Bukan terlahir dari keluarga miskin, tidak juga terlilit hutang atau berada dalam situasi yang terdesak. Hanya saja alasan yang masuk akal bagi Alexandra menjadi simpanan bosnya karena dia telah jatuh hati pada karisma seorang Damian.
Pertentangan selalu ada dalam pikirannya. Akan tetapi logikanya selalu kalah dengan hatinya yang membuatnya terus bertahan dalam hubungan terlarang itu. Bagaimana tidak, bosnya sudah memiliki istri dan seorang anak.
Di sisi lain ada Leo, pria baik hati yang selalu mencintainya tanpa batas.
Bisakah Alexandra bahagia? Bersama siapa dia akan hidup bahagia?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alexandra (Simpanan Bos) 8
Aurora telah pulang dari sekolah, di tengah perjalanan dia merengek meminta Mamanya untuk mampir ke kantor Papanya. Sebenarnya ini bukan hal baru Aurora ke kantor Papanya setelah pulang dari sekolah. Sebelum-sebelumnya juga sudah sering.
"Kita ke kantor Papa ya, Ma."
"Aurora mau sama Papa?."
"Iya, aku mau Papa. Nanti kita pulang bersama."
"Baiklah kita kasih kejutan buat Papa."
Aurora mengangguk kegirangan.
Mulut kecilnya mulai bersenandung lagu pelangi, dinyanyikannya berulang kali tanpa rasa bosan. Karena dia begitu senangnya akan bertemu dengan Papa kesayangannya. Sampai-sampai tidak terasa kalau mobil Mamanya sudah parkir di depan gedung perkantoran milik Papanya.
Sementara di itu di dalam ruangan Damian, dia sedang duduk berhadapan dengan Sandra. Perempuan cantik itu menulis semua apa yang dikatakan bosnya. Ada beberapa jadwal penting yang akan berlangsung untuk satu bulan ke depan. Mereka akan disibukkan dengan pekerjaan baru dari proyek yang baru ditangani perusahaan.
"Apa ada lagi yang lain yang harus aku catat?."
"Kau tidak ingat tanggal berapa sekarang?."
"Ingat, tanggal 3 Mei."
"Kau melupakan atau pura-pura lupa?."
Sejenak Sandra terdiam, mengingat agenda apa yang ada di tanggal tersebut. Kemudian dia menggelengkan kepala.
"Coba kau ingat lagi."
Sandra membuka catatannya, melihat kalender di bulan april tanggal 3 namun kosong tidak ada catatan penting apapun.
"Tidak ada apa-apa, jadi apa yang terlewat."
Kemudian Damian mengeluarkan kotak kecil dari saku jasnya, menyodorkannya ke hadapan Sandra dengan senyum lebar. "Happy Birthday, Alexandra."
Sandra menutup mulut dengan tangannya. Tentu saja dia sangat senang plus terharu. Sorot matanya berbinar, bosnya mengingat hari ulang tahunnya. Padahal bisa saja bosnya itu tidak mempedulikannya, mengingat hubungan mereka baru enam bulan.
"Ambillah, hadiah ini untukmu."
Kemudian Sandra menerimanya dengan senang hati. Menatap kotak kecil berwarna biru tua itu penuh suka cita. "Boleh saya buka?."
"Tentu saja, karena itu milikmu. Semoga saja kau suka."
"Terima kasih, bos."
"Hmmm."
Dengan hati berdebar perlahan tangannya membuka kotak tertentu. Matanya membulat kala isi dalam kotak itu menampilkan sebuah benda yang berkilau. "Ini sangat cantik."
"Kau suka?."
Sandra mengangguk bahkan sampai berulang kali. Dia sangat menyukai cincin itu.
Di tengah suka cita yang sedang dirasakan Sandra, tiba-tiba saja Aurora dan Juwita masuk tanpa mengetuk pintu. Reflek saja Sandra menaruh kotak berisi cincinnya itu di atas meja kerja Damian.
"Papa..."
"Aurora sayang."
Si kecil Aurora sudah berada dalam gendongan Papanya. Mata Juwita begitu jeli hingga menangkap adanya kotak kecil tersebut di dekat Damian. Dia pun tersenyum kecil namun penuh kebahagiaan, kali ini Damian memberikannya hadiah dan sepertinya itu sebuah cincin. Ah rasanya sungguh sangat senang.
"Karena tidak ada pekerjaan lagi, saya pamit undur diri."
"Iya, jangan lupa besok meeting pagi."
"Baik, Pak."
Damian mengerutkan keningnya, untuk pertama kalinya dia dipanggil Pak oleh Sandra. Sandra pun keluar dari ruangan tanpa membawa kotak cincinnya. Damian yang mengetahui hal tersebut langsung menaruh kotak itu di dalam laci kerjanya, tentu saja ada dalam pengawasan Juwita.
Juwita pun membatin. "Pasti Damian akan memberiku kejutan."
Lalu Damian membawa duduk Aurora di kursi kebesarannya. "Bagaimana tadi sekolahmu, sayang?."
"Baik, Papa. Tadi ada temanku yang nakal."
"Nakal kenapa? Coba cerita sama Papa."
Juwita ikut buka suara. "Biasa, mereka mengejek Aurora."
Tapi Damian tidak menanggapinya, dia malah meminta Aurora untuk bercerita sendiri kepadanya.
"Mereka mengejekku, Papa. Mereka mengatakan warna kulitku gelap, tidak seperti warna kulit Mama Papa."
Damian tersenyum, menanggapi cerita dari putrinya. Mengelus rambut panjang yang dibiarkannya terurai. Memegangi tangan kecil putrinya yang memang memiliki warna kulit seperti sawo matang.
"Katakan pada mereka, kau itu memiliki warna kulit yang eksotik, sangat menarik. Papa saja mau memiliki warna kulit sepertimu."
Aurora mengangguk.
"Dan ingat, kau tidak perlu menghiraukan apa yang teman-temanmu katakan."
"Baik, Papa."
Anak kecil itu memberikan kecupan singkat pada pipi Papanya. Damian melanjutkan pekerjaannya sembari memangku anak yang merupakan bukan darah dagingnya tapi dia begitu menyayanginya karena lahir dari rahim perempuan yang pernah sangat dicintainya.
Aurora turun kemudian memasuki ruangan pribadi sang Papa, karena di sana ada beberapa mainannya. Kini Juwita mendekatinya, perasaannya berbunga-bunga. Menanti kejutan dari suaminya.
"Kau masih saja sibuk, padahal ada aku di sini."
"Iya, pekerjaan ini harus segera selesai sebelum aku pulang."
Juwita tersenyum. "Kau pulang bersama kami?."
Damian menjawab tanpa melihat wajah istrinya, dia sengaja fokus pada berkas yang sedang diperiksanya. "Tentu saja."
Juwita sudah tidak sabar menerima hadiah dari Damian, pasti di rumah Damian menyiapkan kejutan kecil untuk dirinya.
Waktu sudah menujukkan pukul lima, Damian sudah bersiap hendak pulang. Aurora dan Juwita sudah menunggunya di ambang pintu.
"Papa masih lama?."
"Sudah selesai sayang."
"Ayo, Papa."
Damian berlari kecil menghampiri Aurora lalu anak kecil itu memegangi jari telunjuk Papa dan Mamanya. Bertiga berjalan bergandengan tangan melewati Sandra yang baru keluar dari ruangannya. Senyum Sandra begitu tulus pada mereka, ada ruang sesal di dalam hatinya kalau dia sampai merusak hubungan yang harmonis itu.
Nasihat-nasihati sang Mama kembali bergema memenuhi pendengarnya, menyelami perasaannya. Enam bulan sudah cukup baginya untuk menjadi orang bodoh dengan menghancurkan hidupnya sendiri. Karena perasaan yang dimulai rasa kagum hingga berakhir rasa cinta yang mendalam.
Melihat tawa ceria Aurora yang menggandeng tangan kedua orang tuanya. Sisi baik Sandra mengatakan untuk segera mengakhiri hubungannya bersama Damian. Hubungan yang tidak memiliki nama selain nama yang sangat jelek, simpanan.
Di dalam mobil air matanya menetes, dia sangat menyesal dan dia harus pergi menjauh sebab Damian sendiri tidak pernah benar-benar menginginkannya kecuali tempat pelampiasan nafsunya saja.
Kembali ke apartemennya, dia harus tinggal di sana lagi. Harus terbiasa tanpa Damian lagi. Dia mulai menyibukkan diri merapikan kamarnya. Belanja online untuk memenuhi kulkasnya yang kosong serta kebutuhan yang lainnya.
Drt Drt
"Pak Noval."
Sandra mengabaikan panggilan telepon itu namun terus saja melamun panggilan telepon dan akhirnya dia pun menjawabnya.
"Selamat malam, Pak Noval."
"Tidak perlu formal begitu, Sandra."
"Iya, Pak."
"Kau ada di apartemen?."
Sejenak Sandra berpikir. "Emmm..."
Masih sibuk dengan pikirannya dan Pak Noval kembali bicara dari seberang sana. "Saya sudah di depan pintu apartemenmu."
Tentu saja Sandra kaget hingga dia berjalan ke arah pintu. Benarkah pria itu sudah ada di depan pintu apartemennya?.
"Sandra, kau masih mendengar saya."
"Iya, Pak. Saya ada di apartemen. Sebenar saya buka pintunya."
Terpaksa Sandra membuka pintu dan mempersilakan pria itu masuk ke dalam apartemennya.
"Pak Noval dari mana sehingga bisa mampir ke apartemen saya?."
Pak Noval tersenyum. "Saya sengaja ke sini mau mengajakmu makan malam."
entah kalau dia tau damian - sandra 😊🤫