Cover by me
Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.
Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.
Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.
Lanjut baca langsung ya disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan tak terduga
Abri memakai sepatu sport di teras rumah orangtuanya. Setelah itu, ia mulai melakukan gerakan peregangan ringan untuk melemaskan otot-otot tubuh. Hari ini ia sedang cuti dari dunia ke-abdi-negaraan, dan memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya. Joging pagi sudah jadi rutinitas yang tak bisa ditinggalkannya.
"Pakai jaket, Bang. Udara masih dingin," tegur Mama Nada yang baru keluar rumah. Matanya langsung menangkap putranya yang hanya mengenakan kaus tanpa lengan, celana pendek di atas lutut, dan topi yang melengkapi penampilannya.
Abri tersenyum. "Iya mah. Nih, Abang bawa hoodie." tuturnya lembut mengambil Hoodie yang ia letakkan di atas kursi yang ada di teras rumah lalu selanjutnya mengikatnya di pinggang.
"Kok diikat di situ? Dipakai, dong!" tegur Mama Nada dengan nada protektif. Ia hanya ingin anak sulungnya tidak masuk angin.
Haduh Mama Nada, gak inget apa ya waktu pelatihan—Abri itu tidur cuma beralaskan tanah dan bertapakan langit. Jadi suhu dingin di pagi hari tidak ada apa-apanya.
"Nanti kalau kerasa dingin Abang pakai. Abang pergi dulu ya. Assalamualaikum." tidak lupa ia mencium tangan serta pipi sang Mama, lalu pergi. Ia tau kalau meladeni sang Mama pasti akan panjang urusannya yang ada dia tidak jadi joging.
"Waalaikumsalam," jawab Mama Nada sambil menggeleng pelan sebelum masuk kembali ke rumah.
"Kerja dek?" tegur Abri saat berpapasan dengan adik bungsu yang tinggal di depan rumah orangtua mereka sedang memeriksa motornya.
Si bungsu mengangguk "polisi mana ada liburnya bang."
Abri mengangguk setuju. Libur bagi polisi, apalagi yang bertugas di satreskrim seperti Aidan, memang bisa dihitung dengan jari. Mirip-mirip dengan tentara, sih. Tapi tampaknya beban kerja Aidan sedikit lebih padat.
"Abang mau kemana?" Aidan menepuk-nepuk tangannya untuk membersihkan telapak tangannya dari debu yang ada di mesin motor dan menempel di tangannya.
"Joging."
Aidan mendengus "libur tu istirahat bang. Jarang-jarang loh orang kayak kita ini dapat jatah cuti." ujar Aidan.
Benar memang, tapi Abri bukanlah orang yang kalau libur tidur sampai sore. Ia malah tidak bisa seperti itu di karenakan sudah biasa bangun pagi dan berkegiatan sejak pagi jadi jika malah berleha-leha membuat tubuhnya tidak enak.
"Memangnya Bang Abri itu Abang!" serobot suara dari arah pintu. Yura, istri Aidan, muncul dengan tangan di pinggang. "Kalau libur, tidur sampe dzuhur!"
Abri tergelak.
"Aib suami jangan diumbar-umbar, Dek," tegur Aidan, tapi nadanya lebih ke pasrah.
Abri masih tergelak "aib apanya? Abang juga udah tau kebiasaan buruk kamu itu."
"Hih, Abang sama istri sama aja, ya. Suka banget menjatuhkan," keluh Aidan.
Abri dan Yura langsung menyemburkan tawa mereka.
"Udah sana pergi yang paling gak bisa libur." usir Aidan pada Abri.
Abri membalas dengan tawa kecil. "Ra, jangan lupa sediain susu buat bocah ingusan itu, nanti nangis kalau gak minum susu," ledek Abri.
"Heh! Enak aja! Setidaknya aku lebih berpengalaman soal urusan ranjang. Bukan kayak Abang si perjaka tua!"
Abri langsung bungkam, dasar adik kampret! Kalau di suruh mengoloknya paling juara. "Serah deh." pasrah Abri, ia langsung saja pergi meninggalkan Aidan dan Yura, lebih baik ia pergi joging saja ketimbang harus mendengarkan ledekan Aidan yang mengantali telinganya.
Ia berlari sambil mendengarkan musik dari earphone bluetooth-nya. Sesekali, ia menyapa warga kompleks yang dikenalnya. Ketika sudah cukup pemanasan, ia mulai berlari ke arah jalan raya, menyusuri trotoar kota.
Beberapa wanita yang berpapasan dengannya tampak menoleh dua kali. Wajah tampan dan tubuh atletis Abri memang menarik perhatian. Tapi Abri? Tak peduli. Tatapannya lurus ke depan, sepenuhnya fokus.
Dari kejauhan Abri melihat seorang pria paruh baya tengah mendorong motornya. Abri agak mencepatkan laju larinya dan menghampiri pria tersebut.
"Permisi, pak. Motornya kenapa? Rusak?" tanyanya sopan sambil sedikit membungkuk.
Pria itu menoleh begitu mendengar suara Abri dan betapa terkejutnya ia melihat tinggi tubuh Abri yang menjulang tinggi, belum lagi rupanya yang terlalu tampan.
"Gak tau nak, tiba-tiba aja mati padahal besinnya masih banyak." kata pria itu seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal menatap motornya dengan raut bingung.
Abri berjongkok, melihat mesin motor tersebut. "Bapak bawa kunci-kuncian gak?"
"Bawa nak, tunggu sebentar," pria itu menurunkan standart motornya lalu membuka bagasi motor tersebut mengambil kunci di dalamnya dan memberikannya pada Abri.
Abri pun memulai aksinya, mengotak-atik motor pria paruh baya tersebut tanpa ragu dan tidak lama ia kembali berdiri seraya membersihkan tangannya.
"Coba dinyalakan, pak." ujar Abri pada pria itu setelah yakin dengan keadaan motor yang sudah ia perbaiki.
Pria tersebut menurut dan mencoba menghidupkan motornya kembali dan benar saja, motornya kembali menyala. Tampak pria paruh baya itu mengukir senyum karena motornya bisa menyala kembali.
"Alhamdulillah! Makasih ya, Nak. Nih, Bapak ada uang sedikit..." Bapak tersebut memberikan Abri selembar uang berwarna hijau pada Abri.
Abri langsung mengangkat tangan menolak. "Gak usah, Pak. Saya cuma bantu. Gak minta imbalan."
Bapak itu tersenyum lebar. Masih ada pemuda baik seperti Abri di zaman ini—sopan, tanggap, dan peduli. Beruntung sekali orangtua yang punya anak seperti dia.
"Kalau begitu terimakasih banyak, nak. Semoga kebaikanmu di balas Allah."
"Amin, Pak. Hati-hati ya," balas Abri sambil tersenyum.
Bapak tersebut mengangguk "kamu juga, nak. Hati-hati larinya." balas bapak itu seraya menepuk pundak Abri dan lanjut berlalu dari hadapan Abri.
______________
Di sisi lain kota, Moza dengan full senyum mengayuh sepeda menuju bundaran HI. Jarak rumahnya ke pusat kota Jakarta itu memang tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit jika di tempuh dengan sepeda.
Tidak sedikit pria atau wanita yang memutar kepala mereka ketik berpapasan dengan Moza karena melihat wajah Moza yang seperti boneka Barbie, tapi tak satupun gadis itu perdulikan hanya saja entah ini perasaannya atau apa, sejak ia keluar dari kompleks perumahan tadi rasa-rasanya dua pengendara sepeda di belakangnya itu seperti tengah mengikutinya.
Moza mencoba memutar kepalanya, tapi tak ada sesiapapun di belakang dirinya kecuali dua pria pesepeda yang menurutnya tak nampak mencurigakan sama sekali. Mungkin itu hanya perasaan dirinya saja. Ya, mungkin saja.
Moza kembali menggoes sepedanya dengan tenang, sesekali menoleh ke kiri ke kanan menikmati suasana pagi hari kota Jakarta yang terbilang cukup tenang dari biasanya yang di penuhi kemacetan dan polusi udara.
Moza menghentikan aksi goesnya di depan sebuah warung untuk membeli air mineral.
"Bu, airnya satu, ya," pintanya.
Penjual itu melayani Moza dengan ramah dan mengambil air mineral yang di minta Moza. sementara Moza matanya meliar kesana kemari dan menangkap tak jauh darinya dua pengendara sepeda bertubuh besar yang sedari tadi di belakangnya juga ikut berhenti. Begitu tatapan mereka bertemu dengan Moza keduanya buru-buru membuang pandangannya yang tengah memperhatikan Moza tentunya. Dan itu malah membuat Moza kian curiga.
Otaknya jadi berputar ke waktu beberapa menit lalu, tepatnya setelah ia keluar dari komplek perumahan tempat ia tinggal dua pengendara sepeda itu sudah mengikutinya sejak saat itu juga.
Alarm tanda bahaya langsung saja berbunyi begitu menyadari perasaannya sejak tadi ternyata bukan hanya sekedar feeling saja, itu adalah kenyataan. Orang yang awalnya di anggap Moza tak mencurigakan sama sekali malah terlihat mengincarnya. Moza merasa kedua pria itu mengikutinya bukan karena memuja dan ingin berkenalan seperti pria lain, melainkan ini lebih dari itu. Ia merasa keduanya sangat berbahaya. Terlihat dari gelagat keduanya yang napak melirik, namun was-was seperti takut ketauan.
"Neng, neng!" panggil sang penjual entah yang sudah ke berapa kalinya karena Moza malah melamun. Moza berjengkit kaget.
"Ini airnya neng." Penjual itu menyerahkan botol air mineral pada Moza.
Ia membayar cepat-cepat. "Ambil aja kembaliannya, Bu," katanya buru-buru, lalu mengayuh sepeda secepat mungkin.
"Kejar dia kejar!" salah satu pria berteriak.
"Awas, awas!" teriak Moza pada beberapa pejalan kaki, jantungnya sudah tak karuan lagi ia benar benar panik dan ketakutan. Ternyata perkataan Hamzah benar adanya keadaan di luar itu benar benar berbahaya untuknya. Entah apa yang di mau dua pengendara sepeda di belakangnya sana, yang ia tau sekarang adalah nyawanya sudah pasti dalam bahaya.
Tanpa sadar air mata Moza sudah mengalir begitu deras membasahi pipi sangking ketakutannya. "papi..." panggilnya lirih, nafasnya pun sudah ngos ngosan karena sekuat tenaga berusaha mengayuh sepeda untuk mempersempit jarak. "Papi tolong Oza papi..." lirihnya berharap sang papi mendengar suara lirihnya.
Sementara Abri masih berlari santai. Keringat membasahi tubuhnya, membuatnya makin memikat. Tapi lagu yang sedang diputar di earphone-nya mendadak tertutup oleh teriakan.
"Minggir! Minggir!" pekik gadis itu.
Kontan Abri langsung menoleh kebelakang dan mendapati seorang gadis mengayuh sepeda dengan ugal-ugalan.
Mata Abri kian membulat ketika melihat sepeda beserta pengemudinya semakin dekat kearahnya. Langsung saja ia melompat sedikit menepi di trotoar memberi jalan untuk gadis yang naik sepeda dengan ugal-ugalan itu. Dan selanjutnya yang terjadi adalah gadis itu menabrak pembatas jalan dan jatuh di atas aspal, sementara kakinya sudah tertimpa sepeda yang ia naiki.
"Papi!!" pekikan keras gadis tersebut ketakutan di tambah melihat beberapa luka di bagian kakinya. membuat beberapa pengendara dan juga pejalan kaki mendekati gadis itu.
Semantara Abri, ia cuma geleng-geleng kepala dan memilih melanjutkan kegiatan jogingnya. Entahlah rasanya ia malas mengambil pusing tentang gadis itu. Bisa jatuh, berarti bisa bangun sendiri.
Setelah beberapa meter Abri berlari entah mengapa sisi kemanusiaannya menjerit ingin membantu . Membuatnya langsung menghentikan kegiatannya, menoleh kebelakang dan putar balik, gadis itu masih di kerubungi orang-oran dan juga terdengar beberapa pria yang bersedia mengantarkan gadis itu pulang.
"Kayaknya bantuanku gak di butuhin juga kan?" dialognya pada diri sendiri ketika melihat banyaknya orang mengerubungi gadis itu. Tapi lagi lagi, akal sehatnya kalah dengan sisi kemanusiaan dalam dirinya membuatnya mau tak mau berjalan mendekat.
"Permisi, permisi!" Abri membelah lautan yang hampir semuanya pria.
Kepala gadis itu mendongak dengan wajah sudah basah karena derai air mata. Padahal lukanya nggak seberapa tapi tangisannya sudah seperti akan membuat lautan dadakan.
Dan Abri agaknya kaget melihat wajah gadis itu, begitupun gadis itu agaknya ia kaget melihat wajah Abri. Sama-sama terpaku di tempat dan saling mengunci tatapan.
"Ini kan cewek cantik-cantik edan itu," batin Abri.
"Sial banget si aku hari ini, udah di kejar kejar orang gak di kenal, jatuh, eh malah ketemu ini cowok disini. Papi ya Allah papi... bantu Oza papi...!!" batin Moza menjerit frustasi.
"Yuk neng saya anterin!"
"Gak mas, saya aja yang anterin."
"Mana boleh, sama saya aja ya mbak."
"Gak, gak. Mending sama saya aja. Naik mobil."
Pandangan keduanya terputus begitu suara bapak-bapak ganjen berebut ingin mengantar Moza. Namun tak satupun gadis itu tanggapi, tatapan Moza beralih ke arah dua pria yang tadi mengejarnya, mereka juga ada di antar kerumunan. Mereka mendekat membuat tubuh Moza kian bergetar ketakutan.
Moza menatap satu persatu wajah pria yang tadi menawarkan diri mengantarkannya pulang tapi entah mengapa dalam keadaan genting begini pun ia mencari orang yang benar-benar mampu menjaganya seperti Aji, tapi tak satupun yang nampak seperti ajudannya itu. Dan pandangannya terakhir jatuh pada sosok Abri. Ya, pria dengan tubuh tegap itu masih senantiasa berdiri menjulang menatapnya.
"Tolong saya mas..." lupakan rasa malu, nyawanya lebih penting sekarang. Ia sudah ketakutan setangah mati akibat dua pria itu yang kini jaraknya sudah ada di sebelahnya dan ingin meraih tangan Moza. Gadis itu menatap Abri dengan binar penuh permohonan dengan raut sedihnya dan rasa ketakutan yang lahir biasa, tubuhnya saja sampai bergetar hebat. Entahlah, entah mengapa ia merasa Abri ini mampu melindunginya untuk saat ini.
Abri langsung membaca bahasa tubuh itu—gemetar, panik, takut. Ini bukan sekadar jatuh. Ini darurat.
Sebagai anggota pasukan khusus ia sangat paham akan bahasa tubuh. Namun yang Abri bingungkan gadis itu takut apa? Apa takut karena di kerumuni bapak-bapak ganjen ini?
"Tolong saya mas..."
Karena sejak tadi Moza memohon untuk di tolong oleh Abri, para pria pun lantas memusatkan pandangan mereka ke Abri.
"Kamu kenal cewek ini mas?" Tanya pria dengan kaos berwarna putih serta topi di kepalanya.
Kepala Abri baru saja akan menggeleng ketika tiba-tiba Moza berkata cepat,
"Itu pacar saya, Pak."
klo nnt mayor nelpon lagi, jgn diangkat ya bg abri... biar berhasil... 😂😂
sajen kak Chika jgn lupa biar lancar unboxing nya wkwkwkwkwkwk.....
mau tanya dong....
itu coklat susu dan Langit biru, ko tdk update di gantungan semua 🤔
hadeuh Thor jgn berat2 konfliknya kasian mereka Thor baru jg baikan blm icip2 jg.🤭