Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 8.
Seakan mulai terbiasa dengan kehadiran dari orang baru yang membantunya, Elio kini bangun lebih awal. Namun ia tidak melakukan apapun, karena menunggu orang tersebut.
Waktu berjalan dan setiap menitnya, Elio terus menghitung. Pandangannya tidak terhenti untuk melihat waktu, dan menunggu itu adalah hal yang sangat ia tidak sukai.
"Kemana wanita itu? Kenapa sampai sekarang belum datang?" Keluh Elio yang mulai merasa marah.
Terlihat dari jam yang ada di dinding kamar miliknya, telah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dengan menahan amarahnya, Elio pun beranjak dari tempat tidurnya dan beralih pada kursi roda miliknya.
"Bi, bi Rosi!" Teriak Elio dari depan pintu kamar miliknya.
Suara itu begitu keras dan nyaring, membuat hampir semua orang di mansion tersebut mendengarnya.
"Iya saya, tuan." Dengan nafas masih belum normal, Rosi berjalan cepat bahkan terkesan seperti berlari kecil untuk segera tiba pada sumber suara yang memanggil namanya.
"Mana wanita itu?" Tanpa melihat pada lawan bicaranya, Elio menanyakan apa yang menjadi kerisauan hatinya.
"Wanita? Wanita yang mana tuan?" Kening Rosi berkerut atas pertanyaan itu.
"Wanita keras kepala yang bekerja untuk membantuku." Jelas Elio, namun tidak menyebutkan nama.
"Fiorella? Fio, maksud tuan?"
...Jadi, namanya Fiorella. Huh, nama itu jelek sekali. Elio...
"Ya, dia." Elio membenarkan ucapan Rosi.
"Maaf tuan, Fio sebelumnya sudah izin pada nyonya besar. Karena, hari ini, dia harus mengurus keperluannya di kampus. Jika tuan membutuhkan sesuatu, kami akan menyiapkannya." Dengan nada yang ragu, Rosi takut jika mengatakan hal tersebut dapat membuat Elio emosi.
"Izin? Dia bekerja untukku, kenapa tidak izin kepadaku? Dia baru bekerja disini, jadi jangan semaunya sendiri." Dada itu mengembang, menyatakan jika pemiliknya sedang menahan emosi.
"Maafkan saya tuan."
"Sudahlah, sana pergi." Elio langsung memutar kursi rodanya dan masuk ke dalam kamarnya kembali.
Melihat tuan mudanya sudah menutup pintu kamarnya, Rosi pun mengusap dadanya yang sudah hampir copot menghadapi Elio disaat emosi.
"Ya Tuhan, hampir saja. Tumben sekali, tuan muda mencari Fio?" Isi kepala Rosi berputar mencari jawaban itu.
Tidak ingin berlama-lama disana, Rosi pun kembali pada pekerjaannya semula. Jika dalam situasi seperti ini, maka nyonya besarlah yang akan turun tangan sendiri membantu tuan muda mereka.
Sedangkan ditempat yang berbeda, Fio sedang menatap makalah skripsinya yang akan ia berikan kepada dosen pembimbingnya. Bersama beberapa temannya yang juga bimbingan, Fio harus memikirkan langkah apa yang akan ia ambil disaat makalahnya mendapatkan penolakan ataupun revisi (perbaikan) kembali.
Berharap, jika semuanya berjalan dengan lancar. Maka, makalah Fio siap untuk dipersentasikan untuk di uji. Namun jika sebaliknya, ia harus berusaha lebih keras lagi untuk menyelesaikannya.
"Fio!" Suara keras memanggilnya.
Terlihat dua orang wanita sedang berlari kecil untuk menghampirinya, mereka adalah teman dan sudah seperti sahabat yang selalu menemani dalam setiap peristiwa.
"Jangan suka berteriak seperti itu, malu sama yang lain." Ujar Fio kepada kedua sahabatnya itu.
"Hahaha, biarin dah. Anggap aja semuanya yang disini patung, lagian. Kalau nggak teriak, kan lu nggak kedengeran." Dengan begitu semangat, Sovia membela diri.
"Gue nggak ikutan dah, temen lu satu ini memang rada-rada." Vivi menunjukkan jemarinya yang membuat garis di keningnya.
"Sudah, kalian berdebat untuk apa? Yang punya kalian sudah dapat ACC (Persetujuan) dari dosen?" Tanya Fio.
Gelengan kepala dari keduanya menjadi jawaban, kedua sahabatnya itu sudah menghadap dengan dosen yang membimbing mereka dalam proses penyusunan laporan skripsi. Namun, hasilnya masih harus perbaikan dan masih ada yang harus diteliti.
"Lu?" Vivi bertanya pada Fio.
"Aku baru saja tiba dan bertemu kalian, apa kalian melihat pak Ferdy?" Fio berharap, kedua sahabatnya itu menganggukkan kepalanya.
Akan tetapi, gelengan kepala kembali yang Fio dapatkan. Dan itu membuat Fio harus berjuang mencari keberadaan dosen muda tersebut.
Dunia Fio seakan runtuh seketika, dosen muda itu tidak tahu dimana berada. Ketika dihubungi , balasannya pun lama. Membuat Fio menghela nafas beratnya, ketiganya lanjut duduk bersantai di tempat yang biasa digunakan disaat bosan. Yaitu, kantin.
"Woi! Nggak ngajakin lagi nih. Boleh bayarin makan sama es nggak nih, gue lagi bokek." Fariz baru tiba menghampiri para sahabatnya.
"Buset, lu jujur amat. Malu gue, pesen sana skalian punya gue. Nanti gue yang bayar, dasar lu." Rio pun ikut duduk diantara mereka.
"Hahaha, oke dah." Fariz segera berlari menuju tempat makanan yang sering ia pesan.
"Kalian berdua darimana? Kayak habis kerja rodi, parah." Sovia menatap Rio dengan raut wajah berkerut.
"Biasalah, habis bimbingan. Revisi lagi, entah kapan tu pak aji ngelulusin makalahnya. Licin juga kepala gue lama-lama, mana tu kutu kupret ngintilin Mulu." Keluh kesah Rio.
"Sabar O, nasib punya pembimbing yang sama dengan tu anak. Oh iya, kamu lihat pak Ferdy nggak?" Tanya Fio yang sudah kebingungan.
"Belum datang kayaknya, biasanya mobilnya terlihat. Sabar lu, tu dosen memang susah bener ditemuin." Rio meminum air milik Vivi sampai habis.
"Eh, kurap! Minum gue, kebiasaan bener lu." Vivi menoyor kening Rio dengan jemarinya.
"Haus, Vi. Pesen lagi sana, gue traktir."
"Jangan kebiasaan, Fariz! orange jus satu!" Teriak Vivi kepada Fariz yang masih menunggu pesanannya dan diakhiri tangan oke dari sana.
Sementara itu, disaat para sahabatnya sedang bersenda gurau. Tiba-tiba saja, ponsel milik Fio bergetar. Notifikasi pesan tertera pada layar ponselnya itu.
...Temui saya diruangan, telat lima menit. Saya tidak akan terima. Pesan dari Ferdy, dosen pembimbing....
"Eh, gue keruangan pak Ferdy dulu ya. Doain gue." Pamit Fio pada semuanya.
"Good luck, Fi!" Teriak Rio, Sovia dan Vivi secara bersamaan.
Dengan langkah lebarnya, Fio berusaha secepat mungkin untuk segera tiba di ruangan dosen tersebut. Dengan nafas yang terbata-bata menatap pintu ruangan dihadapannya, Fio menyiapkan diri untuk bertemu dosen tersebut.
Tok tok tok.
"Permisi, pak." Terlihat seorang pria dengan wajah kharisma nya, disaat pintu ruangan itu terbuka.
"Tidak usah mengintip, masuk dan siapkan makalah nya." Suara tegas terdengar.
Fio segera melaksanakan perintah itu, makalah kini sudah siap. Fariz membuka dan mulai memeriksa makalah tersebut, hal itu membuat detak jantung Fio tidak bisa menahan rasa khawatirnya.
Sekian lama, akhirnya makalah itu ditutup tanpa ada pergerakan pena dari tangan pria itu. Apakah Fio berhasil atau ada sesuatu yang lain?
"Bagaimana, pak?" Fio mengatakan hasilnya.
"Siap ujian?" Fariz menatap Fio.
"Apa pak, ujian?" Kaget Fio dengan ucapan tersebut.
"Hhmm, dengan satu syarat."
"Hah!" Benar-benar diluar dugaan Fio.
"Ya, lusa. Temani saya untuk datang ke pesta ulang tahun perusahaan, jika menolak. Silahkan ganti judul dan cari dosen pembimbing yang lain."