh merusak lu. Bahkan, banyak yang rela bertaruh nyawa untuk lu." Air mata Achel pun kembali luruh.
"Sikap jahat gua ini bukan karena gua benci sama lu. Gua cuma gak mau ngeliat orang tua lu nangisin anaknya yang masih belum berubah." Semakin deras air mata itu meluncur.
"Orang tua lu pasti merasa gagal dalam mendidik lu, Chel." Isakan kini terdengar dan Gyan pun mulai memeluk erat tubuh Achel.
"Maafin Achel," lirihnya.
"Berubah, ya. Enggak apa-apa pelan-pelan juga. Gua akan temani prosesnya."
Achel memundurkan tubuh. Kalimat itu terdengar sangat lembut. Dan seulas senyum terukir dari bibir Gyan.
"Orang yang Achel kira jahat, ternyata dia orang yang paling baik. Masih mau menemani Achel di saat Achel merasa sendiri dan tak punya siapa-siapa."
...**** BERSAMBUNG ****...
Budayakan tinggalkan komentar setelah selesai membaca. Dan ini udah double up loh.
masih bertanya" dalam hati
adegan agak dewasa
hehehee
lanjut trus Thor
semangat
semangat kak doble up nx💪