yang Xian dan Zhong yao adalah 2 saudara beda ayah namun 1 ibu,.
kisah ini bermula dari bai hua yg transmigrasi ke tubuh Zhong yao dan mendapati ia masuk ke sebuah game, namun sialnya game telah berakhir, xiao yu pemeran utama wanita adalah ibunya dan adipati Xun adalah ayahnya,,.
ini mengesalkan ia pernah membaca sedikit bocoran di game love 2 dia adalah penjahat utama, ini tidak adil sama sekali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aludra geza alliif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
memperbaiki seni beladiri
Mereka akhirnya membawa semua emas, perhiasan, dan koleksi mencurigakan dari ruangan rahasia itu ke pengadilan kerajaan. Para pejabat tampak sibuk mencatat, menimbang, dan berdebat. Tapi hanya satu hal yang mengisi kepala Zhong Yao: emas itu.
Saat para hakim kerajaan sibuk bersidang, Zhong Yao berdiri di pojok ruangan seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
Ia melirik ke arah Lu Yu—pandangan penuh harap dan sedikit memelas, seperti anjing jalanan yang melihat ayam goreng.
> "Luyu... hanya satu batang kecil... ukuran jari... boleh kan? Untuk kenang-kenangan?"
Lu Yu hanya membalas dengan tatapan datar. Begitu dingin dan menusuk, sampai angin pun enggan bertiup lewat dekat wajahnya.
Zhong Yao pura-pura batuk.
> "Oke, oke... kumohon jangan tatap aku seperti itu... rasanya seperti dihukum karena mencintai."
Dengan langkah gontai dan hati penuh nestapa, Zhong Yao pulang bersama Lu Yu ke kediaman mereka. Malam sudah turun saat ia duduk di kamarnya yang tenang, dikelilingi cahaya lentera dan aroma teh herbal yang tidak ia minum.
Tangannya menimang-nimang sebuah golok besar yang terbungkus sarung giok berukir naga. Kilauan hijau giok itu nyaris seterang mata Zhong Yao sendiri saat melihat emas tadi. Ia memutar-mutar golok itu, berpikir untuk menjualnya... atau setidaknya menukarnya dengan dua batang emas kecil... atau tiga... lima kalau yang nawar cerewet...
> "Hanya sekali, aku simpan... bukan mencuri, ini kan warisan. Warisan seharusnya milik pribadi... ya kan?" bisiknya sambil tersenyum licik.
Belum sempat ia selipkan golok ke balik lantai papan rahasia yang ia gali dengan sumpit kemarin, suara langkah terdengar dari luar. Terlambat.
Pintu terbuka.
Lu Yu masuk, langkahnya tenang, matanya langsung tertuju ke arah golok di tangan Zhong Yao.
Ia tidak marah. Tidak juga heran. Justru ada senyum tipis, lembut, hampir menyakitkan karena terasa tulus.
> "Akhirnya... kau akan memakai pedang warisan ibumu."
Zhong Yao membeku. Tangannya masih menggenggam gagang golok.
> "Warisan... ibuku?"
Lu Yu mengangguk perlahan dan melangkah lebih dekat. "Pedang itu bukan sekadar senjata. Itu milik seorang jenderal wanita. Dia tak pernah kalah, tapi juga tak pernah membunuh jika tak perlu. Dia ibumu, Zhong Yao."
Zhong Yao menunduk. Untuk pertama kalinya, matanya tidak lagi menghitung harga benda. Tapi memikirkan makna.
> "Aku... cuma mau tukar dengan emas sedikit..." ucapnya pelan, setengah malu, setengah masih belum rela.
Lu Yu duduk di seberangnya, matanya lembut namun tajam.
> "Kalau kau masih lebih cinta emas dari pada darah yang mengalir di tubuhmu... maka aku akan mengambil kembali pedang itu."
Zhong Yao menelan ludah. Ia peluk pedang itu erat-erat, seakan takut Lu Yu benar-benar akan mengambilnya.
> "Tidak... aku akan belajar mencintainya. Sama seperti aku belajar mencintaimu..."
Lu Yu mendadak terdiam. Matanya sedikit membesar. Zhong Yao langsung sadar dan gelagapan.
> "MAKSUDKU... mencintai... ya... sebagai teman! Hormat! Ya itu... Jangan GR!"
Lu Yu tersenyum kecil, lalu berdiri sambil berjalan keluar kamar. Sebelum menutup pintu, ia berkata pelan:
> "Kalau kau mencintaiku, berhentilah mencoba menjual barang-barang keluarga."
Zhong Yao melempar bantal ke arah pintu.
> "KAU DENGAR APA TADI!?!?"
Pintu tertutup.
Zhong Yao duduk lagi, menatap pedang itu. Lalu tersenyum kecil.
> "Mungkin… benda ini tak bisa dibeli. Tapi... siapa tahu bisa digadai?"
Tapi malam itu, ia tidak menjual apa pun. Ia tidur sambil memeluk pedang ibunya. Dan untuk pertama kalinya sejak ia datang ke dunia ini... ia merasa memiliki sesuatu yang bukan sekadar harga.
Keesokan paginya, matahari baru saja menggeliat dari balik pegunungan, ketika suara langkah kaki terdengar di halaman belakang kediaman Lu Yu. Angin pagi membawa aroma embun dan kayu bakar. Di tengah halaman yang kosong, berdiri Zhong Yao... dengan rambut setengah acak-acakan, pakaian tidur yang masih belum rapi, dan pedang warisan ibunya di tangan.
Ia menatap pedang itu. Berat. Terlalu berat.
> "Ini senjata... atau pintu rumah ya...?"
Lu Yu muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian latihan berwarna gelap, rambut diikat rapi. Di tangan kirinya, sebatang bambu panjang—senjata latihan.
> "Kau sudah bangun? Bagus. Kita mulai latihan hari ini," ujarnya datar.
Zhong Yao menoleh pelan, ekspresi wajahnya seperti kucing dibangunkan paksa dari tidur siangnya.
> "Latihan jam segini? Dunia belum siap melihat kehebatanku..."
> "Dunia juga belum siap melihat gerakan pedangmu yang seperti orang menyapu lantai," balas Lu Yu dingin.
Latihan pun dimulai.
Langkah pertama: menarik pedang dari sarung.
Zhong Yao mencoba dengan gaya dramatis, tapi malah sarung giok-nya lepas dan mental ke arah pot bunga.
> "Itu bukan tarikan, itu pemukulan pot bunga," gumam Lu Yu.
Langkah kedua: gerakan dasar.
Lu Yu memperagakan dengan presisi—langkah kanan, angkat tangan, tarik nafas, ayun perlahan. Semuanya terlihat seperti tarian angin.
Zhong Yao mencoba meniru.
Dan jatuh.
> "Wah... lantainya melawan..."
> "Zhong Yao, kau seperti rumput liar mencoba menari dengan badai," kata Lu Yu sambil menghela napas.
Tapi... hari demi hari berlalu.
Zhong Yao mulai terbiasa dengan berat pedang. Ia mulai mengerti bahwa bukan kekuatan yang membuat pedang tajam, tapi fokus. Bukan kecepatan yang membuat serangan kuat, tapi keseimbangan.
Ia belajar mengatur nafas. Menghitung langkah. Mendengarkan suara angin dan tanah.
Sampai akhirnya, di hari keempat, saat senja mewarnai langit, Zhong Yao berhasil melakukan satu rangkaian gerakan lengkap—meskipun sedikit goyah di akhir.
Lu Yu memperhatikannya diam-diam dari jauh, lalu mendekat.
> "Tidak buruk," katanya pendek.
> "Kau... kau memujiku?"
> "Aku hanya bilang 'tidak buruk'. Itu belum 'bagus'," jawab Lu Yu, menahan senyum.
Zhong Yao mengangkat dagu.
> "Tunggu saja. Suatu hari, dunia akan mengingatku bukan karena kelicikanku, tapi karena jurus warisan ini!"
> "Asal bukan karena kau menjual warisan itu, aku tidak keberatan," sindir Lu Yu.
Mereka tertawa kecil.
Dan malam itu, saat semua orang tertidur, Zhong Yao tetap berlatih di halaman dengan pelita kecil di sisinya. Kali ini... bukan karena ia ingin menjual pedangnya. Tapi karena ia mulai ingin layak memegangnya.