NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8 : Lebih Dari Sebelumnya

Samantha membuka matanya perlahan, dan sejenak tak tahu di mana ia berada. Bau cologne maskulin dan kasur empuk yang asing membangunkannya pada kenyataan.

Tubuhnya telanjang di bawah selimut abu-abu yang terasa terlalu hangat… dan Nathaniel ada di sampingnya.

Lelaki itu masih tertidur, tapi lengannya melingkari pinggang Samantha erat seolah takut kehilangan. Nafasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, begitu tenang dan tak terduga lembut setelah malam yang liar dan menggila.

Samantha menatap wajahnya. Ada gurat letih di sana. Ada bayangan masa lalu yang entah kenapa terasa begitu dekat. Dan sejenak, hatinya terhenti. Ia baru saja mengkhianati lelaki yang telah bersumpah melindunginya… tapi di sini, di ranjang ini, ia merasa seperti milik orang lain sepenuhnya.

Ia menggeliat pelan, mencoba menghindar.

Namun Nathaniel mengencangkan pelukannya tanpa membuka mata. "Tetap di sini," gumamnya parau.

Samantha menelan ludah. "Aku harus pulang…"

Akhirnya Nathaniel membuka mata, dan sorot itu… bukan hanya kelelahan, tapi kepemilikan. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia menatapnya sekarang. Tak ada lagi lapisan manipulatif yang ia kenakan di kantor. Yang tersisa hanyalah lelaki, yang tampaknya benar-benar takut kehilangan.

"Kau pulang ke pria itu," katanya datar, tapi tangannya tetap di tubuh Samantha, mengusap pelan sisi pinggangnya. "Setelah malam seperti tadi?"

"Itu... bukan apa-apa," ucap Samantha nyaris berbisik, menunduk. Tapi nadanya goyah. Matanya tidak berani menatap.

Nathaniel mengangkat dagunya dengan dua jari, memaksa pandangan mereka bertemu. "Jangan hina malam ini. Aku tahu kau menikmatinya, sama seperti aku. Aku melihat tubuhmu bicara lebih jujur dari bibirmu."

Wajah Samantha memerah, campuran antara malu dan marah. Tapi sebelum sempat ia membantah, Nathaniel mencium dahinya, sentuhan yang membuat tubuhnya berhenti melawan.

"Aku tidak akan memaksamu, Samantha," katanya lembut, tapi tatapannya menusuk. "Tapi aku ingin kau tahu satu hal, sejak malam itu di pesta, aku tahu… aku tidak akan membiarkanmu jadi milik orang lain begitu saja."

"Tapi kau bukan suamiku," bisik Samantha, hampir memohon.

"Aku tahu," jawab Nathaniel, mengusap rambutnya. "Tapi aku bisa jadi segalanya yang dia tak pernah mampu."

Samantha menutup mata. Tubuhnya gemetar, dan entah kenapa... ia tidak mampu membenci kata-kata itu.

Nathaniel menyelimutinya lebih rapat, menarik tubuhnya ke dadanya. "Hari ini, kau boleh pergi. Tapi malam berikutnya… aku ingin kau datang bukan karena takut. Aku ingin kau datang karena kau ingin aku."

Dan di sana, di bawah pelukannya yang hangat namun menyesakkan, Samantha hanya bisa menangis dalam diam.

Karena sebagian dari dirinya tahu… ia mungkin akan datang lagi.

...****************...

Langkah kaki Samantha terdengar nyaris tanpa bunyi saat ia memasuki apartemennya sendiri. Pagi masih menggeliat di balik jendela, membentuk siluet cahaya yang samar di lantai marmer. Sepatu haknya nyaris tergelincir saat ia berjalan melewati ruang tengah yang lengang, lalu menahan napas begitu mencium aroma roti panggang dan susu hangat.

Ia berhenti.

Di meja makan kecil yang menghadap balkon, ada nampan putih sederhana. Di atasnya: segelas susu yang masih mengepulkan uap, sepotong roti panggang berlapis tipis mentega dan selai stroberi favoritnya… dan secarik kertas kecil yang dilipat rapi.

Dengan tangan gemetar, Samantha mengambil kertas itu. Tulisan tangan Leonard, rapi dan bersih seperti selalu, nyaris tidak nyata setelah malam yang baru saja ia lalui.

"Untuk wanitaku yang paling kuat,

Aku tahu hari ini akan panjang dan melelahkan.

Jadi, aku ingin kamu sarapan, meskipun hanya sedikit.

Maaf, aku harus pergi lebih pagi untuk urusan kantor yang tidak bisa ditunda.

Tapi pikiranku tetap bersamamu, seperti biasa.

Jangan lupa jaga dirimu. L"

Samantha membacanya dua kali. Lalu tiga. Hatinya seolah diremas sesuatu yang tidak bisa ia lawan. Ada rasa bersalah yang membengkak perlahan di dadanya, seperti luka lama yang menganga pelan-pelan.

Ia duduk di kursi, menatap susu yang kini mulai kehilangan hangatnya. Roti panggang itu tampak sederhana, tapi begitu mengharukan. Bukti bahwa seseorang, lelaki yang ia sebut suami, masih memperhatikannya, mencintainya… tanpa syarat.

Air matanya jatuh satu-satu, tak sempat ia tahan.

Karena ia tahu, malam tadi, ia telah pergi ke pelukan lelaki lain.

Dan kini, di hadapannya, adalah cinta yang diam-diam telah ia khianati.

...****************...

Samantha melangkah dengan hati-hati membawa berkas ke lantai paling atas, lantai milik Nathaniel Graves.

Udara di dalam lift terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja. Sepanjang hari ini, pria itu belum muncul di ruangannya seperti biasa, hanya mengirimkan satu perintah singkat lewat email.

"Kirimkan file proyek ke ruang saya. Langsung."

Saat pintu lift terbuka, ruang koridor menuju ruang CEO itu sunyi seperti tak berpenghuni. Samantha menarik napas panjang, mengetuk dua kali, lalu masuk setelah mendengar suara rendah itu mempersilakan.

Nathaniel berdiri di dekat jendela dengan jas setengah terlepas dari bahunya. Dasi telah dilonggarkan, lengan kemeja tergulung hingga siku, dan wajah itu, tajam, dingin, dan memabukkan, langsung menoleh padanya.

"Letakkan di atas meja," ucapnya tanpa senyum.

Samantha menurut, meletakkan dokumen, dan bersiap berbalik. Namun belum sempat ia membuka mulut, Nathaniel sudah melangkah mendekat dengan tenang tapi mengancam.

"Kenapa terburu-buru?" suaranya pelan namun dalam, seperti bisikan yang mampu menembus kulit. "Aku belum selesai."

"Tuan Graves, ini kantor," jawab Samantha tegas, mencoba menjaga nadanya tetap netral meski jantungnya berdebar liar. "Kita tidak bisa..."

"Kita bisa, dan kita akan," potong Nathaniel, satu tangannya menyentuh dagu Samantha, mengangkatnya agar wajah mereka sejajar. "Aku sudah menunggu seharian. Kau tahu aku tidak suka menunggu."

"Seseorang bisa masuk," bisik Samantha, tubuhnya mulai bergetar antara takut dan tergoda.

Nathaniel menggeser rambutnya, bibirnya mendekati telinga Samantha. "Pintu sudah kukunci. Tidak ada yang akan masuk… kecuali aku memintanya."

Detik berikutnya, bibir mereka bertemu, keras, dalam, dan menuntut. Samantha mencoba menahan diri, mendorongnya sedikit, tapi Nathaniel menangkap pergelangan tangannya, menariknya hingga tubuh mereka saling menempel. Nafas mereka berpacu, panas membakar udara di antara mereka. Dalam hitungan menit, tubuh Samantha sudah terjebak di antara meja kerja yang besar dan tubuh Nathaniel yang membara. Kancing bajunya terbuka satu per satu oleh tangan-tangan yang tak sabar.

"Samantha…" gumam Nathaniel di antara ciumannya, suaranya serak dan penuh kepemilikan. "Aku menginginkanmu… di sini, sekarang. Aku tidak bisa menahannya lagi."

Dan Samantha, meski masih berjuang melawan logika, tak bisa menahan gelombang rasa yang menyerbu. Tubuhnya merespon dengan cara yang tak bisa dibohongi. Di ruang yang dipenuhi aroma kulit dan kayu mahal itu, mereka tenggelam dalam diam yang penuh suara.

Setelah semuanya usai, Samantha duduk di sisi meja, berusaha merapikan bajunya yang sudah kusut. Wajahnya memerah, rambutnya terlepas dari ikatan, sebagian menutupi wajah. Nathaniel berdiri di depan jendela lagi, menyesap sisa espresso dari cangkir yang kini tak lagi hangat.

Tak berselang lama Samantha keluar ruangan dengan langkah cepat. Tapi lorong itu kini tidak lagi sepi. Dua rekan kerja, bagian keuangan, melintas dan menyapanya, lalu menatapnya sekilas… terlalu lama. Satu dari mereka menurunkan pandangan ke arah blazernya yang tampak tidak sepenuhnya tertutup. Yang satu lagi memperhatikan rambutnya yang berantakan.

Samantha hanya tersenyum kaku dan berjalan cepat, menyadari bahwa jejak-jejak dari ‘pertemuan’ itu tak tersembunyi serapi yang ia kira. Hatinya berdebar bukan karena rasa, tapi karena ketakutan… bahwa permainan mereka tidak lagi tersembunyi seperti sebelumnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!