NovelToon NovelToon
Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Suami ideal / Trauma masa lalu
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perhatian yang tidak terduga

Pagi baru menyapa apartemen Aira dengan sinar matahari yang lembut menembus tirai.

Tapi tak seperti biasanya, Aira tidak langsung beranjak dari tempat tidur.

Ia meringkuk, wajahnya sedikit pucat, tangan memegangi perutnya yang terasa nyeri.

Segera Aira ke kamar mandi dan melihat bulan merah yang datang di pagi hari.

“Ternyata aku datang bulan,” gumamnya lemah, menarik napas dalam-dalam sambil berusaha menahan kram yang datang bergelombang.

Ia melirik jam dan hampir pukul delapan dimana Abraham akan datang menjemputnya sebentar lagi.

Aira mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Abraham tapi Aira ragu.

Ia ingin mengabari bahwa ia butuh istirahat hari ini, tapi rasa sungkan membuatnya bimbang.

Belum sempat ia mengirim pesan, terdengar ketukan halus di pintu.

Tok... tok...

“Aira? Ini aku, Abraham.”

Aira perlahan bangkit dan berjalan pelan ke pintu. Begitu membuka, Abraham langsung menyadari ada yang berbeda.

Wajah Aira pucat, tubuhnya sedikit membungkuk sambil menahan perut.

“Kamu kenapa?” tanyanya cepat dengan wajah khawatir.

“Maaf Pak, sepertinya saya nggak bisa ikut hari ini. Saya sedang datang bulan. Perut saya kram dari tadi pagi,” ucap Aira pelan, canggung, tapi jujur.

Abraham terdiam sejenak, lalu mengangguk memahami.

“Kamu nggak perlu minta maaf. Harusnya kamu istirahat. Tunggu sebentar ya.”

Sebelum Aira sempat bertanya, Abraham sudah berbalik dan pergi.

Tak sampai lima belas menit, ia kembali membawa kantong berisi botol air hangat, camilan cokelat, dan teh herbal.

“Ini bisa bantu redakan nyerinya,” katanya sambil menyerahkan kantong itu.

“Kamu istirahat, aku yang atur jadwal di lokasi hari ini.”

Aira tertegun. Perhatian sederhana itu membuat dadanya hangat. “Terima kasih, Pak Abraham. Bapak benar-benar... terlalu baik.”

Abraham tersenyum kecil. “Hari ini bukan bos dan staf. Hari ini kamu cuma Aira—dan aku cuma seseorang yang peduli.”

Aira hanya bisa membalas dengan tatapan dalam yang penuh rasa terima kasih, sebelum menutup pintu dan kembali ke dalam dengan hati yang jauh lebih ringan.

Kemudian Abraham berangkat ke kantornya dan ia meminta Aira untuk istirahat.

Siang menjelang, matahari bergeser ke tengah langit. Abraham kembali berdiri di depan pintu apartemen Aira dengan kantong kecil berisi sup hangat dan buah potong.

Ia belum tenang sejak pagi, pikirannya terus melayang pada wajah pucat Aira.

Ia mengetuk pintu dengan pelan.

Tok… tok… tok…

Tidak ada jawaban.

“Aira?” panggilnya lagi, kali ini sedikit lebih keras.

Masih tak ada sahutan.

Wajah Abraham mulai cemas. Ia ingat, saat memberikan apartemen ini, ia masih mempunyai satu kunci cadangan untuk keadaan darurat. Hatinya berdebar tak karuan, takut ada yang tidak beres.

Dengan cepat, ia mengeluarkan kunci dari sakunya dan membukakan pintu. Begitu pintu terbuka, suasana sunyi langsung menyambutnya.

“Aira, kamu di mana?” panggilnya dengan nada khawatir.

Dari dalam kamar mandi, Aira yang tengah duduk lemas di lantai mendengar suara itu.

Perutnya masih terasa perih, tapi kali ini lebih menusuk, lebih melemahkan dibanding kram biasa. Keringat dingin mengucur di pelipisnya.

“Pa—Pak Abraham…” sahutnya lirih, nyaris tak terdengar.

Tapi Abraham mendengarnya. Dengan cepat ia menuju sumber suara dan mendapati pintu kamar mandi sedikit terbuka.

Begitu ia mengintip, matanya langsung membelalak melihat Aira duduk di lantai, tubuhnya membungkuk sambil memegangi perut.

“Aira!” serunya, segera berjongkok di hadapannya. “Kamu kenapa? Sakitnya makin parah?”

Aira mengangguk lemah. “Ini… beda dari biasanya. Rasanya... menusuk banget.”

Abraham tanpa ragu mengulurkan tangan, menopang Aira perlahan.

“Kita harus ke dokter. Aku nggak akan biarkan kamu begini terus.”

“Tapi... saya... malu…”

“Tidak ada yang perlu kamu malu, Aira. Kamu butuh bantuan, dan aku di sini,” ucap Abraham tegas namun lembut.

Dengan penuh kehati-hatian, ia membantu Aira berdiri dan menyandarkannya pada dirinya.

Di matanya, Aira bukan hanya desainer andal, tapi seseorang yang kini mengisi ruang hatinya dengan kehadiran yang tulus.

Dengan sigap, Abraham membimbing Aira menuju mobilnya yang terparkir di bawah apartemen.

Sepanjang perjalanan, ia tak henti melirik ke arah Aira yang duduk diam di kursi penumpang, wajahnya pucat dan keringat masih membasahi dahinya.

“Sabar ya, Aira. Kita hampir sampai,” ucap Abraham pelan, berusaha menenangkan meski hatinya sendiri diliputi kekhawatiran.

Aira hanya mengangguk lemah, tangan kanannya tetap menekan perutnya.

Sesampainya di rumah sakit, Abraham langsung turun dan membuka pintu untuk Aira.

Ia memanggil perawat yang sigap menghampiri dengan kursi roda.

Tak butuh waktu lama, Aira dibawa masuk ke ruang pemeriksaan.

Abraham menunggu di luar ruang periksa dengan gelisah, menatap pintu yang tertutup rapat.

Tak biasanya ia merasa setegang ini. Hatinya tak tenang sebelum tahu Aira baik-baik saja.

Setengah jam kemudian, seorang dokter keluar dan menghampirinya.

“Pak Abraham?”

“Ya, saya.”

“Pasien Aira mengalami dysmenorrhea berat dimana nyeri haid yang cukup ekstrem. Tidak ada indikasi penyakit serius, tapi memang rasa sakitnya bisa sangat mengganggu. Kami sudah memberinya obat pereda nyeri dan infus agar tubuhnya tidak dehidrasi.”

Abraham mengangguk lega. “Syukurlah… Terima kasih, Dok.”

“Ia perlu banyak istirahat. Nanti kalau sudah stabil, pasien boleh pulang.”

Saat diizinkan masuk ke ruang rawat sementara, Abraham melihat Aira sudah terbaring, dengan infus di tangan dan selimut menyelimuti tubuhnya.

Matanya terbuka perlahan saat melihat Abraham masuk.

“Maaf… merepotkan,” gumam Aira lemah.

Abraham mendekat, duduk di kursi di samping ranjangnya.

“Aira, kamu nggak merepotkan. Aku yang minta kamu bantu kafe, aku juga yang harus jaga kamu. Aku serius.”

Aira menatap matanya, kali ini ada rasa hangat yang tak hanya berasal dari obat di tubuhnya, tapi juga dari perhatian yang tulus di hadapannya.

“Terima kasih, Pak Abraham,” bisiknya.

Abraham hanya tersenyum, lalu menggenggam lembut tangan Aira yang bebas dari infus.

“Mulai sekarang, kamu nggak harus hadapi semua sendirian.”

Waktu bergulir pelan di dalam ruang rawat yang hening.

Hanya suara mesin infus yang terdengar, berdetak lembut seperti denyut waktu yang sabar.

Di samping ranjang, Abraham masih duduk setia. Tangannya tetap menggenggam tangan Aira, seolah menjadi jangkar bagi gadis itu agar tetap merasa aman.

Aira perlahan membuka mata, pandangannya mulai jernih.

Ia terkejut melihat Abraham masih di sana, bahkan belum berganti posisi sejak terakhir kali ia terjaga.

“Pak Abraham… masih di sini?” tanyanya pelan, suaranya serak.

Abraham tersenyum, mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

“Iya. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian. Kamu butuh teman, dan aku ingin ada di sini.”

Aira menggigit bibir pelan. Ada perasaan hangat menjalar di dada, bukan dari suhu ruangan atau selimut yang membungkus tubuhnya, tapi dari perhatian yang begitu nyata.

“Bapak nggak ada pekerjaan?”

“Ada. Tapi kamu lebih penting sekarang,” jawab Abraham tanpa ragu.

Aira terdiam, nyaris tidak percaya bahwa ada seseorang yang bersedia duduk selama berjam-jam di sisinya, hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja.

“Aku jadi malu. Baru kenal nggak lama, tapi sudah merepotkan…”

Abraham tertawa pelan. “Justru karena kita baru kenal, aku pengen lebih kenal. Dan tahu apa yang bisa aku lakukan buat bikin kamu nyaman.”

Aira menghela napas. Ia menatap langit-langit, lalu menoleh kembali ke Abraham.

“Saya belum pernah diperlakukan sebaik ini, Pak.”

Abraham memandangnya lekat. “Mungkin kamu terlalu lama bertahan dalam hubungan yang salah. Tapi sekarang, kamu nggak sendirian lagi.”

Air mata Aira nyaris menetes, tapi ia menahannya.

“Terima kasih…”

Abraham mengangguk dan berdiri sejenak. “Aku pesankan makanan ringan buat kamu nanti sore ya? Setelah infus ini selesai, kita bisa pulang.”

Aira menatapnya dengan mata yang lebih tenang. Di tengah rasa sakit fisik yang ia alami hari itu, ia justru merasa hatinya mulai pulih sedikit demi sedikit.

1
Asmara Senja
Kereeeennnn
my name is pho: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!