Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Melawan Penciptanya
Setelah Ellen Pergi
Ruangan kembali sunyi.
Shailendra duduk diam di ruang kerjanya. Hanya detak jam dinding dan tarikan napas beratnya yang bersahutan dengan ingatan yang enggan pudar. Sorot matanya meredup, menunduk seakan mencari jawaban di lantai marmer yang dingin. Tangan kirinya mengusap pelipis—gerakan refleks yang hanya muncul saat pikirannya kacau.
Ia membenci kenyataan bahwa Bayu kembali mencari mantan pacarnya. Laras. Nama yang tak pernah benar-benar ingin ia kenali. Wajahnya pun masih kabur di kepalanya—entah karena memang tak pernah dilihat, atau karena terlalu enggan untuk mengingatnya.
"Hanya seorang janda. Wanita dari kalangan biasa yang bahkan tak bisa menjaga rumah tangganya. Dari keluarga tak bermoral. Adik macam apa yang merebut suami kakaknya sendiri... sampai hamil pula?"
Namun napas Shailendra tertahan saat pikirannya beralih pada Ellen.
"Laras memang tak pantas untuk putraku."
Tapi Ellen...
“Kenapa aku tetap merasa ada yang ganjil, El...?” gumamnya pelan, nyaris seperti doa yang tak mengharap jawaban.
Tangannya terulur membuka laci. Dari dalamnya ia mengeluarkan sebuah map lusuh—dokumen lama yang sudah berkali-kali ia baca, namun belum sekali pun memberinya kepastian. Di dalamnya, surat medis dari lima belas tahun lalu terselip di antara laporan keuangan dan potongan artikel koran yang memberitakan kecelakaannya.
"Lima belas tahun lalu… malam paling ganjil sekaligus paling menentukan dalam hidupku."
Ingatan Shailendra kembali pada lima belas tahun
Saat itu, ketika matanya perlahan terbuka, dunia tampak buram dan menyilaukan. Lampu rumah sakit menari-nari di kelopak matanya yang berat. Aroma antiseptik menyesakkan, menusuk hingga ke tenggorokan.
Tubuhnya nyaris tak bisa digerakkan.
Seorang pria berpakaian putih berdiri di samping tempat tidurnya. Ia tampak lega ketika melihat Shailendra membuka mata. Tangan kirinya memegang clipboard, sementara tangan kanan dengan refleks menyentuh denyut nadi di pergelangan Shailendra.
"Pak Shailendra... akhirnya Anda sadar." Suaranya berat tapi menenangkan, seperti seseorang yang baru saja melewati malam panjang di ambang kehilangan. "Bagaimana perasaan Anda? Bisa dengar suara saya dengan jelas?"
Shailendra mengerjapkan mata, mencoba fokus pada wajah di depannya. Sakit merambat dari punggung hingga ke ujung kakinya. Tenggorokannya kering. Napasnya masih berat.
“Sakit... punggung... dan kaki... nyeri,” gumamnya lemah.
Dokter itu mengangguk pelan, mencatat sesuatu di clipboard-nya, lalu memeriksa pupil Shailendra dengan senter kecil. Setelah memastikan refleks mata masih baik, ia menarik napas dalam dan mulai menjelaskan.
“Itu wajar, Pak. Anda mengalami kecelakaan lalu lintas yang cukup parah. Ada perdarahan hebat, beberapa tulang retak... dan—” ia ragu sejenak, menimbang kata-katanya, “—cedera serius pada sumsum tulang belakang bagian bawah.”
Shailendra diam. Ia hanya bisa menatap kosong, belum sepenuhnya mencerna.
"Trauma itu mengganggu produksi sel darah Anda," lanjut sang dokter. "Kondisi yang mirip dengan aplastic anemia, tapi dalam kasus Bapak, penyebabnya adalah cedera, bukan bawaan tubuh. Tanpa transplantasi sumsum tulang belakang, nyawa Anda kemungkinan besar tak tertolong." Suara dokter itu menurun pelan. “Kami nyaris kehilangan Anda.”
Ia menunduk sebentar, lalu menatap Shailendra lagi, menambahkan dengan nada lebih lembut.
“Tapi Anda selamat, Pak. Transplantasinya berhasil.”
Shailendra menoleh sedikit, lehernya kaku. “Siapa... yang donor?”
Dokter itu terdiam sejenak, seperti tahu jawaban itu akan mengguncang sesuatu yang lebih dalam dari luka fisik.
“Bu Ellen,” jawab dokter itu pelan. “Dia yang jadi pendonor. Dia yang menyelamatkan hidup Anda.”
Shailendra mengerjap. Suhu udara di ruangan itu tiba-tiba seperti turun beberapa derajat. Nama itu membentur dinding pikirannya, menggema seperti gema dalam lorong gelap yang tak asing.
Ellen.
Kembali ke Masa Kini
Namun kini, lima belas tahun berlalu, keraguan itu masih menancap.
Shailendra memandang kertas hasil kecocokan HLA di tangannya. Angka-angka itu sempurna. Terlalu sempurna.
“Semua cocok. Semuanya seolah mengarahkan jari padamu, El. Tapi... kenapa hatiku tak pernah ikut mengiyakan?”
Ia teringat wajah Ellen saat itu. Senyum yang getir. Pelukan yang erat. Air mata yang jatuh dengan presisi—seolah tahu kapan harus berhenti, kapan harus mengalir. Terlalu rapi. Terlalu terukur.
“Apa benar... kamu yang menyelamatkanku? Atau kamu sedang menyelamatkan sesuatu yang lain… sesuatu yang lebih besar dari sekadar hidupku?”
Shailendra menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tapi yang terlihat hanya bayangannya sendiri.
"Ellen..."
Ia mengangguk kecil, seperti ingin menenangkan dirinya. Tapi suara dari dalam hatinya, yang telah ia bungkam selama bertahun-tahun... kini mulai berteriak.
"Kenapa aku tetap merasa... itu bukan kamu?"
Untuk sesaat, ia tidak bisa bernapas. Dadanya sesak oleh sesuatu yang lebih berat dari luka: hutang budi.
Hutang budi... pada wanita yang tak pernah ia minta, tapi tak bisa ia tolak. Dan sejak hari itu, ia hidup dengan nyawa yang bukan sepenuhnya miliknya.
Dan itu... perlahan membunuhnya, dalam diam. Karena jauh di lubuk hatinya, ia tahu—Ellen tetap tinggal bukan karena cinta... tapi karena harta dan nama belakang putranya.
Sore Harinya – Bayu Pulang
Pintu ruang kerja Shailendra terbuka—bukan dengan gebrakan, tapi dengan ketenangan yang justru terasa menekan. Bayu melangkah masuk, mengenakan setelan gelap yang rapi. Tubuhnya tegap, wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyimpan bara yang siap menyala kapan saja.
Shailendra bangkit dari kursinya, suaranya meledak sebelum Bayu sempat bicara. “Kau pikir aku tidak tahu permainanmu, Bayu?!” Suaranya penuh amarah, nyaris bergetar menahan emosi. “Kau pikir aku akan diam saja saat kau kembali mencari perempuan sialan itu?!”
Tatapan Shailendra menusuk, seperti ingin mengoyak keyakinan anaknya.
“Wanita itu bukan siapa-siapa! Kalangan biasa, janda pula! Apa kau benar-benar ingin menyeret nama keluarga ini ke lumpur hanya karena nafsu lama yang belum selesai?!”
Bayu mengatupkan rahangnya, keras. Tapi suaranya tenang, menusuk seperti belati yang dingin.
“Perempuan sialan yang sudah menjanda itu... adalah satu-satunya yang pernah aku cintai.”
Shailendra membanting setumpuk dokumen ke meja. “Aku bisa menghancurkannya! Dalam sekejap! Sama seperti dulu!”
Bayu melangkah maju, tak gentar. Matanya menatap lurus ke mata lelaki yang selama ini menahannya dengan rantai tak kasatmata.
“Sentuh Laras sekali lagi, Pa...” suaranya turun satu oktaf, nyaris seperti gumaman ancaman. “Dan aku bersumpah, aku akan menghancurkan semuanya. Perusahaan yang Papa bangun. Nama besar keluarga ini. Kekayaan yang Papa anggap segalanya. Aku yang pegang kendali sekarang. Dan semua itu... tidak sebanding dengan Laras. Tidak pernah sebanding.”
Shailendra tampak terguncang, tapi mencoba menyembunyikannya di balik sorot marah.
“Aku Abimanyu Shailendra,” lanjut Bayu, setengah mencemooh. “Tapi aku juga Bayu—penyanyi kafe yang dulu Papa anggap aib. Anak yang Papa salahkan atas kematian wanita yang Papa cintai. Anak yang Papa buang... lalu tarik kembali hanya karena anak yang Papa banggakan ternyata bukan darah daging sendiri.”
Bayu menahan napas sejenak. Matanya mulai memerah, tapi bukan karena sedih. Amarah. Luka. Dan cinta yang terus dibungkam selama ini.
“Papa datang menjemputku, menahan aku di sisi Papa, menjanjikan perbaikan hubungan. Tapi nyatanya? Papa hanya butuh pewaris. Bukan anak. Papa cuma ingin mengendalikanku, menjadikanku pion... dan menjadikan Laras tumbal ancaman Papa.”
Ia menggeleng pelan, seperti mengejek takdirnya sendiri. “Jujur? Aku lebih bahagia waktu aku cuma Bayu. Tanpa nama besar. Tanpa beban warisan. Tapi setidaknya... aku masih punya rasa. Masih punya hati.”
Shailendra mengepalkan tinjunya. Napasnya berat, matanya bergetar oleh sesuatu yang tak ia kenal—mungkin rasa bersalah, mungkin takut kehilangan kekuasaan... atau mungkin keduanya.
Bayu mencondongkan tubuh ke depan, menatap ayahnya dari jarak dekat.
“Papa lupa satu hal... Anak yang Papa bentuk jadi monster, sekarang sudah cukup kuat untuk melawan penciptanya.”
Ia berbalik, melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Di balik pintu, Ellen berdiri membeku. Buku-buku jarinya memutih karena mengepal terlalu kencang, rahangnya mengeras, matanya menyala oleh api yang tak kalah panas.
“Laras... bagaimana pun caranya, aku akan menghancurkanmu,” desisnya penuh dendam.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa